Pengecut
“Kamu..” Sharon menjeda kalimatnya saat melihat keadaan Jessen.
Pria itu bisa dibilang terlihat sangat kacau, rambut berantakan serta wajah yang babak belur, membuat Sharon mau tak mau bertanya “Habis berantem?”
Namun bukannya menjawab, pria itu malah mengusap wajahnya dengan gusar. Jessen menghembuskan nafasnya kasar, wajah tegas pria itu tampak frustasi saat dihadapkan dengan kondisi Sharon yang ternyata jauh lebih kacau dari pada bayangannya.
“Katanya gak banyak, ini apa?!” Jessen merengut, merasa kesal dan marah saat melihat jumlah perban dan luka di tubuh Sharon yang ternyata tidak sedikit.
“Jawab dulu, kamu habis berantem?” Sama seperti Jessen, Sharon-pun mengabaikan perkataan Jessen yang bertanya dengan sejuta sirat kekhawatiran tentang keadaanya.
Seakan mengabaikan luka masing-masing dan lebih mementingkan pihak yang disayangi. Baik Jessen maupun Sharon, mereka berdua kini tengah bertindak demikian.
Merasa tak akan usai bila tak diberi jawaban pasti, Jessen mengalah dengan menganggukan kepalanya. “Berantem sama siapa?” Lagi, gadis itu bertanya. “Ada, but u don't have to take it into serious, it's not very important than your condition right now.”
“Just ignored that, now just focus on you.” Pria itu meminta Sharon untuk mengabaikan kondisinya. Mulanya gadis itu tak mau menuruti, Sharon penasaran tentang apa yang sebenarnya terjadi pada pria itu, namun melihat gelagat Jessen yang keukeuh tak mau membahas soal apa yang terjadi, Sharon memutuskan untuk mengalah dan diam. Membiarkan Jessen yang kini nampak begitu frustasi mendapati keadaan Sharon yang terlihat...
Ah tidak, sungguh Jessen tidak sanggup melihatnya.
Bagian siku dan lutut gadis itu terluka, lengan atasnya tergores, pergelangan tangannya terlihat membiru, dan tadi gadis itu bahkan kesulitan untuk berjalan, sebab ternyata telapak kaki gadis itu-pun turut terluka.
Jessen memejamkan matanya sesaat, berusaha meredam segala emosi yang datang padanya.
Tidak bisa dibayangkan oleh Jessen, betapa mengerikan kejadian yang dialami Sharon tadi. Seberapa sakit Sharon akibat goresan-goresan luka ditubuhnya, seberapa panik dan takutnya gadis itu tadi, membuat Jessen menyesal setengah mati telah memilih menemui Cassandra dibanding Sharon.
“Awh..” Sharon meringis, tatkala Jessen menarik bahunya untuk bisa memeluknya.
“Sakit?” Tanya Jessen setelah kekagetannya perihal ringisan Sharon tadi. Gadis itu mengangguk.
“Yang mana yang sakit?” Jessen bertanya dengan nada pelan. Sharon menunjuk bahunya. Melihatnya, Jessen kembali membuang nafas berat, kepalanya tertunduk dalam. Demi Tuhan, rasanya Jessen ingin menangis mendapati kekasihnya dalam kondisi seperti ini.
“Kalo kata aku, mending kamu tampar aku sekarang, Ca.” Ujar Jessen, masih dengan menundukan kepalanya.
“Maunya sih gitu, tapi namparnya gimana, telapak tanganku aja luka.” Sharon, gadis itu bahkan sempat melayangkan cengirannya sembari mengangkat kedua telapak tangan dengan beberapa luka goresan itu didepan Jessen.
“Jangan bercanda dulu Ca, aku serius, aku minta maaf. Ini semua salah aku.” Jessen mengatakan hal itu sambil menelan pahit-pahit kenyataan bahwa rasa-rasanya, semua yang terjadi pada Sharon malam ini adalah kesalahannya.
“Maafin aku..” Kali ini Jessen benar-benar melirih, bahkan suaranya hampir tidak terdengar. Pria itu kemudian mengangkat wajahnya, menatap pada gadisnya yang tengah menatap balik padanya.
“Sebenernya kamu gak perlu minta maaf.” Dengan tatapan tulusnya, Sharon berujar. “Bukan salah kamu karena gak bisa datang. Bahkan mungkin, semisal kamu datang-pun, nyatanya orang jahat itu emang udah ada disana.”
Mendengarnya, nafas Jessen tercekat. Batin dan pikirannya berkecamuk, meraung, bahwa seandainya gadis itu tahu, karena alasan apa tadi dirinya tidak datang, seandainya gadis itu tahu, bahwa urusan mendadak mengapa pria itu tidak jadi pergi menemui sang gadis dan memilih Haris untuk menggantikan adalah menemui Cassandra, sang mantan kekasih.
Seandainya saja gadis itu tahu..
Mungkin bukan tatapan tulus seperti ini yang Jessen dapatkan, gadis itu amat sangat mungkin tetap akan menampar Jessen, sekalipun telapak tangannya terluka.
Namun itu hanya sebatas raungan dalam batin, tak bisa pria itu sampaikan secara langsung.
Ya. Jessen memilih menjadi pengecut, sebab dirinya takut mengakui kebenarannya pada Sharon.
Jessen takut Sharon akan terluka, juga pria itu takut, jikalau tahu kejadian sesungguhnya, gadis itu akan marah lalu pergi meninggalkannya.
Dan Jessen tidak bisa membiarkan hal itu terjadi, pria itu tidak bisa kehilangan Sharon, sebab bagaimanapun, Jessen telah mencintai Sharon.