Takut.
Sesampainya di rumah, Aulia segera masuk. Benar Gino-pria itu sudah pulang, mobilnya ada terparkir, tadi saat Aulia lewat, ia melihatnya.
“Gino?” Pelan-pelan Aulia mencari dan memanggil, dan tak lama ia menemukan seorang pria tengah terkulai di atas sofa, segera Aulia menghampiri.
“Gino? Aw—” Aulia mengibaskan tangannya tatkala punggung tangannya menyentuh dahi Gino, panas. Gino demam.
“Mami...” Gino melirih.
“Mau aku panggilin mami?” Gino membuka matanya, menatap sayu pada Aulia yang memandangnya dengan tatapan tak tega.
Meski pria itu jahat, Aulia tetap tidak tega melihatnya, sejak dulu ia memang memiliki hati yang lembut, Aulia memang mudah lemah makanya kali ini pun ia sejenak melupakannya, perbuatan jahat yang baru saja pria ini lancarkan padanya kemarin, ia kesampingkan terlebih dahulu.
Gino mengangguk, kemudian menggeleng. Melihatnya Aulia mengernyitkan dahi. “Jadi mau atau nggak?”
“Pusing.” Bukannya menjawab, Gino malah merengek.
“Mau ke rumah sakit nggak?” Tawar Aulia.
Gino menggeleng. “Aku telfonin mami deh ya? Aku bingung harus ngapain.”
Dan Gino tak merespon, pria itu terlalu pusing dan lemas untuk sekadar bertindak demikian.
Biarlah, lagi pula itu memang benar.
Gino butuh Maminya, Gino ingin di peluk Maminya, Gino...
Tanpa sadar air matanya menetes, bahkan ketika Gino sudah berusaha menahan dengan memejamkan matanya.
Melihatnya Aulia terhenyak, tangannya terulur hingga jarinya kemudian mengusap pelipis Gino yang sedikit basah karena air mata pria itu.
“Jangan nangis, ini aku mau panggil mami.”
Gino tak merespon, matanya masih setia tertutup, selain malu karena kedapati menangis, Gino merasa pusing saat membuka matanya.
Aulia berniat beranjak untuk membuat kompres, namun lengannya tertahan, Gino yang menahan lalu pria itu berujar dengan mata yang sudah susah payah dibukanya.
“Lo mau kemana? Disini aja, gue nggak mau sendirian, dingin.”
“Aku mau ambil kompres, sebentar.” Aulia hendak beranjak lagi, namun lagi-lagi tertahan, Gino keukeuh mempertahankan Aulia dengan menggenggam tangan gadis itu begitu erat.
“Gue nggak mau sendirian.” Jelas Gino lagi.
“Kamu nggak sendiri, aku disini, cuma mau ambil kompres aja, badan kamu panas banget. Seenggaknya sampai Mami datang, kamu udah dapet penanganan yang bener.”
“Di sini aja...” Suara Gino berbaur dengan deru nafasnya yang memberat.
“Dingin..”
Demi Tuhan Aulia tidak tega, bibir pria itu sangat pucat, bahkan warna kulitnya ikut memucat membuat Gino tampak seperti orang sekarat.
“Aku... ambilin selimut, mau?” Aulia menawarkan.
Dengan lemas Gino menggeleng. “Disini aja, gue...”
“Takut...”
Aulia pasrah, meski khawatir kondisi Gino akan memburuk sebab tidak segera di tangani, namun mau bagaimana lagi? Pria itu yang menolak, entah apa alasannya hingga Gino begitu takut, padahal Gino sendiri tahu, jarak antara sofa yang tengah ditidurinya itu tidak jauh dari dapur, tempat dimana Aulia akan menyiapkan kompres.
“Pusing..” Gino merengek lagi.
“Merem aja, nggak usah melek aku disini, nggak bakalan kemana-mana.”
“Lagian aku bisa kemana sih? Tangan aku aja kamu pegang erat banget kayak gini.” Jelas Aulia, dan jelas sekali Gino mendengarnya, namun tidak marah atau merasa jijik, Gino mempertahankan genggamannya.
Sebab tidak peduli siapa saja, Gino sangat membutuhkan hal seperti ini.
Gino amat takut, bukan tanpa alasan. Serius kali ini Gino tak akan mangkir.
Ia takut akan mati sendirian, ia takut ia akan mati dan di saat-saat terakhirnya tidak ada orang yang ada di sampingnya.
Itu... sangat menyedihkan.
Mati kesepian.
Gino amat-sangat takut mengalami hal itu.