Kantin dan Kejadiannya.
Kantin.
Disini tempat Raya berada. Sebenarnya Raya kemari untuk makan, mengisi perutnya dengan semangkuk bakso dengan kuah pedas kesukaannya, namun urung saat melihat kedai bakso di kantinnya itu ternyata tutup, jadilah Raya kemari untuk mencari teman satu kelompoknya yang kebetulan katanya sedang berada di kantin.
Raya celingukan mencari Marco, teman satu tim nya dalam tugas kuliah kali ini. Beberapa saat kemudian ponselnya berdering menandakan panggilan masuk, dan nama orang yang tengah ia cari-caripun muncul di layarnya.
“Hallo? Marco? dimana?” Tanpa berlama-lama, Raya bergegas bertanya. Ia bukan tidak sadar bahwa sedari tadi ia seperti bulan-bulanan saat para perempuan yang ada di kantin ini terus memperhatikannya.
“Ujung Rayy, lihat kanan coba.” Baru Raya akan menolehkan kepalanya, tiba-tiba bahunya di senggol oleh seseorang, Raya meringis kemudian matanya sedikit membola saat menyadari siapa pelaku yang baru saja membuat Raya hampir jatuh tersungkur.
Itu dia. Gadis gila yang kemarin menyiram wajahnya dengan jus jeruk dingin. Mata Raya berkelana kemudian menyadari bahwa lagi-lagi gadis itu tengah memegang sebuah minuman, kali ini berwarna hitam yang Raya prakiraan itu adalah kopi.
Tidak! Tidak lagi. Raya sungguh tak ingin merasakan keras dan dinginnya bongkahan es batu yang menimpa wajahnya, belum lagi cairan berwarna dan berasa yang akan membuat matanya perih seperti kemarin.
Jantung Raya berdegup, jelas ia gugup. Sekarang ini apa yang harus Raya lakukan?
“Oh sorry pacarnya juan “ Raya dengan jelas mendengar penekanan pada kata 'pacarnya Juan' yang diucapkan oleh gadis dihadapannya.
Juan.
Nama itu jadi terbersit di pikirannya. Mungkin Raya sudah gila, namun Raya benar-benar takut pada situasi ini.
Pelan-pelan Raya angkat ponselnya, kemudian ia matikan sambungan teleponnya dengan Marco yang ternyata belum terputus pada saat bersamaan Raya sesegera mungkin mencari kontak dengan nama Juan di ponselnya.
Sejenak Raya beradu pandang dengan Marco, Raya menemukannya, namun pada akhirnya mereka tidak jadi bertemu karena hal seperti ini.
“Aduh guys gue nyenggol pacarnya Juan gimana dong? nanti kalau lecet gimana dong? nggak bisa lagi ngaku-ngaku jadi ceweknya Juan gimana donggggg???”
Gadis cantik namun nyentrik itu berujar dengan menaikan nada di setiap akhir kalimatnya dan berujung berteriak persis didepan wajah Raya. Sementara gadis itu meneriakinya, jemari Raya diam-diam bergerak untuk menelepon kontak yang sebelumnya telah ia temukan sesaat setelah memutus panggilan teleponnya dengan Marco.
Dengung yang Raya rasakan di tangannya berhenti, menandakan sambungan teleponnya yang entah itu diangkat atau justru sebaliknya, Raya tidak tahu.
Namun Raya tidak punya pilihan, harapannya hanya tinggal seperti ini, yaitu berteriak persis seperti wanita gila
“BU BAKSO SATU MANGKOK YA!!”
Raya meneriakan pesanan gila itu dengan mata terpejam, dengan harap-harap cemas semoga sambungan teleponnya tadi tersambung, berharap teleponnya tadi diangkat, kemudian...
Ya. Pria bernama Juan itu mendengarnya lalu mengerti kode yang Raya berikan padanya dan bisa sesegera mungkin menyelamatkan Raya dari situasi ini.
“Nah.” Gadis itu bersuara. “Lo lihat sendiri kan? kalo ni cewek itu gila. Padahal stand bakso lagi tutup, mana pesennya teriak kaya lagi di hutan segala. Makin yakin aja nih gue kalo ni bitch satu cuma ngaku-ngaku dan numpang tenar sama my baby Juan.”
Perkataan gadis asing itu terdengar sangat jelas, hingga Raya rasa semua orang yang ada di kantin ini bisa mendengarnya, membuat situasi yang menimpa Raya dirasa semakin gawat.
Raya memberanikan diri untuk menatap pergerakan gadis yang tengah mengangkat minuman yang dibawanya tepat di hadapan wajah Raya. Raya menggigit bibir bawahnya merasa khawatir akan apa yang akan terjadi padanya.
“Muka lo kalau di lihat-lihat bikin candu deh.” Dengan senyuman mengerikannya gadis itu membuka tutup kemasan minumannya dan membuangnya sembarangan. “Candu buat gue siram lagi.” Baru gadis itu akan bergerak sebuah suara berat menggema di kantin.
“ANNE!” Semuanya menoleh, termasuk Raya yang sedari tadi harap-harap cemas menunggu datangnya si pemilik suara yang kini dengan lantang berujar
“Berani lo siram dia, urusan lo sama gue.”