draft
Jessen berulang kali melirik arlojinya, menggigit bibir, menghentak-hentakan kaki, pasal teramat gugup dan takut kehilangan waktu dan berakhir tak bisa bertemu dengan Sharon. Meski sedikit marah dan kecewa perihal Sharon yang tak mengabari apapun padanya, Jessen kini lebih khawatir tidak bisa bertemu dengan Sharon sebelum gadis itu pergi. Entahlah, padahal hanya Bandung, namun Jessen tahu Sharon pergi kesana untuk magang dan dirinya mungkin tak akan bisa melihat Sharon untuk beberapa bulan ke depan, makanya Jessen bergerak segera menyusul.
12.37
Sedikit lagi, tinggal jarak beberapa puluh meter lagi dirinya sampai di stasiun. Namun apalah daya, Jakarta bukanlah kota senggang. Jakarta adalah kota dimana kemacetan sudah menjadi makanan sehari-hari, seperti sekarang ini. “Anjing, pake macet segala setan! gue mau ketemu cewek gue blok! kaga pada ngerti amat dah.”
Jessen mengumpat dan memaki seraya mendial nomor Sharon berulang-ulang, berharap gadis itu mengangkat dan Jessen akan memberitahu padanya, bahwa Jessen tengah menyusul untuk setidaknya, bisa melihat gadis itu. Tidak ada jawaban, macet masih bertahan, sementara itu waktu masih terus berjalan. Jessen memutar otak, jemarinya pria itu ketuk-ketukan diatas stir mobil, matanya kemudian melirik arlojinya.
12.49 Hening beberapa saat, telinga Jessen seakan berdengung sesaat sebelum pria itu memutuskan membuka sabuk pengamannya dan keluar dari mobil untuk berlari. Benar, berlari. Pria gagah dengan kaos hitam itu membelah kemacetan di siang bolong, membuat beberapa pengemudi sempat menatap kearahnya, namun siapa peduli, Jessen harus segera sampai di stasiun demi bisa bertemu gadis yang dicintainya.
Sambil sesekali melirik pada arlojinya, Jessen terus berlari sekuat tenaga. Wajah pria itu memerah, namun senyumannya merekah saat stasiun tujuannya sudah terlihat di depan mata. “Ca, aku datang, tolong jangan berangkat dulu.” Jessen menjeda kalimatnya sebab kehabisan nafas karena berlari “Aku mau ketemu kamu.” Lanjut Jessen seraya mempercepat tempo larinya.
Jessen sampai di stasiun, namun itu bukan berarti larinya terhenti, pria itu bahkan tak memberikan jeda pada dirinya sendiri sebab masih harus mencari Sharon diantara khalayak ramai ini. Jessen berlari kesana-kemari membelah keramaian di stasiun, matanya pria itu tajamkan, dengan keyakinan penuh Jessen yakin bisa menemukan Sharon, sebab sudah merasa hafal dengan hanya