Hancur.
Sebuah salah yang terus terulang. Hingga sampai akhir hanya maaf yang berpulang.
Bahkan asa-pun kini Aulia tak punya
Hari itu adalah hari dimana dunia Aulia runtuh seruntuh-tuntuhnya.
Giorgino Alaska. Aulia sudah mengakui bahwa nama itu sukses membuat hidupnya hancur teramat sangat.
Aulia berlari, meski kakinya gemetar tak karuan, ia tetap berlari mengerahkan seluruh tenaganya.
Sudah tak bisa disembunyikan, sejak menerima pesan dari dokter saat dalam perjalanan, air mata Aulia sudah meluruh tak terbatas.
Dan kini semuanya pecah. Saat Aulia sampai kedalam ruangan tempat dimana tubuh seseorang terbaring dan tertutupi kain putih.
Seseorang itu Ara. Tubuh yang mereka tutupi itu adalah tubuh adiknya yang selalu Aulia tunggu untuk membuka matanya. Namun kini mata itu ternyata tak bisa lagi Aulia tunggu untuk terbuka, dan yang paling menyakitkan adalah Aulia yang tak bisa menemani Ara di saat-saat terakhirnya.
Aulia menangis sejadi-jadinya, tubuhnya bahkan roboh, dan tak seorangpun menopangnya.
Saat Aulia masih dengan tangisnya, saat itu pula datang seseorang dengan deru nafas yang terengah-engah.
Aulia menoleh dengan wajah basahnya, mendapati seseorang yang sejak tadi Aulia anggap sebuah kutukan dalam hidupnya. Orang itu adalah pemeran utama dari sakit yang tengah Aulia derita.
Giorgino Alaska. Aulia benci sebenci-bencinya pada nama itu. Dengan tangisnya Aulia berdiri, menghampiri Gino yang nyatanya tak kalah gemetar dari Aulia.
plakkk!!
Suara tamparan yang Aulia ciptakan begitu nyaring terdengar.
Pipi pria itu berdarah, bukan darahnya, melainkan darah dari telapak tangan Aulia yang robek sebab pecahan kaca jendela yang sebelumnya gadis itu hancurkan.
Nafas Aulia memburu sedang Gino diam merasa tercekat.
“KELUAR!!!”
“PERGI!!!”
Aulia berteriak, gadis itu bahkan bisa dikategorikan tengah mengamuk sebab dengan brutal Aulia mendorong Gino, mengupayakan setiap tenaganya untuk bisa membuat pria itu keluar dari ruangan yang tengah ia tempati.
“Kamu bajingan! Pergi!!! Keluar!!!” Dengan mata berair yang memancarkan kemarahan, Aulia menatap Gino.
Kini situasinya sudah sangat berkebalikan, Gino yang menatap Aulia dengan tatapan gemetar.
“Bahkan julukan iblis sekalipun masih terlalu bagus buat kamu.” Aulia mengucapkannya dengan nada menahan segalanya, terutama kemarahan, maka dari itu suarannya terdengar gemetaran.
Sementara itu Gino terdiam, tubuhnya masih bergetar dikarenakan kondisi yang saat ini tercipta.
“M-maaf...” Gino mengucapkannya dengan sangat lirih dan dengan getaran yang luar biasa.
Tangisan Aulia kembali pecah. Gadis itu masih menatap Gino dengan tatapan marah.
“Aku salah apa sih sama kamu? Sampai kamu buat hancur hidupku sebegininya?” Aulia bertanya diiringi tangisannya.
Gino diam, kepalanya tertunduk, tak kuasa menatap Aulia. Gadis yang memang benar. Hidupnya telah Gino hancurkan.
“Aku salah apa?” Tanya Aulia dengan putus asa.
“JAWAB GINO! AKU PERNAH BIKIN KESALAHAN APA SAMPAI KAMU TEGA BIKIN AKU HANCUR KAYAK GINI?!” Aulia berteriak.
Lagi, Gino hanya bisa diam menunduk. Lalu kemudian pria itu melirih.
“Maaf...” Bahkan sampai akhir, yang bisa Gino ucapkan hanyalah kata itu.
Maaf yang terlambat dan salah yang teramat. Gino lakukan itu pada Aulia, gadis yang kini tak lagi memiliki apa-apa.