Secuil kisah dari Janendra.


Janendra Gautama memang bukan pemeran utama disini, tapi kisahnya bukan berarti tidak boleh terselip bukan? Santai saja ini tak akan lama ceritanya tak akan panjang, Janendra hanya akan menceritakannya secara garis besar.

Sama halnya seperti manusia pada umumnya, Janendra juga punya rasa dan itu jatuh pada gadis bernama Tamara.

Ah! kalau saja kalian bisa melihat Janendra tengah tersenyum saat ini. Mengingat betapa manisnya senyum yang dimiliki oleh gadis pujaannya.

Tamara gadis super istimewa, gadis yang dengan mudahnya mengumbar tawa meskipun dirinya memendam luka. Janendra meringis, andai kala itu ia tahu...

Bahwa Tamara tidak baik-baik saja, bahwa dari renyah tawanya yang merupakan sumber bahagianya itu hanya kedok belaka, aslinya Tamara terluka, yang lebih membuat Janendra sesalkan lagi, kembali ia tak tahu bahwa luka itu bukan hanya sebatas batin saja, nyatanya secara fisik-pun Tamara-nya terluka.

“Maaf Ndra, tapi buatku kamu itu nggak lebih dari sekadar teman.”

Harusnya hari itu Janendra tidak segera kecewa lalu meninggalkan, harusnya setelah itu Janendra lanjut berjuang, bukan hanya menerima sebab sang gadis enggan lalu berkecimpung dengan segelas anggur merah.

Harusnya Janendra bersikeras atau setidaknya bersedia meski hanya dianggap sebatas teman, yang nyatanya tidak demikian, Tamara tak menganggapnya hanya sebatas demikian, Tamara menganggapnya lebih namun tak punya kuasa sebab enggan melakukan perpisahan. Tamara bilang itu menyakitkan, Ya.. itu yang tertulis.

Di sepucuk surat yang Tamara tulis di sisa-sisa akhir hayatnya dengan sepenuh hati untuk Janendra.

Hari dimana Janendra kehilangan sumber bahagianya, hari dimana ia tahu segalanya.

Kematian, penyakit, luka dan rasa yang Tamara miliki.

Janendra ketahui semuanya sekaligus disertai keterlambatan.

Membuahkan sesal yang hingga kini meradang bila ia mengingat kembali kisahnya dengan Tamara yang berakhir demikian.