The Night.

Tonight. Is our night. Just me and you under moonlight.

“Astaghfirullahaladzim, Gino!” Aulia reflek memekik, sebab selepas berbalik dari menutup pintu ternyata Gino sudah berada di belakangnya.

“Katanya tadi di kamar?” Ucap Aulia sebab rasanya ia tak salah membaca pesan dari pria itu beberapa menit yang lalu.

“Lo lama.” Ucap Gino dengan cepat dan tanpa ragu.

“Salahin rumahnya, kenapa jarak dari gerbang sampai ke pintu utamanya jauh banget.”

“Lagian nggak sabaran banget? Udah pengen banget aku peluk apa gimana sih?” Aulia berujar sembari menggoda Gino. Aulia tersenyum geli saat mendapati telinga Gino yang memerah, salah satu alasan mengapa Aulia gemar sekali menggoda pria yang kini mendekatinya untuk kemudian menjatuhkan kepalanya di atas pundak Aulia.

“Kan udah gue bilang, kalau mau kemana-mana itu bilang. Lo tahu kan gue paling nggak suka bangun tidur nggak ada siapa-siapa.” Gino mengadu pada sang penyebab mengapa ia mengadu.

Aulia mengelus kepala Gino dengan sayang, tangan satunya gadis itu gunakan untuk menepuk-nepuk punggung Gino.

“Iya maaf ya..”

“Lagian kamunya juga tidur pules banget, buat bangunin terus ngasih tahu aku mau pergi akunya nggak tega, tapi diem aja di rumah sedangkan kamu tidur juga aku suntuk sendiri..” Mendengar ucapan Aulia, Gino mengangguk-nganggukan kepalanya.

“Ya udah yuk ke kamar, katanya mau aku pijitin.”


“Di sini pegel nggak?” Aulia bertanya sembari memijat pundak Gino.

Pria itu menggeleng, kemudian mengangguk. Tidak jelas memang, tapi akhirnya jelas juga sebab Gino mengatakan. “Lumayan.”

Aulia mengerti, kemudian melanjutkan pijataannya. “Akhir-akhir ini kantor sibuk ya?”

Gino mengangguk lesu. “Banyak banget projek yang dikejar deadline.”

Aulia mengangguk dan tidak melanjutkan aktivitas memijitnya, sebab lengannya telah diambil alih oleh Gino yang mana kemudian pria itu tarik pelan untuk melingkari pinggang sang pria.

Gino kemudian memeluk Aulia, menelusupkan wajahnya di antara pundak dan leher Aulia. “Capek, ngantuk.” Tutur Gino dengan jujur.

“Tapi udah nggak lagi, soalnya udah meluk dan di peluk lo.”

“Tinggal ciumannya aja yang belom.” Gino mengangkat kepalanya, menggesernya agar wajahnya berhadapan dengan Aulia.

“Kiss me, please?” Aulia tersenyum mendengarnya, gadis itu kemudian mengecup bibir Gino sekali.

“Gitu doang? Gue maunya lebih.” Gino bersuara sesaat sebelum mengambil aksi mencium Aulia dengan lebih berani. Bukan sekadar kecupan seperti yang di lakukan Aulia sebelumnya, Gino melumat bibir sang gadis sehingga suara decapan sebab dua benda lembab nan kenyal saling beradu itu terdengar.

Sebab kelembutan serta ritme pelan yang Gino lakukan pada akhirnya akan mengikuti arusnya.

Gino usap bagian pipi hingga telinga Aulia dengan lembut, ciumannya ia hentikan perlahan kemudian ia tatap lensa jernih yang tak pernah bosan Gino pandangi itu dengan penuh pengendalian diri.

“Aulia..” Nafas mereka saling bersahutan, bersamaan dengan lirihan Gino dan usapan ibu jari pria itu pada bibir bawah Aulia.

“Can I? Do it more?” Giorgino bertanya dengan serak.

“Kenapa harus tanya?” Aulia menggantung kalimatnya dengan nada lirih nan pelan.

“Kamu berhak, Gino.”