Cassandra's Reason.
Jessen menghentikan mobilnya di area parkir sebuah café. Matanya menatap lurus kedepan, giginya gemeretak menahan sesuatu, entah apa itu.
Jessen masih belum turun, ia masih duduk di kursi kemudinya, menatap lama kearah pintu café. Nafasnya sedikit memburu, memikirkan berulang kali apakah keputusannya datang kesini tepat atau tidak.
Jessen kemudian memutuskan untuk turun dari mobil, berjalan masuk kedalam café. Pria itu berdiri diambang pintu café, mengedarkan pandangannya untuk mencari sosok itu.
Tak lama mata Jessen menangkap seorang gadis yang juga melihat kearahnya. Seketika Jessen menegang, dia benar-benar kembali.
Jessen menahan napas sesaat, tangannya mengepal dan entah mengapa matanya terasa memanas saat melihat bahwa Cassandra, gadis yang dulu merupakan pujaan hatinya itu betul-betul berada di sana.
Jessen menghembuskan nafasnya berusaha menenangkan diri, pria itu kemudian melangkahkan kaki menghampiri tempat dimana Cassandra tengah duduk.
“Kamu datang, Je..” Samar, Jessen melihat gadis itu tersenyum tipis, dan Jessen benci itu, sebab dahulu, senyum itu merupakan senyuman favoritnya. Senyuman yang mampu membuat dirinya luluh akan apapun kesalahan yang gadis itu perbuat padanya.
“Langsung aja, apa yang mau lo omongin.” Jessen menuding dengan nada dingin.
“Pesen minum dulu Je, aku haus.” Entah apa yang gadis di hadapannya itu berusaha lakukan, namun entah mengapa Jessen hanya bisa diam.
“Mas, saya pesen ice vanilla latte satu ya, sama..” Cassandra memutar perhatiannya pada Jessen, pria yang tengah duduk dengan wajah garangnya.
“Espresso?” Cassandra melontarkan pertanyaan itu pada Jessen. Memastikan bahwa pria itu masih dengan seleranya.
“Terserah.” Jessen memalingkan wajahnya.
“Sama espresso satu mas.” Akhirnya Cassandra melanjutkan. Setelah sang waiters tadi undur diri, kini mereka berdua saling diam.
“Je..” Panggil Cassandra sedikit hati-hati. Jessen yang sedari tadi sibuk memandangi hal lain selain gadis dihadapanya itu-pun kini mau tak mau memandang gadis itu.
“Soal kita dulu..” Cassandra membuka pembicaraan mereka.
“Aku waktu itu terpaksa, Je..”
“Aku di paksa daddy buat deketin Marco, alasannya satu, lewat Marco, aku bisa bikin papa Marco mau suntikin dana di perusahaan daddy.”
“Perusahaan daddy waktu itu lagi diambang kebangkrutan, Je.” Cassandra terlihat menunduk saat menjelaskan situasinya dulu. Situasi mengapa ia meninggalkan Jessen untuk berkencan dengan pria bernama Marco.
“Terus kenapa lo gak minta bantuan gue aja?” Jessen bertanya sambil ia melemparkan tatapan dinginnya.
“Kalo alesan lo ninggalin gue karena suntikan dana atau apalah itu, gue juga bisa bantu.” Jessen menyunggingkan senyumnya. “Oh atau bokap gue kurang kaya kalo dibandingin sama bokapnya Marco?”
“Je..” Cassandra terdengar melirih.
“Nggak gitu, Je..” Gadis itu mengangkat kepalanya yang semula tertunduk, terlihat jelas kini bahwa mata jernih itu terlihat berkaca-kaca.
“Terus alasan lo balik kesini apa?” Jessen mengalihkan pandangannya sesaat pada area lain selain mata gadis itu.
Mendapat pertanyaan itu, Cassandra kembali menundukan kepalanya. “Daddy meninggal..”
Kini atensi Jessen teralih sepenuhnya pada Cassandra, keningnya sedikit mengerut sebab terkejut mendengar pernyataan gadis itu.
“Aku udah gak bisa tinggal lebih lama di Canada, Je.” Gadis itu kian menunduk, kini bahunya terlihat sedikit bergetar.
“Udah gak ada daddy yang bisa biayain kehidupan aku disana.”