sugarloaf


Sesampainya di rumah, Aulia segera masuk. Benar Gino-pria itu sudah pulang, mobilnya ada terparkir, tadi saat Aulia lewat, ia melihatnya.

“Gino?” Pelan-pelan Aulia mencari dan memanggil, dan tak lama ia menemukan seorang pria tengah terkulai di atas sofa, segera Aulia menghampiri.

“Gino? Aw—” Aulia mengibaskan tangannya tatkala punggung tangannya menyentuh dahi Gino, panas. Gino demam.

“Mami...” Gino melirih.

“Mau aku panggilin mami?” Gino membuka matanya, menatap sayu pada Aulia yang memandangnya dengan tatapan tak tega.

Meski pria itu jahat, Aulia tetap tidak tega melihatnya, sejak dulu ia memang memiliki hati yang lembut, Aulia memang mudah lemah makanya kali ini pun ia sejenak melupakannya, perbuatan jahat yang baru saja pria ini lancarkan padanya kemarin, ia kesampingkan terlebih dahulu.

Gino mengangguk, kemudian menggeleng. Melihatnya Aulia mengernyitkan dahi. “Jadi mau atau nggak?”

“Pusing.” Bukannya menjawab, Gino malah merengek.

“Mau ke rumah sakit nggak?” Tawar Aulia.

Gino menggeleng. “Aku telfonin mami deh ya? Aku bingung harus ngapain.”

Dan Gino tak merespon, pria itu terlalu pusing dan lemas untuk sekadar bertindak demikian.

Biarlah, lagi pula itu memang benar.

Gino butuh Maminya, Gino ingin di peluk Maminya, Gino...

Tanpa sadar air matanya menetes, bahkan ketika Gino sudah berusaha menahan dengan memejamkan matanya.

Melihatnya Aulia terhenyak, tangannya terulur hingga jarinya kemudian mengusap pelipis Gino yang sedikit basah karena air mata pria itu.

“Jangan nangis, ini aku mau panggil mami.”

Gino tak merespon, matanya masih setia tertutup, selain malu karena kedapati menangis, Gino merasa pusing saat membuka matanya.

Aulia berniat beranjak untuk membuat kompres, namun lengannya tertahan, Gino yang menahan lalu pria itu berujar dengan mata yang sudah susah payah dibukanya.

“Lo mau kemana? Disini aja, gue nggak mau sendirian, dingin.”

“Aku mau ambil kompres, sebentar.” Aulia hendak beranjak lagi, namun lagi-lagi tertahan, Gino keukeuh mempertahankan Aulia dengan menggenggam tangan gadis itu begitu erat.

“Gue nggak mau sendirian.” Jelas Gino lagi.

“Kamu nggak sendiri, aku disini, cuma mau ambil kompres aja, badan kamu panas banget. Seenggaknya sampai Mami datang, kamu udah dapet penanganan yang bener.”

“Di sini aja...” Suara Gino berbaur dengan deru nafasnya yang memberat.

“Dingin..”

Demi Tuhan Aulia tidak tega, bibir pria itu sangat pucat, bahkan warna kulitnya ikut memucat membuat Gino tampak seperti orang sekarat.

“Aku... ambilin selimut, mau?” Aulia menawarkan.

Dengan lemas Gino menggeleng. “Disini aja, gue...”

“Takut...”

Aulia pasrah, meski khawatir kondisi Gino akan memburuk sebab tidak segera di tangani, namun mau bagaimana lagi? Pria itu yang menolak, entah apa alasannya hingga Gino begitu takut, padahal Gino sendiri tahu, jarak antara sofa yang tengah ditidurinya itu tidak jauh dari dapur, tempat dimana Aulia akan menyiapkan kompres.

“Pusing..” Gino merengek lagi.

“Merem aja, nggak usah melek aku disini, nggak bakalan kemana-mana.”

“Lagian aku bisa kemana sih? Tangan aku aja kamu pegang erat banget kayak gini.” Jelas Aulia, dan jelas sekali Gino mendengarnya, namun tidak marah atau merasa jijik, Gino mempertahankan genggamannya.

Sebab tidak peduli siapa saja, Gino sangat membutuhkan hal seperti ini.

Gino amat takut, bukan tanpa alasan. Serius kali ini Gino tak akan mangkir.

Ia takut akan mati sendirian, ia takut ia akan mati dan di saat-saat terakhirnya tidak ada orang yang ada di sampingnya.

Itu... sangat menyedihkan.

Mati kesepian.

Gino amat-sangat takut mengalami hal itu.



“Lo...” Mata Aulia mengerjap-ngerjap, ponsel di genggamanya kemudian Aulia taruh dengan penyangga di atas nakas samping tempat tidur, jelas sekali benda pipih itu menampilkan sebuah video tutorial.

“Ga bisa pasang dasi juga?” Gino melanjutkan kalimatnya.

“Enggak.” Jawab Aulia.

“What the—”

“Makanya aku puter video nya, sini deh.” Aulia memposisikan diri setelah menarik lengan Gino, mengatur posisi pria itu.

Aulia berjinjit untuk melakukan aktivitas nya, sesuai dengan perintah yang ia tonton dari video yang tengah di putar, Aulia dengan telaten mempraktikanya pada Gino.

Gino memperhatikan, meski sempat kesal, namun Gino biarkan saja, ia sedang butuh bantuan gadis ini.

“Eh ke kiri atau ke kanan ya tadi ini?” Aulia hendak bergerak mempause dan mengulang videonya, namun terhenti sebab Gino bersuara

“Kiri.”

Tanpa berpikir lagi, Aulia melanjutkan, sementara itu Gino tetap memperhatikan, ini pertama kalinya, Gino rasa...

berdekatan dengan gadis bernama Aulia yang kini menyandang status sebagai istrinya.

Dengan kepala yang sedikit tertunduk ke bawah, Gino melihat wajah Aulia yang sedikit menengadah, entah mengapa Gino merasa, perpaduan wajah Aulia itu serba mungil, baik hidung maupun bibir semuanya kontras dengan ukuran wajahnya, kecil.

Sejenak Gino lihat wajah yang ia nilai kecil itu mengernyit sesaat, gadis itu kebingungan lagi.

“Puter ke belakang.” Karena suaranya, Aulia mengalihkan perhatiannya, mereka berpandangan, baik Gino maupun Aulia sama-sama tak menghindar.

Gino tertarik untuk menatap lensa kecoklatan yang terlihat jernih itu, mengamati sama seperti yang dilakukannya sejak tadi.

“Belakang.” Gino mengulangi, namun matanya tetap memandangi.

Aulia diam sesaat, menerima pandangan dari lelaki jangkung yang kini berstatus suaminya.

“Iya.” Balas Aulia.

Ada yang aneh, sesuatu sedang tercipta, kontak mata itu tidak terputus, baik Aulia maupun Gini betah dengan apa yang di pandangnya masing-masing, Aulia bahkan melanjutkan gerakan penyelesaiannya tanpa memandang ke arah apa yang tengah di kerjakan seperti sebelumnya.

Matanya tetap melihat Gino.

“Udah.” Ujar Aulia.

Suara Aulia terdengar rendah ditelinganya, kontak mata ini ternyata berbahaya, terbukti dengan Gino yang bertindak di luar kendalinya, kontak mata itu terputus, dengan Gino yang mengganti arah pandangnya pada bibir mungil kepunyaan Aulia.

Mengikis jarak, Gino yang memulai, dan Aulia yang tak menghindar, mereka seperti dikendalikan hingga jarak terus terkikis dan tinggal beberapa centi saja, maka sesuatu akan terjadi.

Namun urung, Gino menghentikan pergerakannya, kesadarannya datang entah dari mana membuat Gino tersentak hingga kemudian menjauh dari Aulia. Hal itu juga mengundang kesadaran Aulia untuk hadir.

Dua insan itu kini saling melempar tatap, dua-duanya sama, mereka sama-sama kaget.

Gino merasa linglung, begitupun Aulia.

Beberapa detik kemudian terdengar Gino mengumpat kemudian melangkah pergi ke luar kamar setelah sempat melempar tatapan antara sinis dan jijik pada Aulia.

“Sialan! Anjing!” Tak henti-hentinya Gino mengumpat kemudian menampar dirinya sendiri.

“Lo mau nyium cewek sampah itu?! Kerasukan setan mana lo Giorgino!!”

Menolehkan kepalanya kearah kamar dimana Aulia tengah berada, Gino menatapi ruangan yang pintunya masih terbuka itu dengan tatapan ngeri.

Namun tak bisa ia sangkal, Gino sadar akan sesuatu, karena pada dasarnya, Biar bagaimanapun wujud nyata perasaan bencinya kepada Aulia. Aulia tetaplah seorang gadis, dan ia seorang pria.



“Lo...” Mata Aulia mengerjap-ngerjap, ponsel di genggamanya kemudian Aulia taruh dengan penyangga di atas nakas samping tempat tidur, jelas sekali benda pipih itu menampilkan sebuah video tutorial.

“Ga bisa pasang dasi juga?” Gino melanjutkan kalimatnya.

“Enggak.” Jawab Aulia.

“What the—”

“Makanya aku puter video nya, sini deh.” Aulia memposisikan diri setelah menarik lengan Gino, mengatur posisi pria itu.

Aulia berjinjit untuk melakukan aktivitas nya, sesuai dengan perintah yang ia tonton dari video yang tengah di putar, Aulia dengan telaten mempraktikanya pada Gino.

Gino memperhatikan, meski sempat kesal, namun Gino biarkan saja, ia sedang butuh bantuan gadis ini.

“Eh ke kiri atau ke kanan ya tadi ini?” Aulia hendak bergerak mempause dan mengulang videonya, namun terhenti sebab Gino bersuara

“Kiri.”

Tanpa berpikir lagi, Aulia melanjutkan, sementara itu Gino tetap memperhatikan, ini pertama kalinya, Gino rasa...

berdekatan dengan gadis bernama Aulia yang kini menyandang status sebagai istrinya.

Dengan kepala yang sedikit tertunduk ke bawah, Gino melihat wajah Aulia yang sedikit menengadah, entah mengapa Gino merasa, perpaduan wajah Aulia itu serba mungil, baik hidung maupun bibir semuanya kontras dengan ukuran wajahnya, kecil.

Sejenak Gino lihat wajah yang ia nilai kecil itu mengernyit sesaat, gadis itu kebingungan lagi.

“Puter ke belakang.” Karena suaranya, Aulia mengalihkan perhatiannya, mereka berpandangan, baik Gino maupun Aulia sama-sama tak menghindar.

Gino tertarik untuk menatap lensa kecoklatan yang terlihat jernih itu, mengamati sama seperti yang dilakukannya sejak tadi.

“Belakang.” Gino mengulangi, namun matanya tetap memandangi.

Aulia diam sesaat, menerima pandangan dari lelaki jangkung yang kini berstatus suaminya.

“Iya.” Balas Aulia.

Ada yang aneh, sesuatu sedang tercipta, kontak mata itu tidak terputus, baik Aulia maupun Gini betah dengan apa yang di pandangnya masing-masing, Aulia bahkan melanjutkan gerakan penyelesaiannya tanpa memandang ke arah apa yang tengah di kerjakan seperti sebelumnya.

Matanya tetap melihat Gino.

“Udah.” Ujar Aulia.

Suara Aulia terdengar rendah ditelinganya, kontak mata ini ternyata berbahaya, terbukti dengan Gino yang bertindak di luar kendalinya, kontak mata itu terputus, dengan Gino yang mengganti arah pandangnya pada bibir mungil kepunyaan Aulia.

Mengikis jarak, Gino yang memulai, dan Aulia yang tak menghindar, mereka seperti dikendalikan hingga jarak terus terkikis dan tinggal beberapa centi saja, maka sesuatu akan terjadi.

Namun urung, Gino menghentikan pergerakannya, kesadarannya datang entah dari mana membuat Gino tersentak hingga kemudian menjauh dari Aulia. Hal itu juga mengundang kesadaran Aulia untuk hadir.

Dua insan itu kini saling melempar tatap, dua-duanya sama, mereka sama-sama kaget.

Gino merasa linglung, begitupun Aulia.

Beberapa detik kemudian terdengar Gino mengumpat kemudian melangkah pergi ke luar kamar setelah sempat melempar tatapan antara sinis dan jijik pada Aulia.

“Sialan! Anjing!” Tak henti-hentinya Gino mengumpat kemudian menampar dirinya sendiri.

“Lo mau nyium cewek sampah itu?! Kerasukan setan mana lo Giorgino!!”

Menolehkan kepalanya kearah kamar dimana Aulia tengah berada, Gino menatapi ruangan yang pintunya masih terbuka itu dengan tatapan ngeri.

Namun tak bisa ia sangkal, Gino sadar akan sesuatu, karena pada dasarnya, Biar bagaimanapun wujud nyata perasaan bencinya kepada Aulia. Aulia tetaplah seorang gadis, dan ia seorang pria.



“Lo...” Mata Aulia mengerjap-ngerjap, ponsel di genggamanya kemudian Aulia taruh dengan penyangga di atas nakas samping tempat tidur, jelas sekali benda pipih itu menampilkan sebuah video tutorial.

“Ga bisa pasang dasi juga?” Gino melanjutkan kalimatnya.

“Enggak.” Jawab Aulia.

“What the—”

“Makanya aku puter video nya, sini deh.” Aulia memposisikan diri setelah menarik lengan Gino, mengatur posisi pria itu.

Aulia berjinjit untuk melakukan aktivitas nya, sesuai dengan perintah yang ia tonton dari video yang tengah di putar, Aulia dengan telaten mempraktikanya pada Gino.

Gino memperhatikan, meski sempat kesal, namun Gino biarkan saja, ia sedang butuh bantuan gadis ini.

“Eh ke kiri atau ke kanan ya tadi ini?” Aulia hendak bergerak mempause dan mengulang videonya, namun terhenti sebab Gino bersuara

“Kiri.”

Tanpa berpikir lagi, Aulia melanjutkan, sementara itu Gino tetap memperhatikan, ini pertama kalinya, Gino rasa...

berdekatan dengan gadis bernama Aulia yang kini menyandang status sebagai istrinya.

Dengan kepala yang sedikit tertunduk ke bawah, Gino melihat wajah Aulia yang sedikit menengadah, entah mengapa Gino merasa, perpaduan wajah Aulia itu serba mungil, baik hidung maupun bibir semuanya kontras dengan ukuran wajahnya, kecil.

Sejenak Gino lihat wajah yang ia nilai kecil itu mengernyit sesaat, gadis itu kebingungan lagi.

“Puter ke belakang.” Karena suaranya, Aulia mengalihkan perhatiannya, mereka berpandangan, baik Gino maupun Aulia sama-sama tak menghindar.

Gino tertarik untuk menatap lensa kecoklatan yang terlihat jernih itu, mengamati sama seperti yang dilakukannya sejak tadi.

“Belakang.” Gino mengulangi, namun matanya tetap memandangi.

Aulia diam sesaat, menerima pandangan dari lelaki jangkung yang kini berstatus suaminya.

“Iya.” Balas Aulia.

Ada yang aneh, sesuatu sedang tercipta, kontak mata itu tidak terputus, baik Aulia maupun Gini betah dengan apa yang di pandangnya masing-masing, Aulia bahkan melanjutkan gerakan penyelesaiannya tanpa memandang ke arah apa yang tengah di kerjakan seperti sebelumnya.

Matanya tetap melihat Gino.

“Udah.” Ujar Aulia.

Suara Aulia terdengar rendah ditelinganya, kontak mata ini ternyata berbahaya, terbukti dengan Gino yang bertindak di luar kendalinya, kontak mata itu terputus, dengan Gino yang mengganti arah pandangnya pada bibir mungil kepunyaan Aulia.

Mengikis jarak, Gino yang memulai, dan Aulia yang tak menghindar, mereka seperti dikendalikan hingga jarak terus terkikis dan tinggal beberapa centi saja, maka sesuatu akan terjadi.

Namun urung, Gino menghentikan pergerakannya, kesadarannya datang entah dari mana membuat Gino tersentak hingga kemudian menjauh dari Aulia. Hal itu juga mengundang kesadaran Aulia untuk hadir.

Dua insan itu kini saling melempar tatap, dua-duanya sama, mereka sama-sama kaget.

Gino merasa linglung, begitupun Aulia.

Beberapa detik kemudian terdengar Gino mengumpat kemudian melangkah pergi ke luar kamar setelah sempat melempar tatapan antara sinis dan jijik pada Aulia.

“Sialan! Anjing!” Tak henti-hentinya Gino mengumpat kemudian menampar dirinya sendiri.

“Lo mau nyium cewek sampah itu?! Kerasukan setan mana lo Giorgino!!”

Menolehkan kepalanya kearah kamar dimana Aulia tengah berada, Gino menatapi ruangan yang pintunya masih terbuka itu dengan tatapan ngeri.

Namun tak bisa ia sangkal, Gino sadar akan sesuatu, karena pada dasarnya, Biar bagaimanapun wujud nyata perasaan bencinya kepada Aulia. Aulia tetaplah seorang gadis, dan ia seorang pria.


Dangerous


Aulia terdiam sesaat, di depan pintu kamar Gino ia berdiri dengan perasaan ragu untuk melanjutkan langkahnya.

Mengambil nafas untuk sesaat, Aulia mengetuk pintu dihadapannya.

“Gino, bangun...”

Hening, sama sekali tak terdengar adanya kehidupan dibalik pintu yang ia ketuk.

“Masuk aja deh..” Aulia memutuskan.

Dengan perlahan Aulia membuka pintu, untuk kemudian ia masuki, segera Aulia disambut dengan pemandangan dimana Gino, si pria dengan penuh emosi dan segala sifat buruknya tengah tertidur dengan damainya.

Kalau boleh jujur, Aulia sebenarnya takut untuk mendekat, apalagi mencoba membangunkan, akan tetapi situasinya memaksa.

Ada dua pemikiran situasi yang saling bertabrakan dikepalanya.

Pria itu, baik Aulia bangunkan maupun tidak, konsekuensi Aulia menerima segala caci-maki dan amarahnya tetap akan ada, tapi akan lebih buruk jika Aulia tidak melakukannya.

Makanya meski ragu, Aulia tetap mendekat, sempat bingung sesaat namun akhirnya terlaksana juga.

Aulia mengguncang-guncang tubuh Gino, dari perlahan hingga cepat, Aulia berusaha tak lupa ia gunakan suaranya seperti “Gino.. bangun...”

Namun hening, tidak ada pergerakan sama sekali, pria itu tampak seperti tak tergubris.

Aulia mendekat lagi, kali ini ia mengikis jaraknya, sadar atau tidak tetapi wajah Aulia sudah berada diatas wajah Gino, dengan telapak tangan Aulia yang menampar-nampar pelan pipi Gino, sebuah usaha agar pria itu membuka matanya.

“Gino.....” Kali ini bukan lirihan seperti sebelumnya, Aulia mengeluarkan suaranya dengan jelas.

“Bang—” Terhenti, kalimatnya terhenti, Gino membuka matanya menatap langsung mata Aulia dari jarak yang hanya beberapa centi saja.

“Ngun...” Kali ini yang keluar lirihan pelan, tanpa sadar kalimatnya ia lanjutkan, entah bagaimana Aulia merasa seperti sedang di hipnotis.

Tatapan Gino kepadanya amat murni, mungkin karena pria itu baru saja bangun, tidak ada gurat marah dan benci seperti biasanya, dan Aulia terpana melihatnya.

“Hmmm” Gino menggumam, suara berat khas laki-laki yang baru saja bangun itu membuat Aulia semakin membeku.

Ada apa ini?

“Ngapain liat-liat?” Tidak sekadar biasanya, mas yang kali ini Aulia dengar sangat lembut, tidak ada kesinisan sama sekali didalamnya membuat Aulia terhanyut, namun sepersekian detik kemudian Aulia tersadar.

Kontak mata itu kemudian terputus, dengan Aulia yang mengerjap-ngerjap sebelum kemudian menjauh memutus jarak kedekatan mereka.

Melihatnya, Gino bangun dari tidurnya kemudian duduk, mengusap wajah dan rambutnya kasar, lalu dengan gerakan malas turun dari ranjang dan melangkah masuk ke dalam kamar mandi.

Sementara itu Aulia masih terpaku ditempatnya.

“Bahaya...” Ujar Aulia.

Ya, ini berbahaya. Gino yang tidak marah dan mencaci maki adalah definisi dari bahaya yang sesungguhnya, sebab bukannya merasa aman, Aulia mendapati jantungnya berdegup melebihi tempo dari biasanya.


Kamu itu...


“Biasa aja dong lo makannya, gue tahu lo orang miskin tapi jangan diliatin banget napa.” Gino berujar setelah memperhatikan cara Aulia makan yang agak terburu-buru.

Mendengarnya Aulia mendongak, mengalihkan pandangan dari makanannya kearah Gino.

“Awkuu lawpwerrr twahu lawpwerrr—”

“Ya lah bacot, ga usah makan sambil ngomong, nanti muncrat, gue jijik.” Potong Gino sebelum sempat Aulia menyelesaikan.

Patuh, Aulia diam kemudian melanjutkan kegiatannya makan.

“Gue kenyang.” Seru Gino, lagi-lagi mau tak mau atensi Aulia tertarik.

“Siapa yah tadi yang bilang mau makan semuanya.” Sindir Aulia.

Gino melirik sinis. “Lo dibaikin kok malah ngelunjak sih?”

“Buat aku aja sinih, aku masih laper.” Sembari berkata demikian, Aulia mengambil kotak mie dari hadapan Gino.

“Dih, mau lo bekasan gue?”

“Ga boleh buang-buang makanan, lagian kamu juga gaada riwayat penyakit menular kan?”

“Kaga lah anjing.” Balas Gino sewot.

“Yaudah” Aulia mengendikan bahunya, melanjutkan kembali aktivitasnya.

Setelah selesai, keheningan melanda, entah bagaimana kini Aulia dan Gino saling berpandangan.

“Ngapain lo lihat-lihat?” Sudah tidak perlu dijelaskan lagi itu siapa.

“Aku tuh sebenernya bingung.” Tutur Aulia.

Gino mengernyitkan dahi, Aulia tahu, Gino ikut bingung, maka dari itu Aulia lanjutkan kalimatnya.

“Kamu itu sebenernya orang baik, atau orang jahat sih?”


Setelah menerima pesan teks dari Gino, bohong kalo Aulia tidak merasa marah. Bohong kalo ia bilang ia dapat bersabar menerima kelakuan Gino yang satu ini. Karena biar bagaimanapun, Aulia juga manusia.

Ia bisa merasa frustasi seperti saat ini. Demi Tuhan... Aulia tak menyangka bahwa Gino benar-benar melancarkan niatnya untuk membuat Aulia hidup seperti di neraka.

Aulia mengetuk-ngetuk pintu kamarnya dari dalam, ia tahu Gino masih diluar kamarnya setelah tadi pria itu beraksi dengan mengunci Aulia di dalam kamar.

“Gino.. kamu gaboleh dong kaya gini..” Demi Tuhan sekali lagi, Aulia benar-benar ingin menangis.

“Boleh, ini rumah gue dan gue bebas ngelakuin apapun yang gue mau.” Dari balik pintu, suara berat itu terdengar menyahuti.

Aulia menghela nafas frustasi. “Gino tolong dong, sebentar aja.. nggak sampai sore, sampai siang aja, atau nggak dua jam... dua jam aja...”

Dari balik pintu, Gino mendengar, suara itu, bukan. Aulia melirih, Gino bisa pastikan itu.

Batinnya terpuaskan, ini yang ingin Gino dengar, sayang tak bisa ia lihat, tapi tak apa, dari pada mengambil resiko membuka pintu dan membuka peluang Aulia untuk kabur, Gino cukupkan dengan indra pendengarannya saja.

“Gino...” “Kamu masih disana kan?”

Tak terdengar jawaban, Aulia mengira pria itu sudah pergi, namun nyatanya Gino masih berdiri, hanya saja tak menyahut seperti sebelumnya.

“Padahal aku udah ngira kamu itu orang baik...”

“Ternyata bukan.”

Alis Gino terpaut mendengar ocehan Aulia. Gino menunggu, sebab sepertinya kalimat Aulia tadi menggantung. Beberapa saat kemudian terdengar lirih tangis, dibalik pintu, ternyata Aulia menangis.

“Kamu jahat.”


Setelah menerima pesan teks dari Gino, bohong kalo Aulia tidak merasa marah. Bohong kalo ia bilang ia dapat bersabar menerima kelakuan Gino yang satu ini. Karena biar bagaimanapun, Aulia juga manusia.

Ia bisa merasa frustasi seperti saat ini. Demi Tuhan... Aulia tak menyangka bahwa Gino benar-benar melancarkan niatnya untuk membuat Aulia hidup seperti di neraka.

Aulia mengetuk-ngetuk pintu kamarnya dari dalam, ia tahu Gino masih diluar kamarnya setelah tadi pria itu beraksi dengan mengunci Aulia di dalam kamar.

“Gino.. kamu gaboleh dong kaya gini..” Demi Tuhan sekali lagi, Aulia benar-benar ingin menangis.

“Boleh, ini rumah gue dan gue bebas ngelakuin apapun yang gue mau.” Dari balik pintu, suara berat itu terdengar menyahuti.

Aulia menghela nafas frustasi. “Gino tolong dong, sebentar aja.. nggak sampai sore, sampai siang aja, atau nggak dua jam... dua jam aja...”

Dari balik pintu, Gino mendengar, suara itu, bukan. Aulia melirih, Gino bisa pastikan itu.

Batinnya terpuaskan, ini yang ingin Gino dengar, sayang tak bisa ia lihat, tapi tak apa, dari pada mengambil resiko membuka pintu dan membuka peluang Aulia untuk kabur, Gino cukupkan dengan indra pendengarannya saja.

“Gino...” “Kamu masih disana kan?”

Tak terdengar jawaban, Aulia mengira pria itu sudah pergi, namun nyatanya Gino masih berdiri, hanya saja tak menyahut seperti sebelumnya.

“Padahal aku udah ngira kamu itu orang baik...”

“Ternyata bukan.”

Alis Gino terpaut mendengar ocehan Aulia. Gino menunggu, sebab sepertinya kalimat Aulia tadi menggantung. Beberapa saat kemudian terdengar lirih tangis, dibalik pintu, ternyata Aulia menangis.

“Kamu jahat.”


Setelah menerima pesan teks dari Gino, bohong kalo Aulia tidak merasa marah. Bohong kalo ia bilang ia dapat bersabar menerima kelakuan Gino yang satu ini. Karena biar bagaimanapun, Aulia juga manusia.

Ia bisa merasa frustasi seperti saat ini. Demi Tuhan... Aulia tak menyangka bahwa Gino benar-benar melancarkan niatnya untuk membuat Aulia hidup seperti di neraka.

Aulia mengetuk-ngetuk pintu kamarnya dari dalam, ia tahu Gino masih diluar kamarnya setelah tadi pria itu beraksi dengan mengunci Aulia di dalam kamar.

“Gino.. kamu gaboleh dong kaya gini..” Demi Tuhan sekali lagi, Aulia benar-benar ingin menangis.

“Boleh, ini rumah gue dan gue bebas ngelakuin apapun yang gue mau.” Dari balik pintu, suara berat itu terdengar menyahuti.

Aulia menghela nafas frustasi. “Gino tolong dong, sebentar aja.. nggak sampai sore, sampai siang aja, atau nggak dua jam... dua jam aja...”

Dari balik pintu, Gino mendengar, suara itu, bukan. Aulia melirih, Gino bisa pastikan itu.

Batinnya terpuaskan, ini yang ingin Gino dengar, sayang tak bisa ia lihat, tapi tak apa, dari pada mengambil resiko membuka pintu dan membuka peluang Aulia untuk kabur, Gino cukupkan dengan indra pendengarannya saja.

“Gino...” “Kamu masih disana kan?”

Tak terdengar jawaban, Aulia mengira pria itu sudah pergi, namun nyatanya Gino masih berdiri, hanya saja tak menyahut seperti sebelumnya.

“Padahal aku udah ngira kamu itu orang baik...”

“Ternyata bukan.”

Alis Gino terpaut mendengar ocehan Aulia. Gino menunggu, sebab sepertinya kalimat Aulia tadi menggantung. Beberapa saat kemudian terdengar lirih tangis, dibalik pintu, ternyata Aulia menangis.

“Kamu jahat.”