The Third Request.
Jessen mengerang frustasi, dirinya kini sudah berdiri di depan area kostan Sharon, puluhan pesan dan juga telepon Jessen kirimkan pada gadis itu, namun hingga dua jam sudah pria itu berdiri disini, Sharon tak kunjung memberi balasan.
“Ca, please angkat..” Jessen melirih seraya menelepon kembali nomor milik gadis itu, hasilnya nihil, gadis itu kembali tak mengangkat.
Jessen mengusap wajahnya kasar, ia tidak bisa seperti ini, dirinya harus bertemu Sharon. Ya, harus, pria itu tak mau hubungan mereka berakhir seperti ini. Beberapa menit berlalu, Jessen masih bergeming hingga seorang pria paruh baya datang menghampirinya. “Mas, cari siapa? Saya perhatikan dari tadi seperti orang linglung.”
Jessen sedikit terhenyak, jelas pria itu mengenali Bapak yang merupakan penjaga kost Sharon itu. “Pak, bisa tolong bantu saya gak? Tolong panggilkan Sharon. Saya mau ketemu dia, Pak.” Dengan nada putus asa, Jessen memohon bantuan pada Bapak penjaga kost itu.
Si Bapak melihat Jessen secara menyeluruh, penampilan Jessen boleh saja terlihat biasa saja, namun wajah pria itu jelas menampakan kekacauan. “Sebentar, coba saya panggilkan ya Mas.”
Jessen mengangguk dengan antusias dan tatapan penuh terimakasih, selanjutnya si Bapak-pun pergi melangkah menuju pintu kamar kost Sharon.
“Neng Sharon.” Sembari mengetuk pintu, si Bapak memanggil Sharon. Tak lama pintu terbuka, dan munculah sosok Sharon, yang mana hal itu jelas tertangkap oleh indera penglihatan Jessen. Reflek, pria itu melangkah, namun selang beberapa langkah, pria itu berhenti, sebab Sharon melihat kearah dirinya. Mereka berdua saling tatap seperkian menit, satu dengan tatapan lelah dan kecewa, sementara satunya lagi dengan tatapan sendu bercampur frustasi.
Jantung Jessen berdegup duakali lebih cepat saat melihat Sharon berjalan menghampirinya. Entah mengapa pria itu tiba-tiba merasa gugup sebab tatapan yang Sharon berikan padanya.
“I'm sorry.” Setelah hening sekian lama, dan hanya tatapan mata yang berbicara, akhirnya Jessen membuka suaranya.
Sharon memilih diam, karena jujur saja gadis itu sudah tidak tahu harus bersikap bagaimana. Jangan mengira ini mudah untuknya, semua situasi yang terjadi belakangan ini jelas membuat Sharon kelimpungan, perasaanya kacau tak karuan.
“Ca..” Panggilan Jessen membuat Sharon keluar dari lamunannya. Gadis itu-pun kembali menatap pada Jessen, pria yang dengan terpaksa Sharon lepaskan sebab enggan sakit berkepanjangan.
“Can we not end up like this?” Jessen kembali bersuara, netra pria itu menatap lekat pada Sharon.
“So what do you want? We're continue this fucking shit relationship?” Akhirnya gadis itu mengangkat suara. “Sekarang aku tanya sama kamu.” Sharon menjeda beberapa saat, “Kamu pilih aku atau Cassandra?” Dengan nada lelah seakan sudah terlalu sering mendebatkan hal ini, Sharon mencoba sekali lagi.
“Pikirin baik-baik, jangan asal jawab dan bohong lagi kalau kamu bakal pilih aku, karena nyatanya hal itu berkebalikan sama ucapan kamu.”
Mendengar ucapan Sharon yang begitu, Jessen menurunkan pandangannya, isi pikirannya berputar seperti kaset mengingat semua tindakannya akhir-akhir ini. Dan sudah jelas, pada siapa pilihan itu jatuh jikalau pria itu berpacu pada ingatan itu.
“Ca, please jangan selalu bikin aku harus pilih kamu atau Cassandra kayak gini..” Jessen mengiba, merasa tak bisa lagi membela diri. “Kenapa?” Tanya Sharon, “Karena kamu bakalan pilih Cassandra? Iya?” Jessen diam, tak bisa menjawab. “Brengsek.” Maki Sharon, mendengarnya entah mengapa jauh di lubuk hatinya, Jessen membenarkan makian Sharon.
Mereka berdua kembali diam, Jessen larut dalam pikiran akan kesalahannya, sementara itu Sharon sudah merasa cukup lelah. “Gabriel, udah cukup sampai disini aja.”
“Percakapan ini, hubungan kita, akhirin aja semuanya.” Sharon menarik napasnya sebelum melanjutkan. “Aku capek.”
Melihat wajah Sharon yang memang tampak lelah dengan situasi ini, Jessen tak punya kemampuan lagi untuk melawan dan menolak berakhirnya hubungan mereka.
Kini Jessen sadar, bahwa sepertinya hubungan mereka berdua memang tidak bisa untuk dilanjutkan. Pria itu sadar, meski secara lisan dirinya berucap mengujar cinta pada Sharon, nyatanya tindakannya berlawanan. Jessen selalu memilih Cassandra ketimbang Sharon, dan berakhir menyakiti gadis itu.
Jessen menarik napas dalam, menatap sendu pada gadis di hadapannya. “Oke..” Ibarat kata tengah mengangkat tangan, Jessen-pun mulai berkata, “Kita akhirin aja disini.” Kerongkongan pria itu mulai tercekat, dengan mata setengah berair, Jessen melanjutkan, “Sesuai janji aku tentang tiga permintaan itu, aku bakal tepatin itu sekarang.” Keduanya saling tatap, kini durasinya sedikit lebih lama. Mata Sharon yang semula hanya tampak lelah, kini entah mengapa terlihat berkaca-kaca, membuat Jessen tak sanggup lagi untuk berada lebih lama di situasi ini.
“End with this 'real' relationship..” Perkataan Jessen mengambang “Permintaan ketiga dan terakhir, dikabulkan.”