sugarloaf


Jika ditanya kapan dan apa yang pernah membuatnya merasa begitu gugup, Jericho akan menjawab hari ini, saat dimana pria itu duduk di sofa ruang tamu rumah Tara dengan membawa seluruh anggota keluarga-nya untuk meminta persetujuan keluarga Tara tentang niat-nya yang ingin menjadikan anak gadis mereka sebagai tunangannya.

“Jadi bagaimana, Mr. Gunawan? Apakah niat putra saya ini mendapat persetujuan dari anda sekeluarga?” Lauren bertanya setelah sedari tadi menjadi juru bicara Jericho. Dalam hati Jericho merasa bersyukur, dengan adanya sang Ayah disini, suasananya terkesan normal sebab sudah selayaknya pembicaraan seperti ini, orang tua yang bersuara.

“Adek.” Tidak langsung menjawab pertanyaan dari Lauren. Hendra Gunawan, selaku Ayah dari Tara Fadila mengeluarkan suaranya untuk memanggil sang putri.

“Iya, Ayah.” Tara yang duduk bersebrangan dengan Jericho menjawab panggilan sang Ayah.

“Sudah dengar sendiri tadi, kan?”

Tara menganggukan kepalanya.

“Gimana?” Hendra menanyakannya pada Tara. Mendengar pertanyaan sang Ayah, gadis itu mengambil napas dalam sebelum memutuskan untuk menjawab.

“Aku mau.” Kalimat Tara terasa menggantung di udara, membuat seluruh keluarga Jericho menahan napas seraya menunggu jawaban serta lanjutan dari pembicaraan antara Ayah dan anak gadisnya itu.

“Aku udah jelas mau, Ayah.”

“Tapi balik lagi, mau-nya aku bakalan sempurna kalau diiringi restu dari Ayah, Bunda, sama Mas Dimas.” Tara mengucapkan kalimat-nya sambil memandangi anggota keluarga-nya secara bergantian.

Jericho melihat itu, lalu entah mengapa mata pria itu turut memandangi satu persatu keluarga Tara yang duduk berhadapan dengan keluarga-nya.

Hingga akhirnya pandangan Jericho berhenti pada Tara, gadis yang juga bersamaan menghentikan pandangannya pada Jericho. Kini baik Tara maupun Jericho, dua-duanya saling berpandangan seraya melemparkan senyuman tipis.

Dua insan berlawanan jenis itu mengharapkan hal yang sama, yaitu restu dari keluarga Tara.

Oh, atau mungkin bukan hanya mereka berdua, tetapi seluruh anggota keluarga Jericho juga mengharapkannya.

“Baiklah kalau begitu.” Setelah hening beberapa saat, Hendra Gunawan kembali mengangkat suaranya.

“Bunda?” Hendra melemparkan pertanyaan sekaligus pandangannya pada sang istri yang tengah duduk disamping Tara.

Terlihat Helma, Bunda dari Tara tersenyum dengan teduh seraya menjawab “Nak Jeri, ingat soal perkataan Bunda yang bilang kalau restu Bunda selalu menyertai kamu dengan Tara? Sampai hari ini, perkataan itu masih berlaku, Nak.”

“Restu Bunda selalu bersama kalian.” Helma tersenyum, sebabnya pula, Tara, Jericho dan juga seluruh keluarga Jericho ikut tersenyum.

“Dimas?” Kini setelah sang Bunda, giliran sang Kakak yang dimintai jawaban.

“Asalkan adek seneng, aku ikut seneng.” Terkesan singkat, namun jawaban itu juga berhasil membuat mayoritas orang diruangan ini merasa bisa bernapas meski sesaat sebab jawaban utama masih belum diketahui.

Kini giliran Hendra Gunawan, Ayah dari sang tokoh utama dari acara hari ini.

“Sejauh ini, belum pernah saya lihat putri saya tersenyum begitu cerah kala melihat seseorang yang itu adalah kamu.” Mata Hendra menyorot pada Jericho saat mengucapkan kalimatnya.

“Adek, bukan Ayah gatahu soal apa yang terjadi sama kamu di sekolah selama ini.”

“Soal mereka yang punya mulut jahat sama kamu, kesayangannya Ayah.”

Tara melihat pada Ayahnya dengan mulut yang sedikit terbuka dan mata yang berkaca-kaca. Pikiran gadis itu lalu terpaku, Ayahnya? Mengetahui semua hal yang selama ini terjadi pada dirinya?

Benarkah? Tapi mengapa? Sebab rasa-rasanya, sudah se apik mungkin Tara sembunyikan semua hal itu dari keluarganya.

“Baik Ayah, Mas Dimas atau Bunda. Semuanya tahu tentang masalah yang selama ini kamu sembunyikan, Dek.”

“Ayah..” Tara melirih sembari menatap pada seorang lelaki yang merupakan cinta pertama-nya.

“Kalau boleh jujur, Ayah sedih. Rasanya seperti Adek nggak mempercayai Ayah.”

“Ayah jadi bertanya-tanya, kiranya kenapa Adek nggak mau cerita? Apa Ayah kelihatan nggak bisa diandalkan atau bagaimana?”

Tara menggelengkan kepalanya, masih dengan matanya yang berkaca-kaca Tara melirih “Nggak gitu..”

“Gapapa, hak Adek mau disembunyikan seperti apa. Tapi Dek, hak Ayah juga untuk tahu apa masalah kamu.”

“Jadi lain kali jangan disembunyikan, biar Ayah juga tidak sembunyi-sembunyi dalam menyelesaikannya.”

Mendengarnya, kini Tara sedikit mengernyitkan dahinya. Mungkinkah?..

Mungkinkah diam-diam Ayah-nya memberi pelajaran pada mereka yang selama ini mengatakan hal-hal buruk padanya?

“Sejauh Ayah tahu tentang masalah Adek, sejauh ini juga Ayah tahu, bahwa semenjak Jericho ada, Adek jadi lebih banyak senyum, dan Ayah gak mau kehilangan senyuman itu.” Hendra kemudian melanjutkan kalimatnya. Pria berumur itu kemudian menatap Tara seraya memberikan senyuman terhangatnya.

Jericho dan keluarganya kemudian saling menatap, lalu serempak mereka semua memusatkan perhatiannya pada Hendra. Bukan hanya mereka, tetapi lagaknya perhatian semua orang yang ada diruangan ini memang tengah terpusat pada satu orang.

“Jericho, ambil restu saya dan jangan di sia-siakan. Tolong pertahankan senyuman anak gadis kesayangan saya, anak gadis kesayangan kami sekeluarga.”



Jika ditanya kapan dan apa yang pernah membuatnya merasa begitu gugup, Jericho akan menjawab hari ini, saat dimana pria itu duduk di sofa ruang tamu rumah Tara bersama seluruh anggota keluarga-nya untuk meminta persetujuan keluarga Tara tentang niat-nya yang ingin menjadikan anak gadis mereka sebagai tunangannya.

“Jadi bagaimana, Mr. Gunawan? Apakah niat putra saya ini mendapat persetujuan dari anda sekeluarga?” Lauren bertanya setelah sedari tadi menjadi juru bicara Jericho. Dalam hati Jericho merasa bersyukur, dengan adanya sang Ayah disini, suasananya terkesan normal sebab sudah selayaknya pembicaraan seperti ini, orang tua yang bersuara.

“Adek.” Tidak langsung menjawab pertanyaan dari Lauren. Hendra Gunawan, selaku Ayah dari Tara Fadila mengeluarkan suaranya untuk memanggil sang putri.

“Iya, Ayah.” Tara yang duduk bersebrangan dengan Jericho menjawab panggilan sang Ayah.

“Sudah dengar sendiri tadi, kan?”

Tara menganggukan kepalanya.

“Gimana?” Hendra menanyakannya pada Tara. Mendengar pertanyaan sang Ayah, gadis itu mengambil napas dalam sebelum memutuskan untuk menjawab.

“Aku mau.” Kalimat Tara terasa menggantung di udara, membuat seluruh keluarga Jericho menahan napas seraya menunggu jawaban serta lanjutan dari pembicaraan antara Ayah dan anak gadisnya itu.

“Aku udah jelas mau, Ayah.”

“Tapi balik lagi, mau-nya aku bakalan sempurna kalau diiringi restu dari Ayah, Bunda, sama Mas Dimas.” Tara mengucapkan kalimat-nya sambil memandangi anggota keluarga-nya secara bergantian.

Jericho melihat itu, lalu entah mengapa mata pria itu turut memandangi satu persatu keluarga Tara yang duduk berhadapan dengan keluarga-nya.

Hingga akhirnya pandangan Jericho berhenti pada Tara, gadis yang juga bersamaan menghentikan pandangannya pada Jericho. Kini baik Tara maupun Jericho, dua-duanya saling berpandangan seraya melemparkan senyuman tipis.

Dua insan berlawanan jenis itu mengharapkan hal yang sama, yaitu restu dari keluarga Tara.

Oh, atau mungkin bukan hanya mereka berdua, tetapi seluruh anggota keluarga Jericho juga mengharapkannya.

“Baiklah kalau begitu.” Setelah hening beberapa saat, Hendra Gunawan kembali mengangkat suaranya.

“Bunda?” Hendra melemparkan pertanyaan sekaligus pandangannya pada sang istri yang tengah duduk disamping Tara.

Terlihat Helma, Bunda dari Tara tersenyum dengan teduh seraya menjawab “Nak Jeri, ingat soal perkataan Bunda yang bilang kalau restu Bunda selalu menyertai kamu dengan Tara? Sampai hari ini, perkataan itu masih berlaku, Nak.”

“Restu Bunda selalu bersama kalian.” Helma tersenyum, sebabnya pula, Tara, Jericho dan juga seluruh keluarga Jericho ikut tersenyum.

“Dimas?” Kini setelah sang Bunda, giliran sang Kakak yang dimintai jawaban.

“Asalkan adek seneng, aku ikut seneng.” Terkesan singkat, namun jawaban itu juga berhasil membuat mayoritas orang diruangan ini merasa bisa bernapas meski sesaat sebab jawaban utama masih belum diketahui.

Kini giliran Hendra Gunawan, Ayah dari sang tokoh utama dari acara hari ini.

“Sejauh ini, belum pernah saya lihat putri saya tersenyum begitu cerah kala melihat seseorang yang itu adalah kamu.” Mata Hendra menyorot pada Jericho saat mengucapkan kalimatnya.

“Adek, bukan Ayah gatahu soal apa yang terjadi sama kamu di sekolah selama ini.”

“Soal mereka yang punya mulut jahat sama kamu, kesayangannya Ayah.”

Tara melihat pada Ayahnya dengan mulut yang sedikit terbuka dan mata yang berkaca-kaca. Pikiran gadis itu lalu terpaku, Ayahnya? Mengetahui semua hal yang selama ini terjadi pada dirinya?

Benarkah? Tapi mengapa? Sebab rasa-rasanya, sudah se apik mungkin Tara sembunyikan semua hal itu dari keluarganya.

“Baik Ayah, Mas Dimas atau Bunda. Semuanya tahu tentang masalah yang selama ini kamu sembunyikan, Dek.”

“Ayah..” Tara melirih sembari menatap pada seorang lelaki yang merupakan cinta pertama-nya.

“Kalau boleh jujur, Ayah sedih. Rasanya seperti Adek nggak mempercayai Ayah.”

“Ayah jadi bertanya-tanya, kiranya kenapa Adek nggak mau cerita? Apa Ayah kelihatan nggak bisa diandalkan atau bagaimana?”

Tara menggelengkan kepalanya, masih dengan matanya yang berkaca-kaca Tara melirih “Nggak gitu..”

“Gapapa, hak Adek mau disembunyikan seperti apa. Tapi Dek, hak Ayah juga untuk tahu apa masalah kamu.”

“Jadi lain kali jangan disembunyikan, biar Ayah juga tidak sembunyi-sembunyi dalam menyelesaikannya.”

Mendengarnya, kini Tara sedikit mengernyitkan dahinya. Mungkinkah?..

Mungkinkah diam-diam Ayah-nya memberi pelajaran pada mereka yang selama ini mengatakan hal-hal buruk padanya?

“Sejauh Ayah tahu tentang masalah Adek, sejauh ini juga Ayah tahu, bahwa semenjak Jericho ada, Adek jadi lebih banyak senyum, dan Ayah gak mau kehilangan senyuman itu.” Hendra kemudian melanjutkan kalimatnya. Pria berumur itu kemudian menatap Tara seraya memberikan senyuman terhangatnya.

Jericho dan keluarganya kemudian saling menatap, lalu serempak mereka semua memusatkan perhatiannya pada Hendra. Bukan hanya mereka, tetapi lagaknya perhatian semua orang yang ada diruangan ini memang tengah terpusat pada satu orang.

“Jericho, ambil restu saya dan jangan di sia-siakan. Tolong pertahankan senyuman anak gadis kesayangan saya, anak gadis kesayangan kami sekeluarga.”



Jika ditanya kapan dan apa yang pernah membuatnya merasa begitu gugup, Jericho akan menjawab hari ini, saat dimana pria itu duduk di sofa ruang tamu rumah Tara bersama seluruh anggota keluarga-nya untuk meminta persetujuan keluarga Tara tentang niat-nya yang ingin menjadikan anak gadis mereka sebagai tunangannya.

“Jadi bagaimana, Mr. Gunawan? Apakah niat putra saya ini mendapat persetujuan dari anda sekeluarga?” Lauren bertanya setelah sedari tadi menjadi juru bicara Jericho. Dalam hati Jericho merasa bersyukur, dengan adanya sang Ayah disini, suasananya terkesan normal sebab sudah selayaknya pembicaraan seperti ini, orang tua yang bersuara.

“Adek.” Tidak langsung menjawab pertanyaan dari Lauren. Hendra Gunawan, selaku Ayah dari Tara Fadila mengeluarkan suaranya untuk memanggil sang putri.

“Iya, Ayah.” Tara yang duduk bersebrangan dengan Jericho menjawab panggilan sang Ayah.

“Sudah dengar sendiri tadi, kan?”

Tara menganggukan kepalanya.

“Gimana?” Hendra menanyakannya pada Tara. Mendengar pertanyaan sang Ayah, gadis itu mengambil napas dalam sebelum memutuskan untuk menjawab.

“Aku mau.” Kalimat Tara terasa menggantung di udara, membuat seluruh keluarga Jericho menahan napas seraya menunggu jawaban serta lanjutan dari pembicaraan antara Ayah dan anak gadisnya itu.

“Aku udah jelas mau, Ayah.”

“Tapi balik lagi, mau-nya aku bakalan sempurna kalau diiringi restu dari Ayah, Bunda, sama Mas Dimas.” Tara mengucapkan kalimat-nya sambil memandangi anggota keluarga-nya secara bergantian.

Jericho melihat itu, lalu entah mengapa mata pria itu turut memandangi satu persatu keluarga Tara yang duduk berhadapan dengan keluarga-nya.

Hingga akhirnya pandangan Jericho berhenti pada Tara, gadis yang juga bersamaan menghentikan pandangannya pada Jericho. Kini baik Tara maupun Jericho, dua-duanya saling berpandangan seraya melemparkan senyuman tipis.

Dua insan berlawanan jenis itu mengharapkan hal yang sama, yaitu restu dari keluarga Tara.

Oh, atau mungkin bukan hanya mereka berdua, tetapi seluruh anggota keluarga Jericho juga mengharapkannya.

“Baiklah kalau begitu.” Setelah hening beberapa saat, Hendra Gunawan kembali mengangkat suaranya.

“Bunda?” Hendra melemparkan pertanyaan sekaligus pandangannya pada sang istri yang tengah duduk disamping Tara.

Terlihat Helma, Bunda dari Tara tersenyum dengan teduh seraya menjawab “Nak Jeri, ingat soal perkataan Bunda yang bilang kalau restu Bunda selalu menyertai kamu dengan Tara? Sampai hari ini, perkataan itu masih berlaku, Nak.”

“Restu Bunda selalu bersama kalian.” Helma tersenyum, sebabnya pula, Tara, Jericho dan juga seluruh keluarga Jericho ikut tersenyum.

“Dimas?” Kini setelah sang Bunda, giliran sang Kakak yang dimintai jawaban.

“Asalkan adek seneng, aku ikut seneng.” Terkesan singkat, namun jawaban itu juga berhasil membuat mayoritas orang diruangan ini merasa bisa bernapas meski sesaat sebab jawaban utama masih belum diketahui.

Kini giliran Hendra Gunawan, Ayah dari sang tokoh utama dari acara hari ini.

“Sejauh ini, belum pernah saya lihat putri saya tersenyum begitu cerah kala melihat seseorang yang itu adalah kamu.” Mata Hendra menyorot pada Jericho saat mengucapkan kalimatnya.

“Adek, bukan Ayah gatahu soal apa yang terjadi sama kamu di sekolah selama ini.”

“Soal mereka yang punya mulut jahat sama kamu, kesayangannya Ayah.”

Tara melihat pada Ayahnya dengan mulut yang sedikit terbuka dan mata yang berkaca-kaca. Pikiran gadis itu lalu terpaku, Ayahnya? Mengetahui semua hal yang selama ini terjadi pada dirinya?

Benarkah? Tapi mengapa? Sebab rasa-rasanya, sudah se apik mungkin Tara sembunyikan semua hal itu dari keluarganya.

“Baik Ayah, Mas Dimas atau Bunda. Semuanya tahu tentang masalah yang selama ini kamu sembunyikan, Dek.”

“Ayah..” Tara melirih sembari menatap pada seorang lelaki yang merupakan cinta pertama-nya.

“Kalau boleh jujur, Ayah sedih. Rasanya seperti Adek nggak mempercayai Ayah.”

“Ayah jadi bertanya-tanya, kiranya kenapa Adek nggak mau cerita? Apa Ayah kelihatan nggak bisa diandalkan atau bagaimana?”

Tara menggelengkan kepalanya, masih dengan matanya yang berkaca-kaca Tara melirih “Nggak gitu..”

“Gapapa, hak Adek mau disembunyikan seperti apa. Tapi Dek, hak Ayah juga untuk tahu apa masalah kamu.”

“Jadi lain kali jangan disembunyikan, biar Ayah juga tidak sembunyi-sembunyi dalam menyelesaikannya.”

Mendengarnya, kini Tara sedikit mengernyitkan dahinya. Mungkinkah?..

Mungkinkah diam-diam Ayah-nya memberi pelajaran pada mereka yang selama ini mengatakan hal-hal buruk padanya?

“Sejauh Ayah tahu tentang masalah Adek, sejauh ini juga Ayah tahu, bahwa semenjak Jericho ada, Adek jadi lebih banyak senyum, dan Ayah gak mau kehilangan senyuman itu.” Hendra kemudian melanjutkan kalimatnya. Pria berumur itu kemudian menatap Tara seraya memberikan senyuman terhangatnya.

Jericho dan keluarganya kemudian saling menatap, lalu serempak mereka semua memusatkan perhatiannya pada Hendra. Bukan hanya mereka, tetapi lagaknya perhatian semua orang yang ada diruangan ini memang tengah terpusat pada satu orang.

“Jericho, ambil restu saya dan jangan di sia-siakan. Tolong pertahankan senyuman anak gadis kesayangan saya, anak gadis kesayangan kami sekeluarga.”



Jika ditanya kapan dan apa yang pernah membuatnya merasa begitu gugup, Jericho akan menjawab hari ini, saat dimana pria itu duduk di sofa ruang tamu rumah Tara dengan seluruh anggota keluarga-nya untuk meminta persetujuan keluarga Tara tentang niat-nya yang ingin menjadikan anak gadis mereka sebagai tunangannya.

“Jadi bagaimana, Mr. Gunawan? Apakah niat putra saya ini mendapat persetujuan dari anda sekeluarga?” Lauren bertanya setelah sedari tadi menjadi juru bicara Jericho. Dalam hati Jericho merasa bersyukur, dengan adanya sang Ayah disini, suasananya terkesan normal sebab sudah selayaknya pembicaraan seperti ini, orang tua yang bersuara.

“Adek.” Tidak langsung menjawab pertanyaan dari Lauren. Hendra Gunawan, selaku Ayah dari Tara Fadila mengeluarkan suaranya untuk memanggil sang putri.

“Iya, Ayah.” Tara yang duduk bersebrangan dengan Jericho menjawab panggilan sang Ayah.

“Sudah dengar sendiri tadi, kan?”

Tara menganggukan kepalanya.

“Gimana?” Hendra menanyakannya pada Tara. Mendengar pertanyaan sang Ayah, gadis itu mengambil napas dalam sebelum memutuskan untuk menjawab.

“Aku mau.” Kalimat Tara terasa menggantung di udara, membuat seluruh keluarga Jericho menahan napas seraya menunggu jawaban serta lanjutan dari pembicaraan antara Ayah dan anak gadisnya itu.

“Aku udah jelas mau, Ayah.”

“Tapi balik lagi, mau-nya aku bakalan sempurna kalau diiringi restu dari Ayah, Bunda, sama Mas Dimas.” Tara mengucapkan kalimat-nya sambil memandangi anggota keluarga-nya secara bergantian.

Jericho melihat itu, lalu entah mengapa mata pria itu turut memandangi satu persatu keluarga Tara yang duduk berhadapan dengan keluarga-nya.

Hingga akhirnya pandangan Jericho berhenti pada Tara, gadis yang juga bersamaan menghentikan pandangannya pada Jericho. Kini baik Tara maupun Jericho, dua-duanya saling berpandangan seraya melemparkan senyuman tipis.

Dua insan berlawanan jenis itu mengharapkan hal yang sama, yaitu restu dari keluarga Tara.

Oh, atau mungkin bukan hanya mereka berdua, tetapi seluruh anggota keluarga Jericho juga mengharapkannya.

“Baiklah kalau begitu.” Setelah hening beberapa saat, Hendra Gunawan kembali mengangkat suaranya.

“Bunda?” Hendra melemparkan pertanyaan sekaligus pandangannya pada sang istri yang tengah duduk disamping Tara.

Terlihat Helma, Bunda dari Tara tersenyum dengan teduh seraya menjawab “Nak Jeri, ingat soal perkataan Bunda yang bilang kalau restu Bunda selalu menyertai kamu dengan Tara? Sampai hari ini, perkataan itu masih berlaku, Nak.”

“Restu Bunda selalu bersama kalian.” Helma tersenyum, sebabnya pula, Tara, Jericho dan juga seluruh keluarga Jericho ikut tersenyum.

“Dimas?” Kini setelah sang Bunda, giliran sang Kakak yang dimintai jawaban.

“Asalkan adek seneng, aku ikut seneng.” Terkesan singkat, namun jawaban itu juga berhasil membuat mayoritas orang diruangan ini merasa bisa bernapas meski sesaat sebab jawaban utama masih belum diketahui.

Kini giliran Hendra Gunawan, Ayah dari sang tokoh utama dari acara hari ini.

“Sejauh ini, belum pernah saya lihat putri saya tersenyum begitu cerah kala melihat seseorang yang itu adalah kamu.” Mata Hendra menyorot pada Jericho saat mengucapkan kalimatnya.

“Adek, bukan Ayah gatahu soal apa yang terjadi sama kamu di sekolah selama ini.”

“Soal mereka yang punya mulut jahat sama kamu, kesayangannya Ayah.”

Tara melihat pada Ayahnya dengan mulut yang sedikit terbuka dan mata yang berkaca-kaca. Pikiran gadis itu lalu terpaku, Ayahnya? Mengetahui semua hal yang selama ini terjadi pada dirinya?

Benarkah? Tapi mengapa? Sebab rasa-rasanya, sudah se apik mungkin Tara sembunyikan semua hal itu dari keluarganya.

“Baik Ayah, Mas Dimas atau Bunda. Semuanya tahu tentang masalah yang selama ini kamu sembunyikan, Dek.”

“Ayah..” Tara melirih sembari menatap pada seorang lelaki yang merupakan cinta pertama-nya.

“Kalau boleh jujur, Ayah sedih. Rasanya seperti Adek nggak mempercayai Ayah.”

“Ayah jadi bertanya-tanya, kiranya kenapa Adek nggak mau cerita? Apa Ayah kelihatan nggak bisa diandalkan atau bagaimana?”

Tara menggelengkan kepalanya, masih dengan matanya yang berkaca-kaca Tara melirih “Nggak gitu..”

“Gapapa, hak Adek mau disembunyikan seperti apa. Tapi Dek, hak Ayah juga untuk tahu apa masalah kamu.”

“Jadi lain kali jangan disembunyikan, biar Ayah juga tidak sembunyi-sembunyi dalam menyelesaikannya.”

Mendengarnya, kini Tara sedikit mengernyitkan dahinya. Mungkinkah?..

Mungkinkah diam-diam Ayah-nya memberi pelajaran pada mereka yang selama ini mengatakan hal-hal buruk padanya?

“Sejauh Ayah tahu tentang masalah Adek, sejauh ini juga Ayah tahu, bahwa semenjak Jericho ada, Adek jadi lebih banyak senyum, dan Ayah gak mau kehilangan senyuman itu.” Hendra kemudian melanjutkan kalimatnya. Pria berumur itu kemudian menatap Tara seraya memberikan senyuman terhangatnya.

Jericho dan keluarganya kemudian saling menatap, lalu serempak mereka semua memusatkan perhatiannya pada Hendra. Bukan hanya mereka, tetapi lagaknya perhatian semua orang yang ada diruangan ini memang tengah terpusat pada satu orang.

“Jericho, ambil restu saya dan jangan di sia-siakan. Tolong pertahankan senyuman anak gadis kesayangan saya, anak gadis kesayangan kami sekeluarga.”


Jika ditanya kapan dan apa yang pernah membuatnya merasa begitu gugup, Jericho akan menjawab hari ini, saat dimana pria itu duduk di sofa ruang tamu rumah Tara dengan seluruh anggota keluarga-nya untuk meminta persetujuan keluarga Tara tentang niat-nya yang ingin menjadikan anak gadis mereka sebagai tunangannya.

“Jadi bagaimana, Mr. Gunawan? Apakah niat putra saya ini mendapat persetujuan dari anda sekeluarga?” Lauren bertanya setelah sedari tadi menjadi juru bicara Jericho. Dalam hati Jericho merasa bersyukur, dengan adanya sang Ayah disini, suasananya terkesan normal sebab sudah selayaknya pembicaraan seperti ini, orang tua yang bersuara.

“Adek.” Tidak langsung menjawab pertanyaan dari Lauren. Hendra Gunawan, selaku Ayah dari Tara Fadila mengeluarkan suaranya untuk memanggil sang putri.

“Iya, Ayah.” Tara yang duduk bersebrangan dengan Jericho menjawab panggilan sang Ayah.

“Sudah dengar sendiri tadi, kan?”

Tara menganggukan kepalanya.

“Gimana?” Hendra menanyakannya pada Tara. Mendengar pertanyaan sang Ayah, gadis itu mengambil napas dalam sebelum memutuskan untuk menjawab.

“Aku mau.” Kalimat Tara terasa menggantung di udara, membuat seluruh keluarga Jericho menahan napas seraya menunggu jawaban serta lanjutan dari pembicaraan antara Ayah dan anak gadisnya itu.

“Aku udah jelas mau, Ayah.”

“Tapi balik lagi, mau-nya aku bakalan sempurna kalau diiringi restu dari Ayah, Bunda, sama Mas Dimas.” Tara mengucapkan kalimat-nya sambil memandangi anggota keluarga-nya secara bergantian.

Jericho melihat itu, lalu entah mengapa mata pria itu turut memandangi satu persatu keluarga Tara yang duduk berhadapan dengan keluarga-nya.

Hingga akhirnya pandangan Jericho berhenti pada Tara, gadis yang juga bersamaan menghentikan pandangannya pada Jericho. Kini baik Tara maupun Jericho, dua-duanya saling berpandangan seraya melemparkan senyuman tipis.

Dua insan berlawanan jenis itu mengharapkan hal yang sama, yaitu restu dari keluarga Tara.

Oh, atau mungkin bukan hanya mereka berdua, tetapi seluruh anggota keluarga Jericho juga mengharapkannya.

“Baiklah kalau begitu.” Setelah hening beberapa saat, Hendra Gunawan kembali mengangkat suaranya.

“Bunda?” Hendra melemparkan pertanyaan sekaligus pandangannya pada sang istri yang tengah duduk disamping Tara.

Terlihat Helma, Bunda dari Tara tersenyum dengan teduh seraya menjawab “Nak Jeri, ingat soal perkataan Bunda yang bilang kalau restu Bunda selalu menyertai kamu dengan Tara? Sampai hari ini, perkataan itu masih berlaku, Nak.”

“Restu Bunda selalu bersama kalian.” Helma tersenyum, sebabnya pula, Tara, Jericho dan juga seluruh keluarga Jericho ikut tersenyum.

“Dimas?” Kini setelah sang Bunda, giliran sang Kakak yang dimintai jawaban.

“Asalkan adek seneng, aku ikut seneng.” Terkesan singkat, namun jawaban itu juga berhasil membuat mayoritas orang diruangan ini merasa bisa bernapas meski sesaat sebab jawaban utama masih belum diketahui.

Kini giliran Hendra Gunawan, Ayah dari sang tokoh utama dari acara hari ini.

“Sejauh ini, belum pernah saya lihat putri saya tersenyum begitu cerah kala melihat seseorang yang itu adalah kamu.” Mata Hendra menyorot pada Jericho saat mengucapkan kalimatnya.

“Adek, bukan Ayah gatahu soal apa yang terjadi sama kamu di sekolah selama ini.”

“Soal mereka yang punya mulut jahat sama kamu, kesayangannya Ayah.”

Tara melihat pada Ayahnya dengan mulut yang sedikit terbuka dan mata yang berkaca-kaca. Pikiran gadis itu lalu terpaku, Ayahnya? Mengetahui semua hal yang selama ini terjadi pada dirinya?

Benarkah? Tapi mengapa? Sebab rasa-rasanya, sudah se apik mungkin Tara sembunyikan semua hal itu dari keluarganya.

“Baik Ayah, Mas Dimas atau Bunda. Semuanya tahu tentang masalah yang selama ini kamu sembunyikan, Dek.”

“Ayah..” Tara melirih sembari menatap pada seorang lelaki yang merupakan cinta pertama-nya.

“Kalau boleh jujur, Ayah sedih. Rasanya seperti Adek nggak mempercayai Ayah.”

“Ayah jadi bertanya-tanya, kiranya kenapa Adek nggak mau cerita? Apa Ayah kelihatan nggak bisa diandalkan atau bagaimana?”

Tara menggelengkan kepalanya, masih dengan matanya yang berkaca-kaca Tara melirih “Nggak gitu..”

“Gapapa, hak Adek mau disembunyikan seperti apa. Tapi Dek, hak Ayah juga untuk tahu apa masalah kamu.”

“Jadi lain kali jangan disembunyikan, biar Ayah juga tidak sembunyi-sembunyi dalam menyelesaikannya.”

Mendengarnya, kini Tara sedikit mengernyitkan dahinya. Mungkinkah?..

Mungkinkah diam-diam Ayah-nya memberi pelajaran pada mereka yang selama ini mengatakan hal-hal buruk padanya?

“Sejauh Ayah tahu tentang masalah Adek, sejauh ini juga Ayah tahu, bahwa semenjak Jericho ada, Adek jadi lebih banyak senyum, dan Ayah gak mau kehilangan senyuman itu.” Hendra kemudian melanjutkan kalimatnya. Pria berumur itu kemudian menatap Tara seraya memberikan senyuman terhangatnya.

Jericho dan keluarganya kemudian saling menatap, lalu serempak mereka semua memusatkan perhatiannya pada Hendra. Bukan hanya mereka, tetapi lagaknya perhatian semua orang yang ada diruangan ini memang tengah terpusat pada satu orang.

Setelah suasananya terasa sedih sebab kata-kata yang diungkapkan oleh Hendra kepada Tara, lagaknya kini, suasananya akan berakhir dengan isak tangis keharuan.

“Jericho, ambil restu saya dan jangan di sia-siakan. Tolong pertahankan senyuman anak gadis kesayangan saya, anak gadis kesayangan kami sekeluarga.”

Seketika itu perasaan lega menyelimuti semua orang, Jericho dan keluarganya betul-betul bisa bernapas dengan bebas setelah sedari tadi rasanya seperti mereka tengah menahan napas.

Bersamaan dengan itu Tara menangis, gadis itu segera menghampiri sang Ayah untuk kemudian memeluknya. Menumpahkan perasaan haru bercampur sedih. Haru sebab restu yang baru saja didapatnya, dan sedih sebab merasa bersalah telah menyembunyikan semua masalahnya dari sang Ayah.

Pikir Tara dulu, tak perlu keluarganya tahu sebab nanti bukan hanya dirinya yang merasa sedih, tapi semua anggota keluarganya.

Namun lagaknya, keputusan itu malah membuat mereka yang Tara sayangi semakin sedih sebab merasa tak diberi kepercayaan oleh Tara, si kesayangan.

“Ayah Makasih.” Dalam pelukan antara Ayah dan anak itu, Tara mengucapkan terimakasihnya perkara restu yang telah sang Ayah berikan. Lalu, “Ayah, Maaf.” Maaf karena Tara telah membuat

Jika ditanya kapan dan apa yang pernah membuatnya merasa begitu gugup, Jericho akan menjawab hari ini, saat dimana pria itu duduk di sofa ruang tamu rumah Tara dengan seluruh anggota keluarga-nya untuk meminta persetujuan keluarga Tara tentang niat-nya yang ingin menjadikan anak gadis mereka sebagai tunangannya.

“Jadi bagaimana, Mr. Gunawan? Apakah niat putra saya ini mendapat persetujuan dari anda sekeluarga?” Lauren bertanya setelah sedari tadi menjadi juru bicara Jericho. Dalam hati Jericho merasa bersyukur, dengan adanya sang Ayah disini, suasananya terkesan normal sebab sudah selayaknya pembicaraan seperti ini, orang tua yang bersuara.

“Adek.” Tidak langsung menjawab pertanyaan dari Lauren. Hendra Gunawan, selaku Ayah dari Tara Fadila mengeluarkan suaranya untuk memanggil sang putri.

“Iya, Ayah.” Tara yang duduk bersebrangan dengan Jericho menjawab panggilan sang Ayah.

“Sudah dengar sendiri tadi, kan?”

Tara menganggukan kepalanya.

“Gimana?” Hendra menanyakannya pada Tara. Mendengar pertanyaan sang Ayah, gadis itu mengambil napas dalam sebelum memutuskan untuk menjawab.

“Aku mau.” Kalimat Tara terasa menggantung di udara, membuat seluruh keluarga Jericho menahan napas seraya menunggu jawaban serta lanjutan dari pembicaraan antara Ayah dan anak gadisnya itu.

“Aku udah jelas mau, Ayah.”

“Tapi balik lagi, mau-nya aku bakalan sempurna kalau diiringi restu dari Ayah, Bunda, sama Mas Dimas.” Tara mengucapkan kalimat-nya sambil memandangi anggota keluarga-nya secara bergantian.

Jericho melihat itu, lalu entah mengapa mata pria itu turut memandangi satu persatu keluarga Tara yang duduk berhadapan dengan keluarga-nya.

Hingga akhirnya pandangan Jericho berhenti pada Tara, gadis yang juga bersamaan menghentikan pandangannya pada Jericho. Kini baik Tara maupun Jericho, dua-duanya saling berpandangan seraya melemparkan senyuman tipis.

Dua insan berlawanan jenis itu mengharapkan hal yang sama, yaitu restu dari keluarga Tara.

Oh, atau mungkin bukan hanya mereka berdua, tetapi seluruh anggota keluarga Jericho juga mengharapkannya.

“Baiklah kalau begitu.” Setelah hening beberapa saat, Hendra Gunawan kembali mengangkat suaranya.

“Bunda?” Hendra melemparkan pertanyaan sekaligus pandangannya pada sang istri yang tengah duduk disamping Tara.

Terlihat Helma, Bunda dari Tara tersenyum dengan teduh seraya menjawab “Nak Jeri, ingat soal perkataan Bunda yang bilang kalau restu Bunda selalu menyertai kamu dengan Tara? Sampai hari ini, perkataan itu masih berlaku, Nak.”

“Restu Bunda selalu bersama kalian.” Helma tersenyum, sebabnya pula, Tara, Jericho dan juga seluruh keluarga Jericho ikut tersenyum.

“Dimas?” Kini setelah sang Bunda, giliran sang Kakak yang dimintai jawaban.

“Asalkan adek seneng, aku ikut seneng.” Terkesan singkat, namun jawaban itu juga berhasil membuat mayoritas orang diruangan ini merasa bisa bernapas meski sesaat sebab jawaban utama masih belum diketahui.

Kini giliran Hendra Gunawan, Ayah dari sang tokoh utama dari acara hari ini.

“Sejauh ini, belum pernah saya lihat putri saya tersenyum begitu cerah kala melihat seseorang yang itu adalah kamu.” Mata Hendra menyorot pada Jericho.

“Adek, bukan Ayah gatahu soal apa yang terjadi sama kamu di sekolah selama ini.”

“Soal mereka yang punya mulut jahat sama kamu, kesayangannya Ayah.”

Tara melihat pada Ayahnya dengan mulut yang sedikit terbuka dan mata yang berkaca-kaca. Pikiran gadis itu lalu terpaku, Ayahnya? Mengetahui semua hal yang selama ini terjadi pada dirinya?

Benarkah? Tapi mengapa? Sebab rasa-rasanya, sudah se apik mungkin Tara sembunyikan semua hal itu dari keluarganya.

“Baik Ayah, Mas Dimas atau Bunda. Semuanya tahu tentang masalah yang selama ini kamu sembunyikan, Dek.”

“Ayah..” Tara melirih sembari menatap pada seorang lelaki yang merupakan cinta pertama-nya.

“Kalau boleh jujur, Ayah sedih. Rasanya seperti Adek nggak mempercayai Ayah.”

“Ayah jadi bertanya-tanya, kiranya kenapa Adek nggak mau cerita? Apa Ayah kelihatan nggak bisa diandalkan atau bagaimana?”

Tara menggelengkan kepalanya, masih dengan matanya yang berkaca-kaca Tara melirih “Nggak gitu..”

“Gapapa, hak Adek mau disembunyikan seperti apa. Tapi Dek, hak Ayah juga untuk tahu apa masalah kamu.”

“Jadi lain kali jangan disembunyikan, biar Ayah juga tidak sembunyi-sembunyi dalam menyelesaikannya.”

Mendengarnya, kini Tara sedikit mengernyitkan dahinya. Mungkinkah?..

Mungkinkah diam-diam Ayah-nya memberi pelajaran pada mereka yang selama ini mengatakan hal-hal buruk padanya?

“Sejauh Ayah tahu tentang masalah Adek, sejauh ini juga Ayah tahu, bahwa semenjak Jericho ada, Adek jadi lebih banyak senyum, dan Ayah gak mau kehilangan senyuman itu.” Hendra kemudian melanjutkan kalimatnya. Pria berumur itu kemudian menatap Tara seraya memberikan senyuman terhangatnya.

Jericho dan keluarganya kemudian saling menatap, lalu serempak mereka semua memusatkan perhatiannya pada Hendra. Bukan hanya mereka, tetapi lagaknya perhatian semua orang yang ada diruangan ini memang tengah terpusat pada satu orang.

Setelah suasananya terasa sedih sebab kata-kata yang diungkapkan oleh Hendra kepada Tara, lagaknya kini, suasananya akan berakhir dengan isak tangis keharuan.

“Jericho, ambil restu saya dan jangan di sia-siakan. Tolong pertahankan senyuman anak gadis kesayangan saya, anak gadis kesayangan kami sekeluarga.”

Seketika itu perasaan lega menyelimuti semua orang, Jericho dan keluarganya betul-betul bisa bernapas dengan bebas setelah sedari tadi rasanya seperti mereka tengah menahan napas.

Bersamaan dengan itu Tara menangis, gadis itu segera menghampiri sang Ayah untuk kemudian memeluknya. Menumpahkan perasaan haru bercampur sedih. Haru sebab restu yang baru saja didapatnya, dan sedih sebab merasa bersalah telah menyembunyikan semua masalahnya dari sang Ayah.

Pikir Tara dulu, tak perlu keluarganya tahu sebab nanti bukan hanya dirinya yang merasa sedih, tapi semua anggota keluarganya.

Namun lagaknya, keputusan itu malah membuat mereka yang Tara sayangi semakin sedih sebab merasa tak diberi kepercayaan oleh Tara, si kesayangan.

“Ayah Makasih.” Dalam pelukan antara Ayah dan anak itu, Tara mengucapkan terimakasihnya perkara restu yang telah sang Ayah berikan. Lalu, “Ayah, Maaf.” Maaf karena Tara telah membuat

Jika ditanya kapan dan apa yang pernah membuatnya merasa begitu gugup, Jericho akan menjawab hari ini, saat dimana pria itu duduk di sofa ruang tamu rumah Tara dengan seluruh anggota keluarga-nya untuk meminta persetujuan keluarga Tara tentang niat-nya yang ingin menjadikan anak gadis mereka sebagai tunangannya.

“Jadi bagaimana, Mr. Gunawan? Apakah niat putra saya ini mendapat persetujuan dari anda sekeluarga?” Lauren bertanya setelah sedari tadi menjadi juru bicara Jericho. Dalam hati Jericho merasa bersyukur, dengan adanya sang Ayah disini, suasananya terkesan normal sebab sudah selayaknya pembicaraan seperti ini, orang tua yang bersuara.

“Adek.” Tidak langsung menjawab pertanyaan dari Lauren. Hendra Gunawan, selaku Ayah dari Tara Fadila mengeluarkan suaranya untuk memanggil sang putri.

“Iya, Ayah.” Tara yang duduk bersebrangan dengan Jericho menjawab panggilan sang Ayah.

“Sudah dengar sendiri tadi, kan?”

Tara menganggukan kepalanya.

“Gimana?” Hendra menanyakannya pada Tara. Mendengar pernyataan sang Ayah, gadis itu mengambil napas dalam sebelum memutuskan untuk menjawab.

“Aku mau.” Kalimat Tara terasa menggantung di udara, membuat seluruh keluarga Jericho menahan napas seraya menunggu jawaban serta lanjutan dari pembicaraan antara Ayah dan anak gadisnya itu.

“Aku udah jelas mau, Ayah.”

“Tapi balik lagi, mau-nya aku bakalan sempurna kalau diiringi restu dari Ayah, Bunda, sama Mas Dimas.” Tara mengucapkan kalimat-nya sambil memandangi anggota keluarga-nya secara bergantian.

Jericho melihat itu, lalu entah mengapa mata pria itu turut memandangi satu persatu keluarga Tara yang duduk berhadapan dengan keluarga-nya.

Hingga akhirnya pandangan Jericho berhenti pada Tara, gadis yang juga bersamaan menghentikan pandangannya pada Jericho. Kini baik Tara maupun Jericho, dua-duanya saling berpandangan seraya melemparkan senyuman tipis.

Dua insan berlawanan jenis itu mengharapkan hal yang sama, yaitu restu dari keluarga Tara.

Oh, atau mungkin bukan hanya mereka berdua, tetapi seluruh anggota keluarga Jericho juga mengharapkannya.

“Baiklah kalau begitu.” Setelah hening beberapa saat, Hendra Gunawan kembali mengangkat suaranya.

“Bunda?” Hendra melemparkan pertanyaan sekaligus pandangannya pada sang istri yang tengah duduk disamping Tara.

Terlihat Helma, Bunda dari Tara tersenyum dengan teduh seraya menjawab “Nak Jeri, ingat soal perkataan Bunda yang bilang kalau restu Bunda selalu menyertai kamu dengan Tara? Sampai hari ini, perkataan itu masih berlaku, Nak.”

“Restu Bunda selalu bersama kalian.” Helma tersenyum, sebabnya pula, Tara, Jericho dan juga seluruh keluarga Jericho ikut tersenyum.

“Dimas?” Kini setelah sang Bunda, giliran sang Kakak yang dimintai jawaban.

“Asalkan adek seneng, aku ikut seneng.” Terkesan singkat, namun jawaban itu juga berhasil membuat mayoritas orang diruangan ini merasa bisa bernapas meski sesaat sebab jawaban utama masih belum diketahui.

Kini giliran Hendra Gunawan, Ayah dari sang tokoh utama dari acara hari ini.

“Sejauh ini, belum pernah saya lihat putri saya tersenyum begitu cerah kala melihat seseorang yang itu adalah kamu.” Mata Hendra menyorot pada Jericho.

“Adek, bukan Ayah gatahu soal apa yang terjadi sama kamu di sekolah selama ini.”

“Soal mereka yang punya mulut jahat sama kamu, kesayangannya Ayah.”

Tara melihat pada Ayahnya dengan mulut yang sedikit terbuka dan mata yang berkaca-kaca. Pikiran gadis itu lalu terpaku, Ayahnya? Mengetahui semua hal yang selama ini terjadi pada dirinya?

Benarkah? Tapi mengapa? Sebab rasa-rasanya, sudah se apik mungkin Tara sembunyikan semua hal itu dari keluarganya.

“Baik Ayah, Mas Dimas atau Bunda. Semuanya tahu tentang masalah yang selama ini kamu sembunyikan, Dek.”

“Ayah..” Tara melirih sembari menatap pada seorang lelaki yang merupakan cinta pertama-nya.

“Kalau boleh jujur, Ayah sedih. Rasanya seperti Adek nggak mempercayai Ayah.”

“Ayah jadi bertanya-tanya, kiranya kenapa Adek nggak mau cerita? Apa Ayah kelihatan nggak bisa diandalkan atau bagaimana?”

Tara menggelengkan kepalanya, masih dengan matanya yang berkaca-kaca Tara melirih “Nggak gitu..”

“Gapapa, hak Adek mau disembunyikan seperti apa. Tapi Dek, hak Ayah juga untuk tahu apa masalah kamu.”

“Jadi lain kali jangan disembunyikan, biar Ayah juga tidak sembunyi-sembunyi dalam menyelesaikannya.”

Mendengarnya, kini Tara sedikit mengernyitkan dahinya. Mungkinkah?..

Mungkinkah diam-diam Ayah-nya memberi pelajaran pada mereka yang selama ini mengatakan hal-hal buruk padanya?

“Sejauh Ayah tahu tentang masalah Adek, sejauh ini juga Ayah tahu, bahwa semenjak Jericho ada, Adek jadi lebih banyak senyum, dan Ayah gak mau kehilangan senyuman itu.” Hendra kemudian melanjutkan kalimatnya. Pria berumur itu kemudian menatap Tara seraya memberikan senyuman terhangatnya.

Jericho dan keluarganya kemudian saling menatap, lalu serempak mereka semua memusatkan perhatiannya pada Hendra. Bukan hanya mereka, tetapi lagaknya perhatian semua orang yang ada diruangan ini memang tengah terpusat pada satu orang.

Setelah suasananya terasa sedih sebab kata-kata yang diungkapkan oleh Hendra kepada Tara, lagaknya kini, suasananya akan berakhir dengan isak tangis keharuan.

“Jericho, ambil restu saya dan jangan di sia-siakan. Tolong pertahankan senyuman anak gadis kesayangan saya, anak gadis kesayangan kami sekeluarga.”

Seketika itu perasaan lega menyelimuti semua orang, Jericho dan keluarganya betul-betul bisa bernapas dengan bebas setelah sedari tadi rasanya seperti mereka tengah menahan napas.

Bersamaan dengan itu Tara menangis, gadis itu segera menghampiri sang Ayah untuk kemudian memeluknya. Menumpahkan perasaan haru bercampur sedih. Haru sebab restu yang baru saja didapatnya, dan sedih sebab merasa bersalah telah menyembunyikan semua masalahnya dari sang Ayah.

Pikir Tara dulu, tak perlu keluarganya tahu sebab nanti bukan hanya dirinya yang merasa sedih, tapi semua anggota keluarganya.

Namun lagaknya, keputusan itu malah membuat mereka yang Tara sayangi semakin sedih sebab merasa tak diberi kepercayaan oleh Tara, si kesayangan.

“Ayah Makasih.” Dalam pelukan antara Ayah dan anak itu, Tara mengucapkan terimakasihnya perkara restu yang telah sang Ayah berikan. Lalu, “Ayah, Maaf.” Maaf karena Tara telah membuat

Jika ditanya kapan dan apa yang pernah membuatnya merasa begitu gugup, Jericho akan menjawab hari ini, saat dimana pria itu duduk di sofa ruang tamu rumah Tara dengan seluruh anggota keluarga-nya untuk meminta persetujuan keluarga Tara tentang niat-nya yang ingin menjadikan anak gadis mereka sebagai tunangannya.

“Jadi bagaimana, Mr. Gunawan? Apakah niat putra saya ini mendapat persetujuan dari anda sekeluarga?” Lauren bertanya setelah sedari tadi menjadi juru bicara Jericho. Dalam hati Jericho merasa bersyukur, dengan adanya sang Ayah disini, suasananya terkesan normal sebab sudah selayaknya pembicaraan seperti ini, orang tua yang bersuara.

“Adek.” Tidak langsung menjawab pertanyaan dari Lauren. Hendra Gunawan, selaku Ayah dari Tara Fadila mengeluarkan suaranya untuk memanggil sang putri.

“Iya, Ayah.” Tara yang duduk bersebrangan dengan Jericho menjawab panggilan sang Ayah.

“Sudah dengar sendiri tadi kan?”

Tara menganggukan kepalanya.

“Gimana?” Hendra menanyakannya pada Tara. Mendengar pernyataan sang Ayah, gadis itu mengambil napas dalam sebelum memutuskan untuk menjawab.

“Aku mau.” Kalimat Tara terasa menggantung di udara, membuat seluruh keluarga Jericho menahan napas seraya menunggu jawaban serta lanjutan dari pembicaraan antara Ayah dan anak gadisnya itu.

“Aku udah jelas mau, Ayah.”

“Tapi balik lagi, mau-nya aku bakalan sempurna kalau diiringi restu dari Ayah, Bunda, sama Mas Dimas.” Tara mengucapkan kalimat-nya sambil memandangi anggota keluarga-nya secara bergantian.

Jericho melihat itu, lalu entah mengapa mata pria itu turut memandangi satu persatu keluarga Tara yang duduk berhadapan dengan keluarga-nya.

Hingga akhirnya pandangan Jericho berhenti pada Tara, gadis yang juga bersamaan menghentikan pandangannya pada Jericho. Kini baik Tara maupun Jericho, dua-duanya saling berpandangan seraya melemparkan senyuman tipis.

Dua insan berlawanan jenis itu mengharapkan hal yang sama, yaitu restu dari keluarga Tara.

Oh, atau mungkin bukan hanya mereka berdua, tetapi seluruh anggota keluarga Jericho juga mengharapkannya.

“Baiklah kalau begitu.” Setelah hening beberapa saat, Hendra Gunawan kembali mengangkat suaranya.

“Bunda?” Hendra melemparkan pertanyaan sekaligus pandangannya pada sang istri yang tengah duduk disamping Tara.

Terlihat Helma, Bunda dari Tara tersenyum dengan teduh seraya menjawab “Nak Jeri, ingat soal perkataan Bunda yang bilang kalau restu Bunda selalu menyertai kamu dengan Tara? Sampai hari ini, perkataan itu masih berlaku, Nak.”

“Restu Bunda selalu bersama kalian.” Helma tersenyum, sebabnya pula, Tara, Jericho dan juga seluruh keluarga Jericho ikut tersenyum.

“Dimas?” Kini setelah sang Bunda, giliran sang Kakak yang dimintai jawaban.

“Asalkan adek seneng, aku ikut seneng.” Terkesan singkat, namun jawaban itu juga berhasil membuat mayoritas orang diruangan ini merasa bisa bernapas meski sesaat sebab jawaban utama masih belum diketahui.

Kini giliran Hendra Gunawan, Ayah dari sang tokoh utama dari acara hari ini.

“Sejauh ini, belum pernah saya lihat putri saya tersenyum begitu cerah kala melihat seseorang yang itu adalah kamu.” Mata Hendra menyorot pada Jericho.

“Adek, bukan Ayah gatahu soal apa yang terjadi sama kamu di sekolah selama ini.”

“Soal mereka yang punya mulut jahat sama kamu, kesayangannya Ayah.”

Tara melihat pada Ayahnya dengan mulut yang sedikit terbuka dan mata yang berkaca-kaca. Pikiran gadis itu lalu terpaku, Ayahnya? Mengetahui semua hal yang selama ini terjadi pada dirinya?

Benarkah? Tapi mengapa? Sebab rasa-rasanya, sudah se apik mungkin Tara sembunyikan semua hal itu dari keluarganya.

“Baik Ayah, Mas Dimas atau Bunda. Semuanya tahu tentang masalah yang selama ini kamu sembunyikan, Dek.”

“Ayah..” Tara melirih sembari menatap pada seorang lelaki yang merupakan cinta pertama-nya.

“Kalau boleh jujur, Ayah sedih. Rasanya seperti Adek nggak mempercayai Ayah.”

“Ayah jadi bertanya-tanya, kiranya kenapa Adek nggak mau cerita? Apa Ayah kelihatan nggak bisa diandalkan atau bagaimana?”

Tara menggelengkan kepalanya, masih dengan matanya yang berkaca-kaca Tara melirih “Nggak gitu..”

“Gapapa, hak Adek mau disembunyikan seperti apa. Tapi Dek, hak Ayah juga untuk tahu apa masalah kamu.”

“Jadi lain kali jangan disembunyikan, biar Ayah juga tidak sembunyi-sembunyi dalam menyelesaikannya.”

Mendengarnya, kini Tara sedikit mengernyitkan dahinya. Mungkinkah?..

Mungkinkah diam-diam Ayah-nya memberi pelajaran pada mereka yang selama ini mengatakan hal-hal buruk padanya?

“Sejauh Ayah tahu tentang masalah Adek, sejauh ini juga Ayah tahu, bahwa semenjak Jericho ada, Adek jadi lebih banyak senyum, dan Ayah gak mau kehilangan senyuman itu.” Hendra kemudian melanjutkan kalimatnya. Pria berumur itu kemudian menatap Tara seraya memberikan senyuman terhangatnya.

Jericho dan keluarganya kemudian saling menatap, lalu serempak mereka semua memusatkan perhatiannya pada Hendra. Bukan hanya mereka, tetapi lagaknya perhatian semua orang yang ada diruangan ini memang tengah terpusat pada satu orang.

Setelah suasananya terasa sedih sebab kata-kata yang diungkapkan oleh Hendra kepada Tara, lagaknya kini, suasananya akan berakhir dengan isak tangis keharuan.

“Jericho, ambil restu saya dan jangan di sia-siakan. Tolong pertahankan senyuman anak gadis kesayangan saya, anak gadis kesayangan kami sekeluarga.”

Seketika itu perasaan lega menyelimuti semua orang, Jericho dan keluarganya betul-betul bisa bernapas dengan bebas setelah sedari tadi rasanya seperti mereka tengah menahan napas.

Bersamaan dengan itu Tara menangis, gadis itu segera menghampiri sang Ayah untuk kemudian memeluknya. Menumpahkan perasaan haru bercampur sedih. Haru sebab restu yang baru saja didapatnya, dan sedih sebab merasa bersalah telah menyembunyikan semua masalahnya dari sang Ayah.

Pikir Tara dulu, tak perlu keluarganya tahu sebab nanti bukan hanya dirinya yang merasa sedih, tapi semua anggota keluarganya.

Namun lagaknya, keputusan itu malah membuat mereka yang Tara sayangi semakin sedih sebab merasa tak diberi kepercayaan oleh Tara, si kesayangan.

“Ayah Makasih.” Dalam pelukan antara Ayah dan anak itu, Tara mengucapkan terimakasihnya perkara restu yang telah sang Ayah berikan. Lalu, “Ayah, Maaf.” Maaf karena Tara telah membuat

Jika ditanya kapan dan apa yang pernah membuatnya merasa begitu gugup, Jericho akan menjawab hari ini, saat dimana pria itu duduk di sofa ruang tamu rumah Tara dengan seluruh anggota keluarga-nya untuk meminta persetujuan keluarga Tara tentang niat-nya yang ingin menjadikan anak gadis mereka sebagai tunangannya.

“Jadi bagaimana, Mr. Gunawan? Apakah niat putra saya ini mendapat persetujuan dari anda sekeluarga?” Lauren bertanya setelah sedari tadi menjadi juru bicara Jericho. Dalam hati Jericho merasa bersyukur, sebab dengan adanya sang Ayah disini, suasananya terkesan normal sebab sudah selayaknya pembicaraan seperti ini, orang tua yang bersuara.

“Adek.” Tidak langsung menjawab pertanyaan dari Lauren. Hendra Gunawan, selaku Ayah dari Tara Fadila mengeluarkan suaranya untuk memanggil sang putri.

“Iya, Ayah.” Tara yang duduk bersebrangan dengan Jericho menjawab panggilan sang Ayah.

“Sudah dengar sendiri tadi kan?”

Tara menganggukan kepalanya.

“Gimana?” Hendra menanyakannya pada Tara. Mendengar pernyataan sang Ayah, gadis itu mengambil napas dalam sebelum memutuskan untuk menjawab.

“Aku mau.” Kalimat Tara terasa menggantung di udara, membuat seluruh keluarga Jericho menahan napas seraya menunggu jawaban serta lanjutan dari pembicaraan antara Ayah dan anak gadisnya itu.

“Aku udah jelas mau, Ayah.”

“Tapi balik lagi, mau-nya aku bakalan sempurna kalau diiringi restu dari Ayah, Bunda, sama Mas Dimas.” Tara mengucapkan kalimat-nya sambil memandangi anggota keluarga-nya secara bergantian.

Jericho melihat itu, lalu entah mengapa mata pria itu turut memandangi satu persatu keluarga Tara yang duduk berhadapan dengan keluarga-nya.

Hingga akhirnya pandangan Jericho berhenti pada Tara, gadis yang juga bersamaan menghentikan pandangannya pada Jericho. Kini baik Tara maupun Jericho, dua-duanya saling berpandangan seraya melemparkan senyuman tipis.

Dua insan berlawanan jenis itu mengharapkan hal yang sama, yaitu restu dari keluarga Tara.

Oh, atau mungkin bukan hanya mereka berdua, tetapi seluruh anggota keluarga Jericho juga mengharapkannya.

“Baiklah kalau begitu.” Setelah hening beberapa saat, Hendra Gunawan kembali mengangkat suaranya.

“Bunda?” Hendra melemparkan pertanyaan sekaligus pandangannya pada sang istri yang tengah duduk disamping Tara.

Terlihat Helma, Bunda dari Tara tersenyum dengan teduh seraya menjawab “Nak Jeri, ingat soal perkataan Bunda yang bilang kalau restu Bunda selalu menyertai kamu dengan Tara? Sampai hari ini, perkataan itu masih berlaku, Nak.”

“Restu Bunda selalu bersama kalian.” Helma tersenyum, sebabnya pula, Tara, Jericho dan juga seluruh keluarga Jericho ikut tersenyum.

“Dimas?” Kini setelah sang Bunda, giliran sang Kakak yang dimintai jawaban.

“Asalkan adek seneng, aku ikut seneng.” Terkesan singkat, namun jawaban itu juga berhasil membuat mayoritas orang diruangan ini merasa bisa bernapas meski sesaat sebab jawaban utama masih belum diketahui.

Kini giliran Hendra Gunawan, Ayah dari sang tokoh utama dari acara hari ini.

“Sejauh ini, belum pernah saya lihat putri saya tersenyum begitu cerah kala melihat seseorang yang itu adalah kamu.” Mata Hendra menyorot pada Jericho.

“Adek, bukan Ayah gatahu soal apa yang terjadi sama kamu di sekolah selama ini.”

“Soal mereka yang punya mulut jahat sama kamu, kesayangannya Ayah.”

Tara melihat pada Ayahnya dengan mulut yang sedikit terbuka dan mata yang berkaca-kaca. Pikiran gadis itu lalu terpaku, Ayahnya? Mengetahui semua hal yang selama ini terjadi pada dirinya?

Benarkah? Tapi mengapa? Sebab rasa-rasanya, sudah se apik mungkin Tara sembunyikan semua hal itu dari keluarganya.

“Baik Ayah, Mas Dimas atau Bunda. Semuanya tahu tentang masalah yang selama ini kamu sembunyikan, Dek.”

“Ayah..” Tara melirih sembari menatap pada seorang lelaki yang merupakan cinta pertama-nya.

“Kalau boleh jujur, Ayah sedih. Rasanya seperti Adek nggak mempercayai Ayah.”

“Ayah jadi bertanya-tanya, kiranya kenapa Adek nggak mau cerita? Apa Ayah kelihatan nggak bisa diandalkan atau bagaimana?”

Tara menggelengkan kepalanya, masih dengan matanya yang berkaca-kaca Tara melirih “Nggak gitu..”

“Gapapa, hak Adek mau disembunyikan seperti apa. Tapi Dek, hak Ayah juga untuk tahu apa masalah kamu.”

“Jadi lain kali jangan disembunyikan, biar Ayah juga tidak sembunyi-sembunyi dalam menyelesaikannya.”

Mendengarnya, kini Tara sedikit mengernyitkan dahinya. Mungkinkah?..

Mungkinkah diam-diam Ayah-nya memberi pelajaran pada mereka yang selama ini mengatakan hal-hal buruk padanya?

“Sejauh Ayah tahu tentang masalah Adek, sejauh ini juga Ayah tahu, bahwa semenjak Jericho ada, Adek jadi lebih banyak senyum, dan Ayah gak mau kehilangan senyuman itu.” Hendra kemudian melanjutkan kalimatnya. Pria berumur itu kemudian menatap Tara seraya memberikan senyuman terhangatnya.

Jericho dan keluarganya kemudian saling menatap, lalu serempak mereka semua memusatkan perhatiannya pada Hendra. Bukan hanya mereka, tetapi lagaknya perhatian semua orang yang ada diruangan ini memang tengah terpusat pada satu orang.

Setelah suasananya terasa sedih sebab kata-kata yang diungkapkan oleh Hendra kepada Tara, lagaknya kini, suasananya akan berakhir dengan isak tangis keharuan.

“Jericho, ambil restu saya dan jangan di sia-siakan. Tolong pertahankan senyuman anak gadis kesayangan saya, anak gadis kesayangan kami sekeluarga.”

Seketika itu perasaan lega menyelimuti semua orang, Jericho dan keluarganya betul-betul bisa bernapas dengan bebas setelah sedari tadi rasanya seperti mereka tengah menahan napas.

Bersamaan dengan itu Tara menangis, gadis itu segera menghampiri sang Ayah untuk kemudian memeluknya. Menumpahkan perasaan haru bercampur sedih. Haru sebab restu yang baru saja didapatnya, dan sedih sebab merasa bersalah telah menyembunyikan semua masalahnya dari sang Ayah.

Pikir Tara dulu, tak perlu keluarganya tahu sebab nanti bukan hanya dirinya yang merasa sedih, tapi semua anggota keluarganya.

Namun lagaknya, keputusan itu malah membuat mereka yang Tara sayangi semakin sedih sebab merasa tak diberi kepercayaan oleh Tara, si kesayangan.

“Ayah Makasih.” Dalam pelukan antara Ayah dan anak itu, Tara mengucapkan terimakasihnya perkara restu yang telah sang Ayah berikan. Lalu, “Ayah, Maaf.” Maaf karena Tara telah membuat

Jika ditanya kapan dan apa yang pernah membuatnya merasa begitu gugup, Jericho akan menjawab hari ini, saat dimana pria itu duduk di sofa ruang tamu Tara dengan seluruh anggota keluarga-nya untuk meminta persetujuan keluarga Tara tentang niat-nya yang ingin menjadikan anak gadis mereka sebagai tunangannya.

“Jadi bagaimana, Mr. Gunawan? Apakah niat putra saya ini mendapat persetujuan dari anda sekeluarga?” Lauren bertanya setelah sedari tadi menjadi juru bicara Jericho. Dalam hati Jericho merasa bersyukur, sebab dengan adanya sang Ayah disini, suasananya terkesan normal sebab sudah selayaknya pembicaraan seperti ini, orang tua yang bersuara.

“Adek.” Tidak langsung menjawab pertanyaan dari Lauren. Hendra Gunawan, selaku Ayah dari Tara Fadila mengeluarkan suaranya untuk memanggil sang putri.

“Iya, Ayah.” Tara yang duduk bersebrangan dengan Jericho menjawab panggilan sang Ayah.

“Sudah dengar sendiri tadi kan?”

Tara menganggukan kepalanya.

“Gimana?” Hendra menanyakannya pada Tara. Mendengar pernyataan sang Ayah, gadis itu mengambil napas dalam sebelum memutuskan untuk menjawab.

“Aku mau.” Kalimat Tara terasa menggantung di udara, membuat seluruh keluarga Jericho menahan napas seraya menunggu jawaban serta lanjutan dari pembicaraan antara Ayah dan anak gadisnya itu.

“Aku udah jelas mau, Ayah.”

“Tapi balik lagi, mau-nya aku bakalan sempurna kalau diiringi restu dari Ayah, Bunda, sama Mas Dimas.” Tara mengucapkan kalimat-nya sambil memandangi anggota keluarga-nya secara bergantian.

Jericho melihat itu, lalu entah mengapa mata pria itu turut memandangi satu persatu keluarga Tara yang duduk berhadapan dengan keluarga-nya.

Hingga akhirnya pandangan Jericho berhenti pada Tara, gadis yang juga bersamaan menghentikan pandangannya pada Jericho. Kini baik Tara maupun Jericho, dua-duanya saling berpandangan seraya melemparkan senyuman tipis.

Dua insan berlawanan jenis itu mengharapkan hal yang sama, yaitu restu dari keluarga Tara.

Oh, atau mungkin bukan hanya mereka berdua, tetapi seluruh anggota keluarga Jericho juga mengharapkannya.

“Baiklah kalau begitu.” Setelah hening beberapa saat, Hendra Gunawan kembali mengangkat suaranya.

“Bunda?” Hendra melemparkan pertanyaan sekaligus pandangannya pada sang istri yang tengah duduk disamping Tara.

Terlihat Helma, Bunda dari Tara tersenyum dengan teduh seraya menjawab “Nak Jeri, ingat soal perkataan Bunda yang bilang kalau restu Bunda selalu menyertai kamu dengan Tara? Sampai hari ini, perkataan itu masih berlaku, Nak.”

“Restu Bunda selalu bersama kalian.” Helma tersenyum, sebabnya pula, Tara, Jericho dan juga seluruh keluarga Jericho ikut tersenyum.

“Dimas?” Kini setelah sang Bunda, giliran sang Kakak yang dimintai jawaban.

“Asalkan adek seneng, aku ikut seneng.” Terkesan singkat, namun jawaban itu juga berhasil membuat mayoritas orang diruangan ini merasa bisa bernapas meski sesaat sebab jawaban utama masih belum diketahui.

Kini giliran Hendra Gunawan, Ayah dari sang tokoh utama dari acara hari ini.

“Sejauh ini, belum pernah saya lihat putri saya tersenyum begitu cerah kala melihat seseorang yang itu adalah kamu.” Mata Hendra menyorot pada Jericho.

“Adek, bukan Ayah gatahu soal apa yang terjadi sama kamu di sekolah selama ini.”

“Soal mereka yang punya mulut jahat sama kamu, kesayangannya Ayah.”

Tara melihat pada Ayahnya dengan mulut yang sedikit terbuka dan mata yang berkaca-kaca. Pikiran gadis itu lalu terpaku, Ayahnya? Mengetahui semua hal yang selama ini terjadi pada dirinya?

Benarkah? Tapi mengapa? Sebab rasa-rasanya, sudah se apik mungkin Tara sembunyikan semua hal itu dari keluarganya.

“Baik Ayah, Mas Dimas atau Bunda. Semuanya tahu tentang masalah yang selama ini kamu sembunyikan, Dek.”

“Ayah..” Tara melirih sembari menatap pada seorang lelaki yang merupakan cinta pertama-nya.

“Kalau boleh jujur, Ayah sedih. Rasanya seperti Adek nggak mempercayai Ayah.”

“Ayah jadi bertanya-tanya, kiranya kenapa Adek nggak mau cerita? Apa Ayah kelihatan nggak bisa diandalkan atau bagaimana?”

Tara menggelengkan kepalanya, masih dengan matanya yang berkaca-kaca Tara melirih “Nggak gitu..”

“Gapapa, hak Adek mau disembunyikan seperti apa. Tapi Dek, hak Ayah juga untuk tahu apa masalah kamu.”

“Jadi lain kali jangan disembunyikan, biar Ayah juga tidak sembunyi-sembunyi dalam menyelesaikannya.”

Mendengarnya, kini Tara sedikit mengernyitkan dahinya. Mungkinkah?..

Mungkinkah diam-diam Ayah-nya memberi pelajaran pada mereka yang selama ini mengatakan hal-hal buruk padanya?

“Sejauh Ayah tahu tentang masalah Adek, sejauh ini juga Ayah tahu, bahwa semenjak Jericho ada, Adek jadi lebih banyak senyum, dan Ayah gak mau kehilangan senyuman itu.” Hendra kemudian melanjutkan kalimatnya. Pria berumur itu kemudian menatap Tara seraya memberikan senyuman terhangatnya.

Jericho dan keluarganya kemudian saling menatap, lalu serempak mereka semua memusatkan perhatiannya pada Hendra. Bukan hanya mereka, tetapi lagaknya perhatian semua orang yang ada diruangan ini memang tengah terpusat pada satu orang.

Setelah suasananya terasa sedih sebab kata-kata yang diungkapkan oleh Hendra kepada Tara, lagaknya kini, suasananya akan berakhir dengan isak tangis keharuan.

“Jericho, ambil restu saya dan jangan di sia-siakan. Tolong pertahankan senyuman anak gadis kesayangan saya, anak gadis kesayangan kami sekeluarga.”

Seketika itu perasaan lega menyelimuti semua orang, Jericho dan keluarganya betul-betul bisa bernapas dengan bebas setelah sedari tadi rasanya seperti mereka tengah menahan napas.

Bersamaan dengan itu Tara menangis, gadis itu segera menghampiri sang Ayah untuk kemudian memeluknya. Menumpahkan perasaan haru bercampur sedih. Haru sebab restu yang baru saja didapatnya, dan sedih sebab merasa bersalah telah menyembunyikan semua masalahnya dari sang Ayah.

Pikir Tara dulu, tak perlu keluarganya tahu sebab nanti bukan hanya dirinya yang merasa sedih, tapi semua anggota keluarganya.

Namun lagaknya, keputusan itu malah membuat mereka yang Tara sayangi semakin sedih sebab merasa tak diberi kepercayaan oleh Tara, si kesayangan.

“Ayah Makasih.” Dalam pelukan antara Ayah dan anak itu, Tara mengucapkan terimakasihnya perkara restu yang telah sang Ayah berikan. Lalu, “Ayah, Maaf.” Maaf karena Tara telah membuat