sugarloaf


“Ra, aku didepan” “Perlu masuk dulu ke rumah ga?”

Itu dua notifikasi pesan dari Jericho yang muncul di lock screen ponselnya.

“Nggak usah, di rumah lagi ga ada orang, Bunda lagi ke Supermarket”

Setelah mengetikan balasan pada Jericho, Tara segera ke luar kamarnya lalu bergegas ke luar dari rumahnya.

“Hai.” Sapa Tara pada Jericho saat gadis itu keluar dari gerbang rumah nya.

“Hai.” Jericho membalasnya.

Kini, singkat cerita keduanya sudah berada di dalam mobil yang tengah Jericho kemudikan menuju arah Bandara.

Ya betul, seperti percakapan mereka kemarin, Jericho akan menjemput Lauren, Ayahnya yang kini sedang dalam perjalanan mendekati kota kelahirannya.

Dan seperti percakapan mereka kemarin pula, Tara ikut menemani Jericho atas permintaan pria itu sendiri. Sebab kalau boleh jujur, rasanya Jericho tak sanggup sendirian menemui Ayah biologisnya yang sudah bertahun-tahun tak ia temui itu.

Finally, aku bakalan ketemu Papa lagi.”

“Setelah kemarin aku ketemu Mama lagi

Tara menoleh kala mendengar perkataan Jericho. “Are you happy?”

“Maybe?” Jawab Jericho memberikan kesan ke-ambiguan. Namun tentu saja, Tara mengerti apa arti dari jawaban pria itu.

Jericho sedang mengatakan bahwa pria itu tidak tahu apakah perasaannya senang, sedih, atau apa sebab ia tak bisa menjelaskannya.

Bertemu dengan kedua orang tua-nya lagi setelah sekian lama Jericho seperti memutus hubungan dengan mereka sebab ada luka yang masih berbekas, Jericho tentu tidak bisa mendeskripsikan seperti apa rasanya.

Maka dari itu, Tara mengangguk saja saat mendengar jawaban dari pria yang kini kembali memfokuskan diri pada jalanan di depan sana.


14.51

Dua orang pria kini sudah berhadapan. Jericho berdiri dihadapan seorang pria yang tengah berdiri sambil memegang koper ditangannya. Jarak beberapa langkah dibelakangnya, ada seorang wanita seumuran sang pria yang juga tengah memegangi sebuah koper.

“Hello, Pa.” Jericho berusaha untuk menyapa terlebih dahulu. Meski sebenarnya sulit dan bukan tipikal Jericho sekali, namun Jericho tetap berusaha menyambut kedatangan sang Ayah.

Terlihat Lauren, Ayah Jericho hanya manggut-manggut sesaat sebelum bergerak maju dan memeluk Jericho.

“Don't try too hard, itu hanya membuat suasana semakin aneh.” Namun, ibarat lain dimulut lain dihati berlawanan dengan perkataannya yang terkesan tidak menghargai upaya Jericho, nyatanya Lauren memeluk Jericho dengan begitu erat hingga kalau boleh dikatakan secara jujur Jericho ingin segera melepas pelukan ini sebab dirinya mulai merasa kehabisan napas.

Lalu setelah beberapa saat, akhirnya pelukan mereka terlepas. Kini Lauren menoleh pada sang wanita di belakang, memberikan isyarat pada wanita itu untuk maju mendekat.

“Hello, Jericho.” Seorang wanita berambut pirang maju mendekat untuk menyapa Jericho.

Terlihat Victoria, wanita yang seumuran dengan Lauren itu menyapa Jericho dengan perasaan sedikit cemas dan canggung.

Wajar saja, terakhir Victoria bertemu dengan Jericho adalah saat pria itu berumur sekitar 15 tahun, saat Victoria dan Lauren melangsukan pernikahan mereka. Lalu setelahnya, Victoria tidak pernah lagi bertemu dengan Jericho hingga saat ini.

Saat dimana Jericho tersenyum tipis padanya seraya mengatakan perkataan basa-basi seperti “You look beautiful.”

Ya, seperti itu. Meski hanya basa-basi, namun Victoria merasa sangat senang mendengarnya hingga wanita itu tersenyum begitu lebar.

“And this is..” Victoria melihat kearah Tara yang berdiri dua langkah dibelakang Jericho.

“Tara.” “My girlfriend.”

Tara tersenyum pada Victoria dan juga Lauren yang tengah berdiri berdampingan. Gadis itu maju mendekat pada mereka lalu menyapa sambil mengulurkan tangannya.

“Ini yang soon menjadi tunangan Jericho lalu jadi menantu saya?” Lauren berkata demikian seraya menjabat uluran tangan dari Tara.

Semuanya tertawa saat mendengar perkataan Lauren, termasuk Jericho.

Iya benar, Jericho tertawa sebab entah mengapa dirinya merasa ini semua tidak terlalu buruk.

Setelah pertemuan kemarin dengan sang Mama yang kini mungkin masih sibuk menjajal dress baru di apartmen-nya.

Pertemuan kali ini juga tidak terasa buruk, sapaan ini dan itu, lalu lelucon yang baru saja dilontarkan oleh Papa-nya, entah mengapa semua itu membuat sesuatu dalam dirinya terasa membaik.

Jericho kemudian mundur selangkah, mata pria itu memandangi pemandangan dimana Tara, Papa-nya, dan Victoria tengah memperbincangkan sesuatu. Jericho lalu tersenyum, tangan pria itu bergerak mengambil ponsel, lalu memotret mereka bertiga. Sesaat, Jericho pandangi gambar yang baru saja ia ambil, kemudian jemari pria itu bergerak mengirimkannya pada Olivia seraya mengetikan sebuah pesan

“Dek” “I think i'm doing something right”



“Ra, aku didepan” “Perlu masuk dulu ke rumah ga?”

Itu dua notifikasi pesan dari Jericho yang muncul di lock screen ponselnya.

“Nggak usah, di rumah lagi ga ada orang, Bunda lagi ke Supermarket”

Setelah mengetikan balasan pada Jericho, Tara segera ke luar kamarnya lalu bergegas ke luar dari rumahnya.

“Hai.” Sapa Tara pada Jericho saat gadis itu keluar dari gerbang rumah nya.

“Hai.” Jericho membalasnya.

Kini, singkat cerita keduanya sudah berada di dalam mobil yang tengah Jericho kemudikan menuju arah Bandara.

Ya betul, seperti percakapan mereka kemarin, Jericho akan menjemput Lauren, Ayahnya yang kini sedang dalam perjalanan mendekati kota kelahirannya.

Dan seperti percakapan mereka kemarin pula, Tara ikut menemani Jericho atas permintaan pria itu sendiri. Sebab kalau boleh jujur, rasanya Jericho tak sanggup sendirian menemui Ayah biologisnya yang sudah bertahun-tahun tak ia temui itu.

Finally, aku bakalan ketemu Papa lagi.”

Tara menoleh kala mendengar perkataan Jericho. “Are you happy?”

“Maybe?” Jawab Jericho memberikan kesan ke-ambiguan. Namun tentu saja, Tara mengerti apa arti dari jawaban pria itu.

Jericho berusaha mengatakan bahwa pria itu tidak tahu apakah perasaannya senang, sedih, atau apa sebab pria itu tak bisa menjelaskannya.

Maka dari itu, Tara mengangguk saat mendengar jawaban dari pria yang kini kembali memfokuskan diri pada jalanan di depan sana.


14.51

Dua orang pria kini sudah berhadapan. Jericho berdiri dihadapan seorang pria yang tengah berdiri sambil memegang koper ditangannya. Jarak beberapa langkah dibelakangnya, ada seorang wanita seumuran sang pria yang juga tengah memegangi sebuah koper.

“Hello, Pa.” Jericho berusaha untuk menyapa terlebih dahulu.

Terlihat Lauren, sang Ayah hanya manggut-manggut sesaat sebelum bergerak maju dan memeluk Jericho.

Hanya beberapa saat sebelum akhirnya pelukan mereka terlepas. Kini Lauren menoleh pada sang wanita di belakang, memberikan isyarat pada wanita itu untuk maju mendekat.

“Hello, Jericho.” Wanita itu, Victoria menyapa Jericho. Wanita yang seumuran dengan Lauren itu menyapa Jericho dengan perasaan sedikit cemas dan canggung. Wajar saja, terakhir Victoria bertemu dengan Jericho adalah saat pria itu berumur sekitar 15 tahun, saat Victoria dan Lauren melangsukan pernikahan mereka. Lalu setelahnya, Victoria tidak pernah lagi bertemu dengan Jericho hingga saat ini.

Saat dimana Jericho tersenyum tipis padanya seraya mengatakan perkataan basa-basi seperti “You look beautiful.”

Ya, seperti itu. Meski hanya basa-basi, namun Victoria merasa sangat senang mendengarnya.

“And this is..” Victoria melihat kearah Tara yang berdiri dua langkah dibelakang Jericho.

“Tara.” “My girlfriend.”

Tara tersenyum pada Victoria dan juga Lauren yang tengah berdiri berdampingan. Gadis itu maju mendekat pada mereka lalu menyapa sambil mengulurkan tangannya.

“Ini yang soon menjadi tunangan Jericho lalu jadi menantu saya?” Lauren berkata demikian seraya menjabat uluran tangan dari Tara.

Semuanya tertawa saat mendengar perkataan Lauren, termasuk Jericho.

Iya benar, Jericho tertawa sebab entah mengapa dirinya merasa ini semua tidak terlalu buruk.

Pertemuan ini, sapaan ini dan itu, lalu lelucon yang baru saja dilontarkan oleh Papa-nya, entah mengapa semua itu membuat sesuatu dalam dirinya terasa membaik.

Jericho kemudian mundur selangkah, mata pria itu memandangi pemandangan dimana Tara, Papa-nya, dan Victoria tengah memperbincangkan sesuatu. Jericho lalu tersenyum, tangan pria itu bergerak mengambil ponsel, lalu memotret mereka bertiga. Sesaat, Jericho pandangi gambar yang baru saja ia ambil, kemudian jemari pria itu bergerak mengirimkannya pada Olivia seraya mengetikan sebuah pesan

“Dek” “I think i'm doing something right”



“Ra, aku didepan” “Perlu masuk dulu ke rumah ga?”

Itu dua notifikasi pesan dari Jericho yang muncul di lock screen ponselnya.

“Nggak usah, di rumah lagi ga ada orang, Bunda lagi ke Supermarket”

Setelah mengetikan balasan pada Jericho, Tara segera ke luar kamarnya lalu bergegas ke luar dari rumahnya.

“Hai.” Sapa Tara pada Jericho saat gadis itu keluar dari gerbang rumah nya.

“Hai.” Jericho membalasnya.

Kini, singkat cerita keduanya sudah berada di dalam mobil yang tengah Jericho kemudikan menuju arah Bandara.

Ya betul, seperti percakapan mereka kemarin, Jericho akan menjemput Lauren, Ayahnya yang kini sedang dalam perjalanan mendekati kota kelahirannya.

Dan seperti percakapan mereka kemarin pula, Tara ikut menemani Jericho atas permintaan pria itu sendiri. Sebab kalau boleh jujur, rasanya Jericho tak sanggup sendirian menemui Ayah biologisnya yang sudah bertahun-tahun tak ia temui itu.

Finally, aku bakalan ketemu Papa lagi.”

Tara menoleh kala mendengar perkataan Jericho. “Are you happy?”

“Maybe?” Jawab Jericho memberikan kesan ke-ambiguan. Namun tentu saja, Tara mengerti apa arti dari jawaban pria itu.

Jericho berusaha mengatakan bahwa pria itu tidak tahu apakah perasaannya senang, sedih, atau apa sebab pria itu tak bisa menjelaskannya.

Maka dari itu, Tara mengangguk saat mendengar jawaban dari pria yang kini kembali memfokuskan diri pada jalanan di depan sana.


14.51

Dua orang pria kini sudah berhadapan. Jericho berdiri dihadapan seorang pria yang tengah berdiri sambil memegang koper ditangannya. Jarak beberapa langkah dibelakangnya, ada seorang wanita seumuran sang pria yang juga tengah memegangi sebuah koper.

“Hello, Pa.” Jericho berusaha untuk menyapa terlebih dahulu.

Terlihat Lauren, sang Ayah hanya manggut-manggut sesaat sebelum bergerak maju dan memeluk Jericho.

Hanya beberapa saat sebelum akhirnya pelukan mereka terlepas. Kini Lauren menoleh pada sang wanita di belakang, memberikan isyarat pada wanita itu untuk maju mendekat.

“Hello, Jericho.” Wanita itu, Victoria menyapa Jericho. Wanita yang seumuran dengan Lauren itu menyapa Jericho dengan perasaan sedikit cemas dan canggung. Wajar saja, terakhir Victoria bertemu dengan Jericho adalah saat pria itu berumur sekitar 15 tahun, saat Victoria dan Lauren melangsukan pernikahan mereka. Lalu setelahnya, Victoria tidak pernah lagi bertemu dengan Jericho hingga saat ini.

Saat dimana Jericho tersenyum tipis padanya seraya mengatakan perkataan basa-basi seperti “You look beautiful.”

Ya, seperti itu. Meski hanya basa-basi, namun Victoria merasa sangat senang mendengarnya.

“And this is..” Victoria melihat kearah Tara yang berdiri dua langkah dibelakang Jericho.

“Tara.” “My girlfriend.”

Tara tersenyum pada Victoria dan juga Lauren yang tengah berdiri berdampingan. Gadis itu maju mendekat pada mereka lalu menyapa sambil mengulurkan tangannya.

“Ini yang soon menjadi tunangan Jericho lalu jadi menantu saya?” Lauren berkata demikian seraya menjabat uluran tangan dari Tara.

Semuanya tertawa saat mendengar perkataan Lauren, termasuk Jericho.

Iya benar, Jericho tertawa sebab entah mengapa dirinya merasa ini semua tidak terlalu buruk.

Pertemuan ini, sapaan ini dan itu, lalu lelucon yang baru saja dilontarkan oleh Papa-nya, entah mengapa semua itu membuat sesuatu dalam dirinya terasa membaik.

Jericho kemudian mundur selangkah, mata pria itu memandangi pemandangan dimana Tara, Papa-nya, dan Victoria tengah memperbincangkan sesuatu. Jericho lalu tersenyum, tangan pria itu bergerak mengambil ponsel, lalu memotret mereka bertiga. Sesaat, Jericho pandangi gambar yang baru saja ia ambil, kemudian jemari pria itu bergerak mengirimkannya pada Olivia seraya mengetikan sebuah pesan

“Dek”

“I think i'm doing something right”



“Ra, aku didepan” “Perlu masuk dulu ke rumah ga?”

Itu dua notifikasi pesan dari Jericho yang muncul di lock screen ponselnya.

“Nggak usah, di rumah lagi ga ada orang, Bunda lagi ke Supermarket”

Setelah mengetikan balasan pada Jericho, Tara segera ke luar kamarnya lalu bergegas ke luar dari rumahnya.

“Hai.” Sapa Tara pada Jericho saat gadis itu keluar dari gerbang rumah nya.

“Hai.” Jericho membalasnya.

Kini, singkat cerita keduanya sudah berada di dalam mobil yang tengah Jericho kemudikan menuju arah Bandara.

Ya betul, seperti percakapan mereka kemarin, Jericho akan menjemput Lauren, Ayahnya yang kini sedang dalam perjalanan mendekati kota kelahirannya.

Dan seperti percakapan mereka kemarin pula, Tara ikut menemani Jericho atas permintaan pria itu sendiri. Sebab kalau boleh jujur, rasanya Jericho tak sanggup sendirian menemui Ayah biologisnya yang sudah bertahun-tahun tak ia temui itu.

Finally, aku bakalan ketemu Papa lagi.”

Tara menoleh kala mendengar perkataan Jericho. “Are you happy?”

“Maybe?” Jawab Jericho memberikan kesan ke-ambiguan. Namun tentu saja, Tara mengerti apa arti dari jawaban pria itu.

Jericho berusaha mengatakan bahwa pria itu tidak tahu apakah perasaannya senang, sedih, atau apa sebab pria itu tak bisa menjelaskannya.

Maka dari itu, Tara mengangguk saat mendengar jawaban dari pria yang kini kembali memfokuskan diri pada jalanan di depan sana.


14.51

Dua orang pria kini sudah berhadapan. Jericho berdiri dihadapan seorang pria yang tengah berdiri sambil memegang koper ditangannya. Jarak beberapa langkah dibelakangnya, ada seorang wanita seumuran sang pria yang juga tengah memegangi sebuah koper.

“Hello, Pa.” Jericho berusaha untuk menyapa terlebih dahulu.

Terlihat Lauren, sang Ayah hanya manggut-manggut sesaat sebelum bergerak maju dan memeluk Jericho.

Hanya beberapa saat sebelum akhirnya pelukan mereka terlepas. Kini Lauren menoleh pada sang wanita di belakang, memberikan isyarat pada wanita itu untuk maju mendekat.

“Hello, Jericho.” Wanita itu, Victoria menyapa Jericho. Wanita yang seumuran dengan Lauren itu menyapa Jericho dengan perasaan sedikit cemas dan canggung. Wajar saja, terakhir Victoria bertemu dengan Jericho adalah saat pria itu berumur sekitar 15 tahun, saat Victoria dan Lauren melangsukan pernikahan mereka. Lalu setelahnya, Victoria tidak pernah lagi bertemu dengan Jericho hingga saat ini.

Saat dimana Jericho tersenyum tipis padanya seraya mengatakan perkataan basa-basi seperti “You look beautiful.”

Ya, seperti itu. Meski hanya basa-basi, namun Victoria merasa sangat senang mendengarnya.

“And this is..” Victoria melihat kearah Tara yang berdiri dua langkah dibelakang Jericho.

“Tara.” “My girlfriend.”

Tara tersenyum pada Victoria dan juga Lauren yang tengah berdiri berdampingan. Gadis itu maju mendekat pada mereka lalu menyapa sambil mengulurkan tangannya.

“Ini yang soon menjadi tunangan Jericho lalu jadi menantu saya?” Lauren berkata demikian seraya menjabat uluran tangan dari Tara.

Semuanya tertawa saat mendengar perkataan Lauren, termasuk Jericho.

Iya benar, Jericho tertawa sebab entah mengapa dirinya merasa ini semua tidak terlalu buruk.

Pertemuan ini, sapaan ini dan itu, lalu lelucon yang baru saja dilontarkan oleh Papa-nya, entah mengapa semua itu membuat sesuatu dalam dirinya terasa membaik.

Jericho kemudian mundur selangkah, mata pria itu memandangi pemandangan dimana Tara, Papa-nya, dan Victoria tengah memperbincangkan sesuatu. Jericho lalu tersenyum, tangan pria itu bergerak mengambil ponsel, lalu memotret mereka bertiga. Sesaat, Jericho pandangi gambar yang baru saja ia ambil, kemudian jemari pria itu bergerak mengirimkannya pada Olivia seraya mengetikan sebuah pesan

“I think i'm doing something right”



“Ra, aku didepan” “Perlu masuk dulu ke rumah ga?”

Itu dua notifikasi pesan dari Jericho yang muncul di lock screen ponselnya.

“Nggak usah, di rumah lagi ga ada orang, Bunda lagi ke Supermarket”

Setelah mengetikan balasan pada Jericho, Tara segera ke luar kamarnya lalu bergegas ke luar dari rumahnya.

“Hai.” Sapa Tara pada Jericho saat gadis itu keluar dari gerbang rumah nya.

“Hai.” Jericho membalasnya.

Kini, singkat cerita keduanya sudah berada di dalam mobil yang tengah Jericho kemudikan menuju arah Bandara.

Ya betul, seperti percakapan mereka kemarin, Jericho akan menjemput Lauren, Ayahnya yang kini sedang dalam perjalanan mendekati kota kelahirannya.

Dan seperti percakapan mereka kemarin pula, Tara ikut menemani Jericho atas permintaan pria itu sendiri. Sebab kalau boleh jujur, rasanya Jericho tak sanggup sendirian menemui Ayah biologisnya yang sudah bertahun-tahun tak ia temui itu.

Finally, aku bakalan ketemu Papa lagi.”

Tara menoleh kala mendengar perkataan Jericho. “Are you happy?”

“Maybe?” Jawab Jericho memberikan kesan ke-ambiguan. Namun tentu saja, Tara mengerti apa arti dari jawaban pria itu.

Jericho berusaha mengatakan bahwa pria itu tidak tahu apakah perasaannya senang, sedih, atau apa sebab pria itu tak bisa menjelaskannya.

Maka dari itu, Tara mengangguk saat mendengar jawaban dari pria yang kini kembali memfokuskan diri pada jalanan di depan sana.


14.51

Dua orang pria kini sudah berhadapan. Jericho berdiri dihadapan seorang pria yang tengah berdiri sambil memegang koper ditangannya. Jarak beberapa langkah dibelakangnya, ada seorang wanita seumuran sang pria yang juga tengah memegangi koper.

“Hello, Pa.” Jericho berusaha untuk menyapa terlebih dahulu.

Terlihat Lauren, sang Ayah hanya manggut-manggut sesaat sebelum bergerak maju dan memeluk Jericho.

Hanya beberapa saat sebelum akhirnya pelukan mereka terlepas. Kini Lauren menoleh pada sang wanita di belakang, memberikan isyarat pada wanita itu untuk maju mendekat.

“Hello, Jericho.” Wanita itu, Victoria menyapa Jericho. Wanita yang seumuran dengan Lauren itu menyapa Jericho dengan perasaan sedikit cemas dan canggung. Wajar saja, terakhir Victoria bertemu dengan Jericho adalah saat pria itu berumur sekitar 15 tahun, saat Victoria dan Lauren melangsukan pernikahan mereka. Lalu setelahnya, Victoria tidak pernah lagi bertemu dengan Jericho hingga saat ini.

Saat dimana Jericho tersenyum tipis padanya seraya mengatakan perkataan basa-basi seperti “You look beautiful.”

Ya, seperti itu. Meski hanya basa-basi, namun Victoria merasa sangat senang mendengarnya.

“And this is..” Victoria melihat kearah Tara yang berdiri dua langkah dibelakang Jericho.

“Tara.” “My girlfriend.”

Tara tersenyum pada Victoria dan juga Lauren yang tengah berdiri berdampingan. Gadis itu maju mendekat pada mereka lalu menyapa sambil mengulurkan tangannya.

“Ini yang soon menjadi tunangan Jericho lalu jadi menantu saya?” Lauren berkata demikian seraya menjabat uluran tangan dari Tara.

Semuanya tertawa saat mendengar perkataan Lauren, termasuk Jericho.

Iya benar, Jericho tertawa sebab entah mengapa dirinya merasa ini semua tidak terlalu buruk.

Pertemuan ini, sapaan ini dan itu, lalu lelucon yang baru saja dilontarkan oleh Papa-nya, entah mengapa semua itu membuat sesuatu dalam dirinya terasa membaik.

Jericho kemudian mundur selangkah, mata pria itu memandangi pemandangan dimana Tara, Papa-nya, dan Victoria tengah memperbincangkan sesuatu. Jericho lalu tersenyum, tangan pria itu bergerak mengambil ponsel, lalu memotret mereka bertiga. Sesaat, Jericho pandangi gambar yang baru saja ia ambil, kemudian jemari pria itu bergerak mengirimkannya pada Olivia seraya mengetikan sebuah pesan

“I think i'm doing something right”



“Ra, aku didepan” “Perlu masuk dulu ke rumah ga?”

Itu dua notifikasi pesan dari Jericho yang muncul di lock screen ponselnya.

“Nggak usah, di rumah lagi ga ada orang, Bunda lagi ke Supermarket”

Setelah mengetikan balasan pada Jericho, Tara segera ke luar kamarnya lalu bergegas ke luar dari rumahnya.

“Hai.” Sapa Tara pada Jericho saat gadis itu keluar dari gerbang rumah nya.

“Hai.” Jericho membalasnya.

Kini, singkat cerita keduanya sudah berada di dalam mobil yang tengah Jericho kemudikan menuju arah Bandara.

Ya betul, seperti percakapan mereka kemarin, Jericho akan menjemput Lauren, Ayahnya yang kini sedang dalam perjalanan mendekati kota kelahirannya.

Dan seperti percakapan mereka kemarin pula, Tara ikut menemani Jericho atas permintaan pria itu sendiri. Sebab kalau boleh jujur, rasanya Jericho tak sanggup sendirian menemui Ayah biologisnya yang sudah bertahun-tahun tak ia temui itu.

Finally, aku bakalan ketemu Papa lagi.”

Tara menoleh kala mendekar perkataan Jericho. “Are you happy?”

“Maybe?” Jawab Jericho memberikan kesan ke-ambiguan. Namun tentu saja, Tara mengerti apa arti dari jawaban pria itu.

Jericho berusaha mengatakan bahwa pria itu tidak tahu apakah perasaannya senang, sedih, atau apa sebab pria itu tak bisa menjelaskannya.

Maka dari itu, Tara mengangguk saat mendengar jawaban dari pria yang kini kembali memfokuskan diri pada jalanan di depan sana.


14.51

Dua orang pria kini sudah berhadapan. Jericho berdiri dihadapan seorang pria yang tengah berdiri sambil memegang koper ditangannya. Jarak beberapa langkah dibelakangnya, ada seorang wanita seumuran yang juga tengah memegangi koper.

“Hello, Pa.” Jericho berusaha untuk menyapa terlebih dahulu.

Terlihat Lauren, sang Ayah hanya manggut-manggut sesaat sebelum bergerak maju dan memeluk Jericho.

Hanya beberapa saat sebelum akhirnya pelukan mereka terlepas. Kini Lauren menoleh pada sang wanita di belakang, memberikan isyarat pada wanita itu untuk maju mendekat.

“Hello, Jericho.” Wanita itu, Victoria menyapa Jericho. Wanita yang seumuran dengan Lauren itu menyapa Jericho dengan perasaan sedikit cemas dan canggung. Wajar saja, terakhir Victoria bertemu dengan Jericho adalah saat pria itu berumur sekitar 15 tahun, saat Victoria dan Lauren melangsukan pernikahan mereka. Lalu setelahnya, Victoria tidak pernah lagi bertemu dengan Jericho hingga saat ini.

Saat dimana Jericho tersenyum tipis padanya seraya mengatakan perkataan basa-basi seperti “You look beautiful.”

Ya, seperti itu. Meski hanya basa-basi, namun Victoria merasa sangat senang mendengarnya.

“And this is..” Victoria melihat kearah Tara yang berdiri dua langkah dibelakang Jericho.

“Tara.” “My girlfriend.”

Tara tersenyum pada Victoria dan juga Lauren yang tengah berdiri berdampingan. Gadis itu maju mendekat pada mereka lalu menyapa sambil mengulurkan tangannya.

“Ini yang soon menjadi tunangan Jericho lalu jadi menantu saya?” Lauren berkata demikian seraya menjabat uluran tangan dari Tara.

Semuanya tertawa saat mendengar perkataan Lauren, termasuk Jericho.

Iya benar, Jericho tertawa sebab entah mengapa dirinya merasa ini semua tidak terlalu buruk.

Pertemuan ini, sapaan ini dan itu, lalu lelucon yang baru saja dilontarkan oleh Papa-nya, entah mengapa semua itu membuat sesuatu dalam dirinya terasa membaik.

Jericho kemudian mundur selangkah, mata pria itu memandangi pemandangan dimana Tara, Papa-nya, dan Victoria tengah memperbincangkan sesuatu. Jericho lalu tersenyum, tangan pria itu bergerak mengambil ponsel, lalu memotret mereka bertiga. Sesaat, Jericho pandangi gambar yang baru saja ia ambil, kemudian jemari pria itu bergerak mengirimkannya pada Olivia seraya mengetikan sebuah pesan

“I think i'm doing something right”



“Udah dibawa semua?”

Tara menoleh, lalu menganggukan kepalanya. “Udah, aku bawa yang perlu-perlu aja.”

“Ga bawa baju?”

“Aku ada baju di rumah Nenek, jadi aman.”

Jericho mengangguk. “Kamu yang ga aman.” Tara berkata demikian, membuat Jericho menoleh padanya lalu mengernyit. “Me?”

“Iya, kamu.” “Ga bawa baju, kan?”

Seketika itu Jericho menyadari kebodohannya. “Kita ga bakalan cuma pulang-pergi, bakalan nginep disana.”

“Hahaha, iya. Terus gimana ini Ra.”

“Mau balik ke apartment kamu dulu? Atau ke rumah Oma? Mana yang lebih deket?”

Pertanyaan Tara membuat dua-duanya terdiam. Lalu Jericho terkekeh pelan.

“Gak ada yang deket, semuanya jauh.”

Seketika itu Tara menurunkan lengkung bibirnya.

“Gapapa, nanti aku beli aja disana.” Ujar Jericho. “Atau nanti, kamu pake baju punya Mas Dimas aja, baju dia di rumah Nenek banyak.”

Mendengar hal itu Jericho meringis, dirinya sangsi bahwa Dimas akan meminjamkan baju untuknya. Namun kedati demikian, pria itu mengangguk agar Tara merasa tenang.


“Oliv tahu nggak kamu mau ke Semarang?”

Jericho menoleh pada Tara yang duduk disampingya. Oh, kali ini Jericho tidak sedang mengemudi, jadi pria itu bebas menoleh kesana-kemari sebab mereka berdua kini tengah berada didalam Kereta.

“Tahu, aku suruh dia kabarin Oma buat jangan kirimin aku makanan dulu sampe nanti aku balik ke Jakarta.” Tara mengangguk-ngangguk paham.

“Kamu ga lagi sibuk, kan?” Jericho menggelengkan kepalanya. “Untungnya ini hari Jum'at.” Lantas Tara menganggukan kepalanya. Benar, beruntung duahari kedepan adalah hari libur.

“Kamu pernah naik kereta sebelumnya?” Pertanyaan itu tiba-tiba terlontar dari mulut Jericho.

“Aku tiap ke Semarang milih naik kereta. Terus semuanya jadi ikutan pilih naik kereta.”

“Karena mereka tahu kamu suka naik kereta?” Tara mengulum senyumannya, entah mengapa dirinya merasa malu ketahuan se dituruti itu oleh keluarganya. Padahal, Jericho sudah tahu kalau tabiat keluarga Tara memang demikian, dan Tara-pun mengetahui itu. Tapi tetap saja, rasanya seperti dunia mengetahui bahwa Tara merupakan anak kesayangan di keluarganya.

“Aku tuh ya, gatahu kenapa suka banget naik kereta.” Tara mengatakan hal itu sambil matanya memandang kearah jendela kereta.

“Rasanya tuh kayak nyaman banget, karena kereta kan punya jalurnya sendiri ya. Jadi aku gaharus lihat kendaraan lain selama di perjalanan, aku bisa fokus nikmatin pemandangan sesuka dan semau aku.”

“Di kereta aku bisa lakuin hal-hal kayak makan, baca buku, atau dengerin musik dengan nyaman. And i love that vibes so much.”

Jericho memperhatikan Tara yang tengah mendeskripsikan alasan mengapa gadis itu begitu menyukai bepergian naik kereta.

“Kalo kamu?” Alis Jericho terangkat satu. Pria itu tersenyum mendapati pertanyaan demikian.

“Aku baru pertama kali naik kereta.” Wajah Tara terlihat sedikit terkejut mendengar pernyataan Jericho.

“Tapi aku bisa langsung tahu, kalo kereta bakalan jadi salah satu transportasi favorit aku kedepannya.” Jericho mengatakan hal itu sambil menatap Tara tanpa berkedip sedikit-pun. Menyiratkan makna bahwa ini bukan tentang kereta, ini tentang kamu. Dan seakan paham akan makna tersirat itu, Tara tersenyum pada Jericho yang kini membalasnya dengan senyuman tipis.

Dalam benak Jericho kini, tak pernah sedetik-pun Jericho membayangkan akan bertemu dengan gadis yang tengah duduk seraya tersenyum manis kepadanya. Ah, senyuman itu. Jericho bahkan tak pernah menyangka bahwa senyuman seseorang bisa memberikan efek yang begitu luar biasa padanya.

Kala melihat senyuman itu, segala beban yang selama ini Jericho pikul sendirian serasa sirna, semuanya mendadak terasa ringan dan perasaannya terasa begitu damai.

Tak pernah Jericho bayangkan dalam hidupnya, ia bisa merasakan hal seperti ini.

Dulu, saat Jericho mengetahui fakta bahwa dirinya adalah anak yang tidak diinginkan, hingga akhirnya diterlantarkan. Jujur saja Jericho marah pada Tuhan, batinnya meraung bertanya-tanya, mengapa dirinya harus tetap lahir padahal orang tua-nya saja tidak mau dirinya lahir.

Namun kini, Jericho bersyukur pada Tuhan, karena setidaknya, dengan dirinya tetap lahir dan ada di dunia ini, Jericho bisa bertemu dengan Tara. Sumber kedamaiannya.

Ibarat pepatah, berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian itu yang Jericho rasakan semasa hidupnya sebelum akhirnya bertemu dengan Tara.

Dulu, jika ada orang yang berkata ingin kembali ke masa kecil sebab merasa menjadi dewasa tidak mengenakan, Jericho akan langsung menyangkal dan mengatakan bahwa dirinya tidak mau kembali ke masa kecil dan mengulangi kehidupannya.

Namun kini, jika ditanya apakah Jericho mau mengulangi hidupnya atau tidak, Jericho akan jawab 'ya'

Ya, Jericho mau mengulanginya, asalkan ada Tara. Jericho tak masalah mengulang lagi hal-hal mengerikan semasa kecil yang membuatnya merasa begitu sengsara dan menderita selama bertahun-tahun, asalkan nantinya ada Tara.

“Ra.” Tara menoleh. “Misal aku ngajak kamu tunangan, kamu mau nggak?”

Sebab demi Tuhan Jericho tak masalah dengan semua waktu sulit yang telah dilaluinya, asal ada Tara di penghujung ceritanya.


11:57 PM

I Wanna Be Yours by; Arctic Monkeys


“Udah dibawa semua?”

Tara menoleh, lalu menganggukan kepalanya. “Udah, aku bawa yang perlu-perlu aja.”

“Ga bawa baju?”

“Aku ada baju di rumah Nenek, jadi aman.”

Jericho mengangguk. “Kamu yang ga aman.” Tara berkata demikian, membuat Jericho menoleh padanya lalu mengernyit. “Me?”

“Iya, kamu.” “Ga bawa baju, kan?”

Seketika itu Jericho menyadari kebodohannya. “Kita ga bakalan cuma pulang-pergi, bakalan nginep disana.”

“Hahaha, iya. Terus gimana ini Ra.”

“Mau balik ke apartment kamu dulu? Atau ke rumah Oma? Mana yang lebih deket?”

Pertanyaan Tara membuat dua-duanya terdiam. Lalu Jericho terkekeh pelan.

“Gak ada yang deket, semuanya jauh.”

Seketika itu Tara menurunkan lengkung bibirnya.

“Gapapa, nanti aku beli aja disana.”

“Atau pake baju punya Mas Dimas aja, baju dia di rumah Nenek banyak.”

Mendengar hal itu Jericho meringis, dirinya sangsi bahwa Dimas akan meminjamkan baju untuknya. Namun kedati demikian, pria itu mengangguk agar Tara merasa tenang.


“Oliv tahu nggak kamu mau ke Semarang?”

Jericho menoleh pada Tara yang duduk disampingya. Oh, kali ini Jericho tidak sedang mengemudi, jadi pria itu bebas menoleh kesana kemari sebab mereka berdua kini tengah berada didalam Kereta.

“Tahu, aku suruh dia kabarin Oma buat jangan kirimin aku makanan dulu sampe nanti aku balik ke Jakarta.”

“Kamu ga lagi sibuk, kan?” Jericho menggelengkan kepalanya. “Untungnya ini hari Jum'at.” Lantas Tara menganggukan kepalanya. Benar, beruntung duahari kedepan adalah hari libur.

“Kamu pernah naik kereta sebelumnya?” Pertanyaan itu tiba-tiba terlontar dari mulut Jericho.

“Aku tiap ke Semarang milih naik kereta. Terus semuanya jadi ikutan pilih naik kereta.”

“Karena mereka tahu kamu suka naik kereta?” Tara mengulum senyumannya, entah mengapa dirinya merasa malu ketahuan se dituruti itu oleh keluarganya. Padahal, Jericho sudah tahu kalau tabiat keluarga Tara memang demikian, dan Tara-pun mengetahui itu. Tapi tetap saja, rasanya seperti dunia mengetahui bahwa Tara merupakan anak kesayangan di keluarganya.

“Aku tuh ya, gatahu kenapa suka banget naik kereta.”

“Rasanya tuh kayak nyaman banget karena kereta kan punya jalurnya sendiri ya. Jadi aku gaharus lihat kendaraan lain selama di perjalanan, aku bisa fokus nikmatin pemandangan sesuka dan semau aku.”

“Di kereta aku bisa lakuin hal-hal kayak makan, baca buku, atau dengerin musik dengan nyaman. And i love that vibes so much.”

Jericho memperhatikan Tara yang tengah mendeskripsikan alasan mengapa gadis itu menyukai bepergian naik kereta.

“Kalo kamu?” Alis Jericho terangkat satu. Pria itu tersenyum mendapati pertanyaan demikian.

“Aku baru pertama kali naik kereta.” Wajah Tara terlihat sedikit terkejut mendengar pernyataan Jericho.

“Tapi aku bisa langsung tahu, kalo kereta bakalan jadi salah satu transportasi favorit aku kedepannya.” Jericho mengatakan hal itu sambil menatap Tara tanpa berkedip sedikit-pun. Menyiratkan makna bahwa aku suka kereta, karena kamu. Dan seakan paham akan makna tersirat itu, Tara tersenyum pada Jericho yang kini membalasnya dengan senyuman tipis.

Dalam benak Jericho kini, tak pernah sedetik-pun Jericho membayangkan akan bertemu dengan gadis yang tengah duduk seraya tersenyum manis kepadanya. Ah, senyuman itu. Jericho bahkan tak pernah menyangka bahwa senyuman seseorang bisa memberikan efek yang begitu luar biasa padanya.

Kala melihat senyuman itu, segala beban yang selama ini Jericho pikul sendirian serasa sirna, semuanya mendadak terasa ringan dan perasaannya terasa begitu damai.

Tak pernah Jericho bayangkan dalam hidupnya, ia bisa merasakan hal seperti ini.

Dulu, saat Jericho mengetahui fakta bahwa dirinya adalah anak yang tidak diinginkan, hingga akhirnya diterlantarkan. Jujur saja Jericho marah pada Tuhan, batinnya meraung bertanya-tanya, mengapa dirinya harus tetap lahir padahal orang tua-nya saja tidak mau dirinya lahir.

Namun kini, Jericho bersyukur pada Tuhan, karena setidaknya, dengan dirinya tetap lahir dan ada di dunia ini, Jericho bisa bertemu dengan Tara. Sumber kedamaiannya.

Ibarat pepatah, berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian itu yang Jericho rasakan semasa hidupnya sebelum akhirnya bertemu dengan Tara.

Dulu, jika ada orang yang berkata ingin kembali ke masa kecil sebab merasa menjadi dewasa tidak mengenakan, Jericho akan langsung menyangkal, bahwa dirinya tidak mau kembali ke masa kecil dan mengulangi kehidupannya.

Namun kini, jika ditanya apakah Jericho mau mengulangi hidupnya atau tidak, Jericho akan jawab 'ya'

Ya, Jericho mau mengulanginya, asalkan ada Tara. Jericho tak masalah mengulang lagi hal-hal mengerikan semasa kecil yang membuatnya merasa begitu sengsara dan menderita selama bertahun-tahun, asalkan nantinya ada Tara.

Betul, Jericho tak masalah asal ada Tara di penghujung ceritanya.



Dulu;

“Jericho mau ice cream, anterin gih. Aku mau cuci piring.”

Jericho ingat betul, kala itu dirinya sedang dituntun oleh Astyaningsih, sang Mama. Lalu Jericho di oper kepada seorang pria yang terlihat sibuk duduk sambil menatap layar laptop.

“Kamu ga lihat aku lagi ngapain?”

“Duduk, kan?”

“Aku gak cuma duduk, aku lagi ngurus proposal yang deadline nya tinggal ngitung menit.”

“Lah terus gimana? ini anak kamu minta ice cream, dari tadi ngerengek terus, aku pusing dengernya.”

“Kamu yang anter kan bisa?”

“Aku udah bilang, aku mau cuci piring. Lagi pula, tempatnya jauh, disini yang bisa bawa kendaraan itu kamu, jadi kamu anterin dong.”

“Ngerepotin banget sih. Tahu gitu dulu kamu gugurin aja, kenapa pake dilahirin segala kalo ujungnya malah bikin beban begini.”

“Kamu pikir aku ga pernah coba buat gugurin dia waktu itu? aku udah coba berkali-kali dan ga berhasil.”

Jericho memandangi sang surya yang tengah tenggelam di antara gedung-gedung tinggi yang pria itu lihat dari balkon apartment nya.

Kisah tadi, adalah secuil kisah saat Jericho tahu bahwa dirinya tidak diinginkan oleh kedua orang tua nya.

Saat itu, Jericho masih kecil, sekolah saja belum. Namun entah mengapa, dirinya mengingat betul apa yang terjadi, serta apa yang di katakan oleh Mama dan Papa nya.

Maklum, dulu Oma bilang begitu pada Jericho.

Entah pada saat orang tua-nya bercerai sebab perselingkuhan, atau saat Jericho bertanya, “Oma, kenapa Mama sama Papa ga suka aku?”

Dulu, Oma menjawabnya dengan kata “Maklum, Mama sama Papa lagi capek, jadi kadang marah-marah sama kamu”

Dulu pula, Jericho yang masih kecil percaya saja perkataan Oma, namun beranjak dewasa, dan dirinya bertanya kembali, Oma mengatakan hal yang berbeda.

Yang Jericho ingat, Oma menangis sambil menjawab,

“Ini semua salah Oma..”

“Kamu tahu Mama sama Papa kamu menikah bukan atas dasar cinta, right?”

Kala itu, Jericho mengangguk hingga Oma akhirnya melanjutkan penjelasannya.

Kata oma, Mama sama Papa sering bertengkar, terlalu sering hingga pada suatu malam, mereka bertengkar namun diiringi dengan minuman alkohol.

Mereka berdua mabuk, lepas bertengkar mereka melakukan hal tak terkendali hingga dinyatakanlah Asty, sang Mama mengandung Jericho dalam perutnya.

Lantas, bagaimana bisa dua orang itu bahagia mendengar kabar kalau mereka yang saling membenci, kini terhubung oleh sebuah janin atas dasar 'kecelakaan'

Berulang kali, seperti yang dikatakan oleh sang Mama di ingatan Jericho, pada saat itu, berulang kali Asty berusaha menggugurkan kandunganya. Namun selalu gagal hingga akhirnya, Jericho berhasil lahir ke dunia ini.

Beberapa tahun, Jericho tak pernah di urus dengan benar. Sebab dirinya adalah sebuah hal yang tak diinginkan.

Beruntungnya, ada Oma.

“Tidak usah ribut, biar Oma yang antar cucu Oma beli ice cream.”

Akhirnya, meski harus mendengar perkataan menyakitkan terlebih dahulu, Jericho bisa mendapatkan Ice Cream.

Lepas kejadian itu, Oma berupaya semaksimal mungkin agar Mama dan Papa-nya mau mencoba berumah-tangga dengan baik.

Mereka mencoba, dengan menghadirkan Olivia ke dunia ini. Pikir mereka, jika ada anak yang dengan 'konsen' mereka inginkan, mereka bisa saling mencintai.

Mereka berusaha sangat keras, jujur saja Jericho akui itu. Karena sejak saat itu pula, mereka menganggap Jericho ada, mereka mulai menyayanginya, meski bagi Jericho, itu semua sudah terlambat dan terkesan palsu sebab semua itu hanya berlangsung sesaat sebelum akhirnya mereka menyerah dan akhirnya memutuskan untuk bercerai.



Dulu;

“Jericho mau ice cream, anterin gih. Aku mau cuci piring.”

Jericho ingat betul, kala itu dirinya sedang dituntun oleh Astyaningsih, sang Mama. Lalu Jericho di oper kepada seorang pria yang terlihat sibuk duduk sambil menatap layar laptop.

“Kamu ga lihat aku lagi ngapain?”

“Duduk, kan?”

“Aku gak cuma duduk, aku lagi ngurus proposal yang deadline nya tinggal ngitung menit.”

“Lah terus gimana? ini anak kamu minta ice cream, dari tadi ngerengek terus, aku pusing dengernya.”

“Kamu yang anter kan bisa?”

“Aku udah bilang, aku mau cuci piring. Lagi pula, tempatnya jauh, disini yang bisa bawa kendaraan itu kamu, jadi kamu anterin dong.”

“Ngerepotin banget sih. Tahu gitu dulu kamu gugurin aja, kenapa pake dilahirin segala kalo ujungnya malah bikin beban begini.”

“Kamu pikir aku ga pernah coba buat gugurin dia waktu itu? aku udah coba berkali-kali dan ga berhasil.”

Jericho memandangi sang surya yang tengah tenggelam di antara gedung-gedung tinggi yang pria itu lihat dari balkon apartment nya.

Kisah tadi, adalah secuil kisah saat Jericho tahu bahwa dirinya tidak diinginkan oleh kedua orang tua nya.

Saat itu, Jericho masih kecil, sekolah saja belum. Namun entah mengapa, dirinya mengingat betul apa yang terjadi, serta apa yang di katakan oleh Mama dan Papa nya.

Maklum, dulu Oma bilang begitu pada Jericho.

Entah pada saat orang tua-nya bercerai sebab perselingkuhan, atau saat Jericho bertanya, “Oma, kenapa Mama sama Papa ga suka aku?”

Dulu, Oma menjawabnya dengan kata “Maklum, Mama sama Papa lagi capek, jadi kadang marah-marah sama kamu”

Dulu pula, Jericho yang masih kecil percaya saja perkataan Oma, namun beranjak dewasa, dan dirinya bertanya kembali, Oma mengatakan hal yang berbeda.

Yang Jericho ingat, Oma menangis sambil menjawab,

“Ini semua salah Oma..”

“Kamu tahu Mama sama Papa kamu menikah bukan atas dasar cinta, right?”

Kala itu, Jericho mengangguk hingga Oma akhirnya melanjutkan penjelasannya.

Kata oma, Mama sama Papa sering bertengkar, terlalu sering hingga pada suatu malam, mereka bertengkar namun diiringi dengan minuman alkohol.

Mereka berdua mabuk, lepas bertengkar mereka melakukan hal tak terkendali hingga dinyatakanlah Asty, sang Mama mengandung Jericho dalam perutnya.

Lantas, bagaimana bisa dua orang itu bahagia mendengar kabar kalau mereka yang saling membenci, kini terhubung oleh sebuah janin atas dasar 'kecelakaan'

Berulang kali, seperti yang dikatakan oleh sang Mama di ingatan Jericho, pada saat itu, berulang kali Asty berusaha menggugurkan kandunganya. Namun selalu gagal hingga akhirnya, Jericho berhasil lahir ke dunia ini.

Beberapa tahun, Jericho tak pernah di urus dengan benar. Sebab dirinya adalah sebuah hal yang tak diinginkan.

Beruntungnya, ada Oma.

“Tidak usah ribut, biar Oma yang antar cucu Oma beli ice cream.”

Akhirnya, meski harus mendengar perkataan menyakitkan terlebih dahulu, Jericho bisa mendapatkan Ice Cream.

Lepas kejadian itu, Oma berupaya semaksimal mungkin agar Mama dan Papa-nya mau mencoba berumah-tangga dengan baik.

Mereka mencoba, dengan menghadirkan Olivia ke dunia ini. Pikir mereka, jika ada anak yang dengan 'konsen' mereka inginkan, mereka bisa saling mencintai.

Mereka berusaha sangat keras, jujur saja Jericho akui itu. Sebabnya, sejak saat itu pula, mereka menganggap Jericho ada, mereka mulai menyayanginya, meski bagi Jericho, itu semua sudah terlambat dan terkesan palsu sebab semua itu hanya berlangsung sesaat sebelum akhirnya mereka menyerah dan akhirnya memutuskan untuk bercerai.