sugarloaf

“Hai mantan.” Clara menoleh kebelakang lalu mendapati Windra, mantan kekasihnya tengah berdiri sembari melambaikan tangan padanya.

“Balikin akun aku sekarang.” Tanpa menanggapi sapaan Windra padanya, Clara langsung pada intinya saja. Sebab jujur, gadis ini sudah jengah dengan tingkah laku Windra.

Windra menatap tangannya yang tadi melambai pada Clara, menurunkannya perlahan sambil tersenyum miring.

“Santai aja sih, nanti juga bakal gue balikin.” Windra mengambil sebungkus rokok dari dalam saku hoodie-nya, mengeluarkan satu batang untuk dibakar kemudian pria itu hisap.

Clara yang melihat hal itu-pun sedikit mengernyit. “Kamu ngerokok? Sejak kapan?”

Windra mengepulkan asap rokoknya keudara, sambil terkekeh pria itu menjawab Clara. “Sejak lama lah, lo aja yang gak tahu.”

Mulut Clara sedikit terbuka, tak menyangka ternyata selama ini-pun pria ini telah membohonginya.

“Yaudahlah gak penting juga.” Clara membuang pandangannya sejenak dari Windra, “Sekarang langsung ke intinya aja, balikin akun aku.” Ucap Clara.

“Berani bayar berapa lo biar akun lo bisa balik?” Tanya Windra, pria itu menyandarkan diri pada sebuah tiang usang di area kumuh yang tadi Windra pilih sebagai tempat pertemuan mereka.

Clara kembali menatap Windra dengan tatapan tak habis pikirnya. “Yaudah kamu mau berapa? nanti aku bayar.”

Mendengar hal itupun Windra tertawa keras, membuat Clara semakin menukikan alisnya kedalam.

“Enak ya jadi orang kaya? Enteng banget kalo masalah duit.” Selepas berujar begitu, tawa windra terhenti, tatapan pria itu-pun berubah menjadi menatap tajam pada Clara.

“Gue gak mau lo bayar pake uang, gue mau lo bayar pake harga diri lo.”

“Maksud kamu apa?!” Clara menaikan volume suaranya saat menanggapi perkataan Windra yang terakhir, jelas Clara tak terima, ucapan Windra barusan itu seakan merendahkan Clara.

Windra tersenyum sinis, pria itu menghisap kembali batang beracunnya sebelum akhirnya dibuang dan diinjak.

Windra mendekati Clara. “Bayar pake harga diri lo, lo tahu kan maksud gue apa?”

PLAK!

Dengan emosi diujung ubun-ubun, Clara menampar Windra begitu keras, ia tak habis pikir, pria yang pernah begitu ia cintai ternyata sekarang malah seperti ini.

Mata Clara berkaca-kaca. “Jaga omongan kamu!”

Windra terkekeh sinis dalam rasa perihnya setelah ditampar Clara, untuk beberapa detik Windra terdiam lalu dengan gerakan kasar pria itu mendorong Clara pada sebuah dinding.

“Awh!” Clara meringis kesakitan, belum sempat Clara membuat perlawanan, Windra sudah menempatkan telapak tangannya pada leher Clara, mencekik gadis itu kuat-kuat.

“Lo yang harusnya jaga kelakuan lo, cewek jalang!”

Clara memukul-mukul Windra dengan kekuatan yang dipunya, meski tak membuahkan hasil sebab tenaga Clara jelas kalah dari Windra.

“Cewek sempurna kaya lo ini harusnya dirusak sekalian, biar ada kekurangan.”

Mendengar perkataan Windra, Clara-pun menangis, entah mau jadi apa nasibnya setelah ini, Clara masih berusaha melawan, menendang apapun yang bisa gadis itu tendang, serta kembali memukul-mukul Windra yang kini tengah berupaya mendekat untuk mencium Clara.

BUGH!

Usaha Windra gagal sepenuhnya, pria itu bahkan jatuh tersungkur setelah dipukul begitu kuat oleh seseorang.

Clara yang bebas dari Windra-pun tak kuasa lagi menahan bobot tubuhnya, gadis itu hampir saja ikut terjatuh kalau saja seseorang tak menangkap tubuhnya.

“Jemian?” Jemian tersenyum manis pada Clara. “Halo cantik.” Sapa Jemian seraya mengedipkan matanya pada Clara.

Disaat situasi yang lengah itu, Windra bangkit setelah mengambil sebongkah batu, dengan ancang-ancang Windra sudah akan memukul kepala Jemian dengan batu dari belakang.

“JEMIAN AWAS!” Clara memekik saat melihat siluet Windra yang berada persis dibelakang Jemian.

BUGH!

Sebuah suara bagian tubuh saling beradu kembali terdengar, Windra kembali jatuh tersungkur ketanah setelah mendapat sebuah tendangan dari seorang pria berjaket kulit dengan sebuah batang rokok dimulutnya.

Jemian menoleh kebelakang, pria itu lalu mengangkat tangan dalam posisi mengepal mengajak toss ala lelaki pada pria berjaket kulit itu.

“Bravo! anjay tendangan maut si Jessen iyeu mah lain tendangan maut si Madun.” Bravo! anjay tendangan maut si Jessen inimah, bukan tendangan maut si Madun.

Seorang pria tiba-tiba muncul sambil bertepuk tangan lalu menghampiri pria yang tadi menendang Windra.

Disusul seorang pria berkacamata datang dan segera mengeksekusi Windra yang tadi sempat hendak kabur. “Banci amat, sekali tendang doang usaha buat bangunnya sampe berkali-kali.” Randy-Pria dengan kacamata itu mengambil dua tangan Windra lalu disilangkan kebelakang, persis seperti adegan seorang polisi yang menangkap penjahat di drama yang sering Clara tonton.

“Yang begini sok-sok an mau ngelecehin cewek, yakin lo kaga impoten?” Windra bergerak-gerak dalam posisi tengkurap, masih berupaya meloloskan diri.

“Rokoknya aja samsu, kere ya?” Jessen tertawa saat melihat bungkus rokok yang setengah keluar dari kantong Windra.

“Ris, itu ada tali sebelah sana, ambil sini, Ris.” Randy menunjuk pada sebuah tali tambang kusam yang tergeletak di seberangnya.

“Shaapp!” Pria bernama Haris itu-pun dengan sigap langsung mengambil tali itu kemudian menghampiri Randy dan membantu pria itu mengikat Windra.

“Udah telepon polisi belom sih?” Jessen bertanya setelah kembali menghisap batang rokoknya.

“Udah gue telepon tadi, tinggal tungguin datang aja.” Tutur Randy.

“Taliin ditiang ajalah, gue males megangin anjir.” Haris mengajukan usul setelah berhasil mengikat Windra dengan kencang.

“Talinya gak cukup, bego.” Dilihatnya oleh Clara, pria berkacamata itu menoyor kepala kawannya.

Clara masih syok dan bingung, Jemian yang paham akan kondisi Clara-pun kemudian merangkul Clara. “Cuy, gue duluan ya.” Sembari melempar kode dengan lirikan mata, Jemian pamit undur diri pada ketiga temannya.

Paham akan kode yang diberikan Jemian, baik Randy, Haris maupun Jessen, ketiganya serempak mengacungkan jempolnya.

“Sok duluan aja, ni banci satu biar kita bertiga yang urus.”


Gaduh dan ramai. Dua kata itu tepat sekali untuk menggambarkan suasana di unit sebelah apartemen Jemian.

“Mbak, ini sofa jadi ditaruh sini?”

“Jadi, mas.”

“Mbak, ini TV penempatannya udah oke belum?”

“Kurang miring ke sini, mas.”

“Mbak, tadi katanya minta angkatin rak sepatu, rak nya dimana ya?”

“Oh iya, masih ada di pick up mas.”

Suara-suara saling bersahutan antara para pekerja pria dan seorang gadis terdengar oleh rungu Jemian. Pria itu tengah berdiri di depan unit yang penuh dengan kesibukan itu, berlalu lalang orang keluar-masuk dari unit tersebut hingga menghambat langkah Jemian yang hendak menuju pada unit-nya.

“Buset, ini gua kapan lewatnya kalo gini terus.” Keluh pria itu dalam batinnya, sebab tiap Jemian hendak melangkah, tiap itu jua satu orang lewat, entah itu keluar atau masuk.

Jemian menarik napasnya dalam, masih berusaha sabar akan situasi ini. Namun lagaknya usahanya itu tak begitu membuahkan hasil, Jemian kehilangan kesabarannya, hari ini situasi di kelasnya cukup melelahkan hingga pria itu ingin sekali buru-buru pulang dan tidur, namun tertahan sebab berlalulalang-nya orang-orang ini.

“MAS MISI MAS, SAYA MAU LEWAT.” Jemian jadi berteriak, ah masa bodoh lah, pikirnya. Sedari tadi pria itu sudah berusaha untuk tenang dan tidak meluap-luap seperti ini, namun malah berujung gagal.

Karena teriakan Jemian tadi, sontak semua kesibukan di area itu terhenti, terganti dengan tatapan heran dan terkejut orang-orang yang sedari tadi kesana-kemari.

Jemian lantas kikuk ditempat, sungguh bukan maksud dirinya untuk menjadi pria yang terlihat gila sebab tiba-tiba berteriak dan marah seperti tadi.

Jemian beradu pandang dengan salah satu pria pekerja yang tengah mendorong masuk rak sepatu. “Hehe” Tiba-tiba saja Jemian melempar cengiran bodoh yang membuat pria pekerja itu saling melempar tatap dengan temannya yang membantu mendorong rak sepatu.

Situasinya benar-benar awkward sekali, bahkan Jemian jadi tak berani melangkah lewat, padahal alasannya berteriak seperti tadi adalah agar pria itu bisa lewat.

Lalu seorang gadis muncul dari pintu unit yang terbuka. “Ada apa mas? kok pada diem kayak gini?” Tanya si gadis pada pria pekerja yang berada di depan Jemian.

Sambil memberikan isyarat lewat mata yang menunjuk kearah Jemian, pria pekerja itu berkata memberikan penjelasannya. “Gatahu mbak, tiba-tiba mas itu teriak marah-marah, jadi saya reflek berhenti.”

Mendengar penjelasan tersebut, gadis itupun berbalik badan dan menoleh.

DEG!

Jantung Jemian seakan berhenti berdetak, waktu disekitarnya-pun seakan berhenti.

Itu dia! Gadis yang ada di kameranya. Gadis asing dengan senyuman paling memikat yang pernah Jemian lihat.

“Ada apa ya mas? Kenapa tiba-tiba marah-marah?”

Jemian reflek tersenyum sumringah, matanya yang tadi mengantuk kini berbinar cerah.

“Dude! I found her.”



Gaduh dan ramai. Dua kata itu tepat sekali untuk menggambarkan suasana di unit sebelah apartemen Jemian.

“Mbak, ini sofa jadi ditaruh sini?”

“Jadi, mas.”

“Mbak, ini TV penempatannya udah oke belum?”

“Kurang miring ke sini, mas.”

“Mbak, tadi katanya minta angkatin rak sepatu, rak nya dimana ya?”

“Oh iya, masih ada di pick up mas.”

Suara-suara saling bersahutan antara para pekerja pria dan seorang gadis terdengar oleh rungu Jemian. Pria itu tengah berdiri di depan unit yang penuh dengan kesibukan itu, berlalu lalang orang keluar-masuk dari unit tersebut hingga menghambat langkah Jemian yang hendak menuju pada unit-nya.

“Buset, ini gua kapan lewatnya kalo gini terus.” Keluh pria itu dalam batinnya, sebab tiap Jemian hendak melangkah, tiap itu jua satu orang lewat, entah itu keluar atau masuk.

Jemian menarik napasnya dalam, masih berusaha sabar akan situasi ini. Namun lagaknya usahanya itu tak begitu membuahkan hasil, Jemian kehilangan kesabarannya, hari ini situasi di kelasnya cukup melelahkan hingga pria itu ingin sekali buru-buru pulang dan tidur, namun tertahan sebab berlalulalang-nya orang-orang ini.

“MAS MISI MAS, SAYA MAU LEWAT.” Jemian jadi berteriak, ah masa bodoh lah, pikirnya. Sedari tadi pria itu sudah berusaha untuk tenang dan tidak meluap-luap seperti ini, namun malah berujung gagal.

Karena teriakan Jemian tadi, sontak semua kesibukan di area itu terhenti, terganti dengan tatapan heran dan terkejut orang-orang yang sedari tadi kesana-kemari.

Jemian lantas kikuk ditempat, sungguh bukan maksud dirinya untuk menjadi pria yang terlihat gila sebab tiba-tiba berteriak dan marah seperti tadi.

Jemian beradu pandang dengan salah satu pria pekerja yang tengah mendorong masuk rak sepatu. “Hehe” Tiba-tiba saja Jemian melempar cengiran bodoh yang membuat pria pekerja itu saling melempar tatap dengan temannya yang membantu mendorong rak sepatu.

Situasinya benar-benar awkward sekali, bahkan Jemian jadi tak berani melangkah lewat, padahal alasannya berteriak seperti tadi adalah agar pria itu bisa lewat.

Lalu seorang gadis muncul dari pintu unit yang terbuka. “Ada apa mas? kok pada diem kayak gini?” Tanya si gadis pada pria pekerja yang berada di depan Jemian.

Sambil memberikan isyarat lewat mata yang menunjuk kearah Jemian, pria pekerja itu berkata memberikan penjelasannya. “Gatahu mbak, tiba-tiba mas itu teriak marah-marah, jadi saya reflek berhenti.”

Mendengar penjelasan tersebut, gadis itupun menoleh dan berbalik badan.

DEG!

Jantung Jemian seakan berhenti berdetak, waktu disekitarnya-pun seakan berhenti.

Itu dia! Gadis yang ada di kameranya. Gadis asing dengan senyuman paling memikat yang pernah Jemian lihat.

“Ada apa ya mas? Kenapa tiba-tiba marah-marah?”

Jemian reflek tersenyum sumringah, matanya yang tadi mengantuk kini berbinar cerah.

“Dude! I found her.”



Gaduh dan ramai. Dua kata itu tepat sekali untuk menggambarkan suasana di unit sebelah apartemen Jemian.

“Mbak, ini sofa jadi ditaruh sini?”

“Jadi, mas.”

“Mbak, ini TV penempatannya udah oke belum?”

“Kurang miring ke sini, mas.”

“Mbak, tadi katanya minta angkatin rak sepatu, rak nya dimana ya?”

“Oh iya, masih ada di pick up mas.”

Suara-suara saling bersahutan antara para pekerja pria dan seorang gadis terdengar oleh rungu Jemian. Pria itu tengah berdiri di depan unit yang penuh dengan kesibukan itu, berlalu lalang orang keluar-masuk dari unit tersebut hingga menghambat langkah Jemian yang hendak menuju pada unit-nya.

“Buset, ini gua kapan lewatnya kalo gini terus.” Keluh pria itu dalam batinnya, sebab tiap Jemian hendak melangkah, tiap itu jua satu orang lewat, entah itu keluar atau masuk.

Jemian menarik napasnya dalam, masih berusaha sabar akan situasi ini. Namun lagaknya usahanya itu tak begitu membuahkan hasil, Jemian kehilangan kesabarannya, hari ini situasi di kelasnya cukup melelahkan hingga pria itu ingin sekali buru-buru pulang dan tidur, namun tertahan sebab berlalu lalang-nya orang-orang ini.

“MAS MISI MAS, SAYA MAU LEWAT.” Jemian jadi berteriak, ah masa bodoh lah, pikirnya. Sedari tadi pria itu sudah berusaha untuk tenang dan tidak meluap-luap seperti ini, namun malah berujung gagal.

Karena teriakan Jemian tadi, sontak semua kesibukan di area itu terhenti, terganti dengan tatapan heran dan terkejut orang-orang yang sedari tadi kesana-kemari.

Jemian lantas kikuk ditempat, sungguh bukan maksud dirinya untuk menjadi pria yang terlihat gila sebab tiba-tiba berteriak dan marah seperti tadi.

Jemian beradu pandang dengan salah satu pria pekerja yang tengah mendorong masuk rak sepatu. “Hehe” Tiba-tiba saja Jemian melempar cengiran bodoh yang membuat pria pekerja itu saling melempar tatap dengan temannya yang membantu mendorong rak sepatu.

Situasinya benar-benar awkward sekali, bahkan Jemian jadi tak berani melangkah lewat, padahal alasannya berteriak seperti tadi adalah agar pria itu bisa lewat.

Lalu seorang gadis muncul dari pintu unit yang terbuka. “Ada apa mas? kok pada diem kayak gini?” Tanya si gadis pada pria pekerja yang berada di depan Jemian.

Sambil memberikan isyarat lewat mata yang menunjuk kearah Jemian, pria pekerja itu berkata memberikan penjelasannya. “Gatahu mbak, tiba-tiba mas itu teriak marah-marah, jadi saya reflek berhenti.”

Mendengar penjelasan tersebut, gadis itupun menoleh dan berbalik badan.

DEG!

Jantung Jemian seakan berhenti berdetak, waktu disekitarnya-pun seakan berhenti.

Itu dia! Gadis yang ada di kameranya. Gadis asing dengan senyuman paling memikat yang pernah Jemian lihat.

“Ada apa ya mas? Kenapa tiba-tiba marah-marah?”

Jemian reflek tersenyum sumringah, matanya yang tadi mengantuk kini berbinar cerah.

“Dude! I found her.”



Gaduh dan ramai. Dua kata itu tepat sekali untuk menggambarkan suasana di unit sebelah apartemen Jemian.

“Mbak, ini sofa jadi ditaruh sini?”

“Jadi, mas.”

“Mbak, ini TV penempatannya udah oke belum?”

“Kurang miring ke sini, mas.”

“Mbak, tadi katanya minta angkatin rak sepatu, rak nya dimana ya?”

“Oh iya, masih ada di pick up mas.”

Suara-suara saling bersahutan antara para pekerja pria dan seorang gadis terdengar oleh rungu Jemian. Pria itu tengah berdiri di depan unit yang penuh dengan kesibukan itu, berlalu lalang orang keluar-masuk dari unit tersebut hingga menghambat langkah Jemian yang hendak menuju pada unit-nya.

“Buset, ini gua kapan lewatnya kalo gini terus.” Keluh pria itu dalam batinnya, sebab tiap Jemian hendak melangkah, tiap itu jua satu orang lewat, entah itu keluar atau masuk.

Jemian menarik napasnya dalam, masih berusaha sabar akan situasi ini. Namun lagaknya usahanya itu tak begitu membuahkan hasil, Jemian kehilangan kesabarannya, hari ini situasi di kelasnya cukup melelahkan hingga pria itu ingin sekali buru-buru pulang dan tidur, namun tertahan sebab lalu lalang-nya orang-orang ini.

“MAS MISI MAS, SAYA MAU LEWAT.” Jemian jadi berteriak, ah masa bodoh lah, pikirnya. Sedari tadi pria itu sudah berusaha untuk tenang dan tidak meluap-luap seperti ini, namun malah berujung gagal.

Karena teriakan Jemian tadi, sontak semua kesibukan di area itu terhenti, terganti dengan tatapan heran dan terkejut orang-orang yang sedari tadi kesana-kemari.

Jemian lantas kikuk ditempat, sungguh bukan maksud dirinya untuk menjadi pria yang terlihat gila sebab tiba-tiba berteriak dan marah seperti tadi.

Jemian beradu pandang dengan salah satu pria pekerja yang tengah mendorong masuk rak sepatu. “Hehe” Tiba-tiba saja Jemian melempar cengiran bodoh yang membuat pria pekerja itu saling melempar tatap dengan temannya yang membantu mendorong rak sepatu.

Situasinya benar-benar awkward sekali, bahkan Jemian jadi tak berani melangkah lewat, padahal alasannya berteriak seperti tadi adalah agar pria itu bisa lewat.

Lalu seorang gadis muncul dari pintu unit yang terbuka. “Ada apa mas? kok pada diem kayak gini?” Tanya si gadis pada pria pekerja yang berada di depan Jemian.

Sambil memberikan isyarat lewat mata yang menunjuk kearah Jemian, pria pekerja itu berkata memberikan penjelasannya. “Gatahu mbak, tiba-tiba mas itu teriak marah-marah, jadi saya reflek berhenti.”

Mendengar penjelasan tersebut, gadis itupun menoleh dan berbalik badan.

DEG!

Jantung Jemian seakan berhenti berdetak, waktu disekitarnya-pun seakan berhenti.

Itu dia! Gadis yang ada di kameranya. Gadis asing dengan senyuman paling memikat yang pernah Jemian lihat.

“Ada apa ya mas? Kenapa tiba-tiba marah-marah?”

Jemian reflek tersenyum sumringah, matanya yang tadi mengantuk kini berbinar cerah.

“Dude! I found her.”



Gaduh dan ramai. Dua kata itu tepat sekali untuk menggambarkan suasana di unit sebelah apartemen Jemian.

“Mbak, ini sofa jadi ditaruh sini?”

“Jadi, mas.”

“Mbak, ini TV penempatannya udah oke belum?”

“Kurang miring ke sini, mas.”

“Mbak, tadi katanya minta angkatin rak sepatu, rak nya dimana ya?”

“Oh iya, masih ada di pick up mas.”

Suara-suara saling bersahutan antara para pekerja pria dan seorang gadis terdengar oleh rungu Jemian. Pria itu tengah berdiri di depan unit yang penuh dengan kesibukan itu, berlalu lalang orang keluar-masuk dari unit tersebut hingga menghambat langkah Jemian yang hendak menuju pada unit-nya.

“Buset, ini gua kapan lewatnya kalo gini terus.” Keluh pria itu dalam batinnya, sebah tiap Jemian hendak melangkah, tiap itu jua satu lewat, entah itu keluar atau masuk.

Jemian menarik napasnya dalam, masih berusaha sabar akan situasi ini. Namun lagaknya usahanya itu tak begitu membuahkan hasil, Jemian kehilangan kesabarannya, hari ini situasi di kelasnya cukup melelahkan hingga pria itu ingin sekali buru-buru pulang dan tidur, namun tertahan sebab lalu lalang-nya orang-orang ini.

“MAS MISI MAS, SAYA MAU LEWAT.” Jemian jadi berteriak, ah masa bodoh lah, pikirnya. Sedari tadi pria itu sudah berusaha untuk tenang dan tidak meluap-luap seperti ini, namun malah berujung gagal.

Karena teriakan Jemian tadi, sontak semua kesibukan di area itu terhenti, terganti dengan tatapan heran dan terkejut orang-orang yang sedari tadi kesana-kemari.

Jemian lantas kikuk ditempat, sungguh bukan maksud dirinya untuk menjadi pria yang terlihat gila sebab tiba-tiba berteriak dan marah seperti tadi.

Jemian beradu pandang dengan salah satu pria pekerja yang tengah mendorong masuk rak sepatu. “Hehe” Tiba-tiba saja Jemian melempar cengiran bodoh yang membuat pria pekerja itu saling melempar tatap dengan temannya yang membantu mendorong rak sepatu.

Situasinya benar-benar awkward sekali, bahkan Jemian jadi tak berani melangkah lewat, padahal alasannya berteriak seperti tadi adalah agar pria itu bisa lewat.

Lalu seorang gadis muncul dari pintu unit yang terbuka. “Ada apa mas? kok pada diem kayak gini?” Tanya si gadis pada pria pekerja yang berada di depan Jemian.

Sambil memberikan isyarat lewat mata yang menunjuk kearah Jemian, pria pekerja itu berkata memberikan penjelasannya. “Gatahu mbak, tiba-tiba mas itu teriak marah-marah, jadi saya reflek berhenti.”

Mendengar penjelasan tersebut, gadis itupun menoleh dan berbalik badan.

DEG!

Jantung Jemian seakan berhenti berdetak, waktu disekitarnya-pun seakan berhenti.

Itu dia! Gadis yang ada di kameranya. Gadis asing dengan senyuman paling memikat yang pernah Jemian lihat.

“Ada apa ya mas? Kenapa tiba-tiba marah-marah?”

Jemian reflek tersenyum sumringah, matanya yang tadi mengantuk kini berbinar cerah.

“Dude! I found her.”



Jessen berulang kali melirik arlojinya, menggigit bibir, menghentak-hentakan kaki, pasal teramat gugup dan takut kehilangan waktu dan berakhir tak bisa bertemu dengan Sharon. Meski sedikit marah dan kecewa perihal Sharon yang tak mengabari apapun padanya, Jessen kini lebih khawatir tidak bisa bertemu dengan Sharon sebelum gadis itu pergi.

Entahlah, padahal hanya Bandung, namun Jessen tahu Sharon pergi kesana untuk magang dan dirinya mungkin tak akan bisa melihat Sharon untuk beberapa bulan ke depan, makanya Jessen bergerak segera menyusul.

12.37

Sedikit lagi, tinggal jarak beberapa puluh meter lagi dirinya sampai di stasiun. Namun apalah daya, Jakarta bukanlah kota senggang. Jakarta adalah kota dimana kemacetan sudah menjadi makanan sehari-hari, seperti sekarang ini. “Anjing, pake macet segala setan! gue mau ketemu cewek gue blok! kaga pada ngerti amat dah.”

Jessen mengumpat dan memaki seraya mendial nomor Sharon berulang-ulang, berharap gadis itu mengangkat dan Jessen akan memberitahu padanya, bahwa Jessen tengah menyusul untuk setidaknya, bisa melihat gadis itu. Tidak ada jawaban, macet masih bertahan, sementara itu waktu masih terus berjalan. Jessen memutar otak, jemarinya pria itu ketuk-ketukan diatas stir mobil, matanya kemudian melirik arlojinya.

12.49

Hening beberapa saat, telinga Jessen seakan berdengung sesaat sebelum pria itu memutuskan membuka sabuk pengamannya dan keluar dari mobil untuk berlari. Benar, berlari. Pria gagah dengan kaos hitam itu membelah kemacetan di siang bolong, membuat beberapa pengemudi sempat menatap kearahnya, namun siapa peduli, Jessen harus segera sampai di stasiun demi bisa bertemu gadis yang dicintainya.

Sambil sesekali melirik pada arlojinya, Jessen terus berlari sekuat tenaga. Wajah pria itu memerah, namun senyumannya merekah saat stasiun tujuannya sudah terlihat di depan mata. “Ca, aku datang, tolong jangan berangkat dulu.” Jessen menjeda kalimatnya sebab kehabisan nafas karena berlari “Aku mau ketemu kamu.” Lanjut Jessen seraya mempercepat tempo larinya.

Jessen sampai di stasiun, namun itu bukan berarti larinya terhenti, pria itu bahkan tak memberikan jeda pada dirinya sendiri sebab masih harus mencari Sharon diantara khalayak ramai ini. Jessen berlari kesana-kemari membelah keramaian di stasiun, matanya pria itu tajamkan, dengan keyakinan penuh Jessen yakin bisa menemukan Sharon, sebab sudah merasa hafal dengan hanya bermodalkan siluet gadis itu.

Setelah beberapa saat mencari, mata Jessen berhenti pada satu titik, dimana seorang gadis tengah berdiri. Pria itu lantas tersenyum lega, kemudian segera berlari sambil berteriak memanggil Sharon.

“CACA!” Gadis itu-pun menoleh, Jessen kembali lega sebab ternyata dirinya tak salah duga. Pria itu melanjutkan larinya hingga akhirnya sampai di hadapan Sharon yang tampak sedikit terkejut dan tak menyangka akan kehadiran Jessen.

“Gabriel?” Dengan nafas yang ngos-ngosan serta wajah yang memerah sebab terik matahari, Jessen tersenyum menanggapi panggilan Sharon. “I found you, syukurlah aku masih bisa ketemu kamu.” Jessen menelan saliva-nya, pria itu kemudian berdiri dari posisi yang sebelumnya membungkuk dengan tangan menumpu di lutut.

“Kenapa gak kasih tahu aku Ca?” masih dengan nafas yang berderu cepat Jessen menanyakan hal itu. “Apa sebenci itu kamu sama aku?” Lagi, Jessen utarakan kalimatnya.

“Perjuangan aku, apa kamu bener-bener gak bisa lihat itu semua Ca?” Jessen mengelap keringat di dahinya dengan tangan, sebelum melanjutkan ucapannya. “Kamu..” Jessen menjeda “Bener-bener udah gak bisa terima aku lagi, ya?” Sharon yang diberi pertanyaan itupun diam sesaat sebelum menjawab “Aku gatahu.”

Gadis itu kemudian memandang lekat pada Jessen. “Kamu terlalu banyak bohong sama aku, sampai sekarang aku ada di titik gak tahu harus percaya atau nggak sama kamu, Gabriel.” Tutur Sharon pada Jessen, pandangan pria itu kemudian sedikit menurun. “Kamu bener. Aku udah terlalu banyak bohongin kamu, wajar kalau sekarang kamu gak percaya.”

Jessen menetralkan nafasnya beberapa saat sebelum melanjutkan, “Tapi gapapa aku kesini bukan buat itu, aku kesini karena mungkin ini terakhir kalinya aku bisa ketemu kamu sebelum kita nantinya bener-bener asing.” Jessen kini menaikan pandangannya, menatap Sharon tepat di matanya, pria itu menaikan bibirnya, tersenyum kala melihat wajah Sharon yang menurutnya begitu cantik. “Cantik, banget. Kamu itu selalu cantik.” Entah mengapa, tiba-tiba saja kalimat itu terlontar.

“Ca, aku terlambat banget ya buat perbaikin semuanya?” Sharon diam, mata gadis itu masih menatap pada Jessen yang menatap balik padanya. “I'm sorry, Ca.” Jessen melirih pelan “I'm sorry karena terlambat buat sadarin semuanya, terlambat tahu kalau aslinya, aku udah sejatuh ini sama kamu.”

Tangan Jessen tiba-tiba terulur untuk menyampirkan beberapa helai rambut Sharon ketelinganya, lalu bergerak mengusap lembut pipi Sharon, mata pria itu menatap lekat wajah Sharon, seakan betul-betul tengah mengagumi cantiknya Sharon yang mungkin nantinya tak bisa lagi Jessen kagumi.

Suara pengingat akan keberangkatan kereta terdengar. Baik Jessen maupun Sharon sempat memutus pandangan mereka untuk menengadah sebentar mengamati suasana sekitar.

“Itu kereta kamu, kan?” Tanya Jessen, mereka berdua kini kembali berpandangan. “Yaudah gih berangkat, habis ini aku pulang, tapi sebelumnya aku mau minta maaf lagi sama kamu Ca. Maaf karena udah pernah nyakitin kamu, maaf karena bahkan aku terlambat banget buat sadar akan semuanya, maaf Ca.” Jessen tersenyum pedih. Lagaknya, kisahnya dan Sharon memang benar-benar tidak bisa dilanjutkan lagi. “Kamu diem aja daritadi, bahkan sekarang udah capek dan males buat ngomong sama aku ya Ca?”

“Yaudah aku pulang, ya. Takutnya kamu muak dengerin aku ngomong terus daritadi.” Jessen menarik dalam napasnya. “Kamu sehat-sehat di Bandung, cari pacar yang ganteng di sana, yang gantengnya bisa ngalahin aku, biar aku sadar kalo nantinya selera kamu lebih bagus.” Jessen mengusap hidungnya, pria itu kemudian tersenyum begitu tulus sebelum beranjak pergi dan mengatakan “ Terakhir, sebelum nantinya aku gak bakal bisa bilang ini lagi sama kamu.”

“I love you, Ca. Believe or not it's up to you. I just wanna say it before the chapter of us is really end.” Selepas itu perlahan Jessen bergerak mundur, meninggalkan Sharon yang masih diam bergeming.

“Gabriel..” Jessen jelas langsung menghentikan langkahnya, sebab Sharon, gadis itu memanggilnya. “Kamu emang terlambat. Banget malah.” Ujar Sharon dengan suara sedikit keras sebab kini posisi mereka agak berjarak. “Tapi Gabriel, kamu pernah denger kalimat ini?” Sharon menjeda kalimatnya “Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.”

Senyum Jessen perlahan terbit kembali, “Dari tadi kamu terus yang ngomong, sekarang giliran aku, denger ini baik-baik.” Ujar Sharon, Jessen kemudian melanjutkan diamnya untuk mendengarkan kalimat Sharon.

“Perjuangin aku.” Ucap gadis itu. “Aku mau kamu lakuin semuanya buat bikin aku percaya kamu lagi. I will give you that chance, i will try to believe you again. So, maybe we can be together with a comfort feeling, tanpa beban apapun.”

Sharon menyelesaikan kalimatnya dalam satu tarikan nafas. Jessen yang melihat dan mendengar jelas jelas semua kalimat yang Sharon ucapkan tadi-pun tak bisa untuk menyembunyikan perasaan haru-nya yang begitu membuncah. Pria itu terus tersenyum pada Sharon dengan mata yang masih terlihat tak menyangka serta sedikit berkaca-kaca.

Jessen kemudian berjalan untuk kembali mendekat pada Sharon. Saat dihampiri, gadis itupun terus menatap Jessen seraya memberikan sedikit senyumannya, membuat Jessen benar-benar merasakan perasaan langka yang sebelumnya tak pernah terjamah olehnya.

“How?” Tanya Sharon saat Jessen telah sampai lagi dihadapannya. “It's sound like a good happy ending, right?”


Usai sudah perjalanan kita menyaksikan kisah mereka berdua.

Incredible Thing Gabriel, this is the chapter how they're met again. How they're as a childhood friends met again until they're end up as a lovers, ex-lover, and become a lovers again.

ㅋㅋㅋㅋ it's a little bit long way to be a lovers, right?

tertanda : sugarolaf.


Jessen berulang kali melirik arlojinya, menggigit bibir, menghentak-hentakan kaki, pasal teramat gugup dan takut kehilangan waktu dan berakhir tak bisa bertemu dengan Sharon. Meski sedikit marah dan kecewa perihal Sharon yang tak mengabari apapun padanya, Jessen kini lebih khawatir tidak bisa bertemu dengan Sharon sebelum gadis itu pergi.

Entahlah, padahal hanya Bandung, namun Jessen tahu Sharon pergi kesana untuk magang dan dirinya mungkin tak akan bisa melihat Sharon untuk beberapa bulan ke depan, makanya Jessen bergerak segera menyusul.

12.37

Sedikit lagi, tinggal jarak beberapa puluh meter lagi dirinya sampai di stasiun. Namun apalah daya, Jakarta bukanlah kota senggang. Jakarta adalah kota dimana kemacetan sudah menjadi makanan sehari-hari, seperti sekarang ini. “Anjing, pake macet segala setan! gue mau ketemu cewek gue blok! kaga pada ngerti amat dah.”

Jessen mengumpat dan memaki seraya mendial nomor Sharon berulang-ulang, berharap gadis itu mengangkat dan Jessen akan memberitahu padanya, bahwa Jessen tengah menyusul untuk setidaknya, bisa melihat gadis itu. Tidak ada jawaban, macet masih bertahan, sementara itu waktu masih terus berjalan. Jessen memutar otak, jemarinya pria itu ketuk-ketukan diatas stir mobil, matanya kemudian melirik arlojinya.

12.49

Hening beberapa saat, telinga Jessen seakan berdengung sesaat sebelum pria itu memutuskan membuka sabuk pengamannya dan keluar dari mobil untuk berlari. Benar, berlari. Pria gagah dengan kaos hitam itu membelah kemacetan di siang bolong, membuat beberapa pengemudi sempat menatap kearahnya, namun siapa peduli, Jessen harus segera sampai di stasiun demi bisa bertemu gadis yang dicintainya.

Sambil sesekali melirik pada arlojinya, Jessen terus berlari sekuat tenaga. Wajah pria itu memerah, namun senyumannya merekah saat stasiun tujuannya sudah terlihat di depan mata. “Ca, aku datang, tolong jangan berangkat dulu.” Jessen menjeda kalimatnya sebab kehabisan nafas karena berlari “Aku mau ketemu kamu.” Lanjut Jessen seraya mempercepat tempo larinya.

Jessen sampai di stasiun, namun itu bukan berarti larinya terhenti, pria itu bahkan tak memberikan jeda pada dirinya sendiri sebab masih harus mencari Sharon diantara khalayak ramai ini. Jessen berlari kesana-kemari membelah keramaian di stasiun, matanya pria itu tajamkan, dengan keyakinan penuh Jessen yakin bisa menemukan Sharon, sebab sudah merasa hafal dengan hanya bermodalkan siluet gadis itu.

Setelah beberapa saat mencari, mata Jessen berhenti pada satu titik, dimana seorang gadis tengah berdiri. Pria itu lantas tersenyum lega, kemudian segera berlari sambil berteriak memanggil Sharon.

“CACA!” Gadis itu-pun menoleh, Jessen kembali lega sebab ternyata dirinya tak salah duga. Pria itu melanjutkan larinya hingga akhirnya sampai di hadapan Sharon yang tampak sedikit terkejut dan tak menyangka akan kehadiran Jessen.

“Gabriel?” Dengan nafas yang ngos-ngosan serta wajah yang memerah sebab terik matahari, Jessen tersenyum menanggapi panggilan Sharon. “I found you, syukurlah aku masih bisa ketemu kamu.” Jessen menelan saliva-nya, pria itu kemudian berdiri dari posisi yang sebelumnya membungkuk dengan tangan menumpu di lutut.

“Kenapa gak kasih tahu aku Ca?” masih dengan nafas yang berderu cepat Jessen menanyakan hal itu. “Apa sebenci itu kamu sama aku?” Lagi, Jessen utarakan kalimatnya.

“Perjuangan aku, apa kamu bener-bener gak bisa lihat itu semua Ca?” Jessen mengelap keringat di dahinya dengan tangan, sebelum melanjutkan ucapannya. “Kamu..” Jessen menjeda “Bener-bener udah gak bisa terima aku lagi, ya?” Sharon yang diberi pertanyaan itupun diam sesaat sebelum menjawab “Aku gatahu.”

Gadis itu kemudian memandang lekat pada Jessen. “Kamu terlalu banyak bohong sama aku, sampai sekarang aku ada di titik gak tahu harus percaya atau nggak sama kamu, Gabriel.” Tutur Sharon pada Jessen, pandangan pria itu kemudian sedikit menurun. “Kamu bener. Aku udah terlalu banyak bohongin kamu, wajar kalau sekarang kamu gak percaya.”

Jessen menetralkan nafasnya beberapa saat sebelum melanjutkan, “Tapi gapapa aku kesini bukan buat itu, aku kesini karena mungkin ini terakhir kalinya aku bisa ketemu kamu sebelum kita nantinya bener-bener asing.” Jessen kini menaikan pandangannya, menatap Sharon tepat di matanya, pria itu menaikan bibirnya, tersenyum kala melihat wajah Sharon yang menurutnya begitu cantik. “Cantik, banget. Kamu itu selalu cantik.” Entah mengapa, tiba-tiba saja kalimat itu terlontar.

“Ca, aku terlambat banget ya buat perbaikin semuanya?” Sharon diam, mata gadis itu masih menatap pada Jessen yang menatap balik padanya. “I'm sorry, Ca.” Jessen melirih pelan “I'm sorry karena terlambat buat sadarin semuanya, terlambat tahu kalau aslinya, aku udah sejatuh ini sama kamu.”

Tangan Jessen tiba-tiba terulur untuk menyampirkan beberapa helai rambut Sharon ketelinganya, lalu bergerak mengusap lembut pipi Sharon, mata pria itu menatap lekat wajah Sharon, seakan betul-betul tengah mengagumi cantiknya Sharon yang mungkin nantinya tak bisa lagi Jessen kagumi.

Suara pengingat akan keberangkatan kereta terdengar. Baik Jessen maupun Sharon sempat memutus pandangan mereka untuk menengadah sebentar mengamati suasana sekitar.

“Itu kereta kamu, kan?” Tanya Jessen, mereka berdua kini kembali berpandangan. “Yaudah gih berangkat, habis ini aku pulang, tapi sebelumnya aku mau minta maaf lagi sama kamu Ca. Maaf karena udah pernah nyakitin kamu, maaf karena bahkan aku terlambat banget buat sadar akan semuanya, maaf Ca.” Jessen tersenyum pedih. Lagaknya, kisahnya dan Sharon memang benar-benar tidak bisa dilanjutkan lagi. “Kamu diem aja daritadi, bahkan sekarang udah capek dan males buat ngomong sama aku ya Ca?”

“Yaudah aku pulang, ya. Takutnya kamu muak dengerin aku ngomong terus daritadi.” Jessen menarik dalam napasnya. “Kamu sehat-sehat di Bandung, cari pacar yang ganteng di sana, yang gantengnya bisa ngalahin aku, biar aku sadar kalo nantinya selera kamu lebih bagus.” Jessen mengusap hidungnya, pria itu kemudian tersenyum begitu tulus sebelum beranjak pergi dan mengatakan “ Terakhir, sebelum nantinya aku gak bakal bisa bilang ini lagi sama kamu.”

“I love you, Ca. Believe or not it's up to you. I just wanna say it before the chapter of us is really end.” Selepas itu perlahan Jessen bergerak mundur, meninggalkan Sharon yang masih diam bergeming.

“Gabriel..” Jessen jelas langsung menghentikan langkahnya, sebab Sharon, gadis itu memanggilnya. “Kamu emang terlambat. Banget malah.” Ujar Sharon dengan suara sedikit keras sebab kini posisi mereka agak berjarak. “Tapi Gabriel, kamu pernah denger kalimat ini?” Sharon menjeda kalimatnya “Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.”

Senyum Jessen perlahan terbit kembali, “Dari tadi kamu terus yang ngomong, sekarang giliran aku, denger ini baik-baik.” Ujar Sharon, Jessen kemudian melanjutkan diamnya untuk mendengarkan kalimat Sharon.

“Perjuangin aku.” Ucap gadis itu. “Aku mau kamu lakuin semuanya buat bikin aku percaya kamu lagi. I will give you that chance, i will try to believe you again. So, maybe we can be together with a comfort feeling, tanpa beban apapun.”

Sharon menyelesaikan kalimatnya dalam satu tarikan nafas. Jessen yang melihat dan mendengar jelas jelas semua kalimat yang Sharon ucapkan tadi-pun tak bisa untuk menyembunyikan perasaan haru-nya yang begitu membuncah. Pria itu terus tersenyum pada Sharon dengan mata yang masih terlihat tak menyangka serta sedikit berkaca-kaca.

Jessen kemudian berjalan untuk kembali mendekat pada Sharon. Saat dihampiri, gadis itupun terus menatap Jessen seraya memberikan sedikit senyumannya, membuat Jessen benar-benar merasakan perasaan langka yang sebelumnya tak pernah terjamah olehnya.

“How?” Tanya Sharon saat Jessen telah sampai lagi dihadapannya. “It's sound like a good happy ending, right?”


Usai sudah perjalanan kita menyaksikan kisah mereka berdua.

Incredible Thing Gabriel, this is the chapter how they're met again. How they're as a childhood friends met again until they're end up as a lovers, ex-lover, and become a lovers again.

ㅋㅋㅋㅋ it's a little bit long way to be a lovers, right?

tertanda : sugarolaf.


Jessen berulang kali melirik arlojinya, menggigit bibir, menghentak-hentakan kaki, pasal teramat gugup dan takut kehilangan waktu dan berakhir tak bisa bertemu dengan Sharon. Meski sedikit marah dan kecewa perihal Sharon yang tak mengabari apapun padanya, Jessen kini lebih khawatir tidak bisa bertemu dengan Sharon sebelum gadis itu pergi.

Entahlah, padahal hanya Bandung, namun Jessen tahu Sharon pergi kesana untuk magang dan dirinya mungkin tak akan bisa melihat Sharon untuk beberapa bulan ke depan, makanya Jessen bergerak segera menyusul.

12.37

Sedikit lagi, tinggal jarak beberapa puluh meter lagi dirinya sampai di stasiun. Namun apalah daya, Jakarta bukanlah kota senggang. Jakarta adalah kota dimana kemacetan sudah menjadi makanan sehari-hari, seperti sekarang ini. “Anjing, pake macet segala setan! gue mau ketemu cewek gue blok! kaga pada ngerti amat dah.”

Jessen mengumpat dan memaki seraya mendial nomor Sharon berulang-ulang, berharap gadis itu mengangkat dan Jessen akan memberitahu padanya, bahwa Jessen tengah menyusul untuk setidaknya, bisa melihat gadis itu. Tidak ada jawaban, macet masih bertahan, sementara itu waktu masih terus berjalan. Jessen memutar otak, jemarinya pria itu ketuk-ketukan diatas stir mobil, matanya kemudian melirik arlojinya.

12.49 Hening beberapa saat, telinga Jessen seakan berdengung sesaat sebelum pria itu memutuskan membuka sabuk pengamannya dan keluar dari mobil untuk berlari. Benar, berlari. Pria gagah dengan kaos hitam itu membelah kemacetan di siang bolong, membuat beberapa pengemudi sempat menatap kearahnya, namun siapa peduli, Jessen harus segera sampai di stasiun demi bisa bertemu gadis yang dicintainya.

Sambil sesekali melirik pada arlojinya, Jessen terus berlari sekuat tenaga. Wajah pria itu memerah, namun senyumannya merekah saat stasiun tujuannya sudah terlihat di depan mata. “Ca, aku datang, tolong jangan berangkat dulu.” Jessen menjeda kalimatnya sebab kehabisan nafas karena berlari “Aku mau ketemu kamu.” Lanjut Jessen seraya mempercepat tempo larinya.

Jessen sampai di stasiun, namun itu bukan berarti larinya terhenti, pria itu bahkan tak memberikan jeda pada dirinya sendiri sebab masih harus mencari Sharon diantara khalayak ramai ini. Jessen berlari kesana-kemari membelah keramaian di stasiun, matanya pria itu tajamkan, dengan keyakinan penuh Jessen yakin bisa menemukan Sharon, sebab sudah merasa hafal dengan hanya bermodalkan siluet gadis itu.

Setelah beberapa saat mencari, mata Jessen berhenti pada satu titik, dimana seorang gadis tengah berdiri. Pria itu lantas tersenyum lega, kemudian segera berlari sambil berteriak memanggil Sharon.

“CACA!” Gadis itu-pun menoleh, Jessen kembali lega sebab ternyata dirinya tak salah duga. Pria itu melanjutkan larinya hingga akhirnya sampai di hadapan Sharon yang tampak sedikit terkejut dan tak menyangka akan kehadiran Jessen.

“Gabriel?” Dengan nafas yang ngos-ngosan serta wajah yang memerah sebab terik matahari, Jessen tersenyum menanggapi panggilan Sharon. “I found you, syukurlah aku masih bisa ketemu kamu.” Jessen menelan saliva-nya, pria itu kemudian berdiri dari posisi yang sebelumnya membungkuk dengan tangan menumpu di lutut.

“Kenapa gak kasih tahu aku Ca?” masih dengan nafas yang berderu cepat Jessen menanyakan hal itu. “Apa sebenci itu kamu sama aku?” Lagi, Jessen utarakan kalimatnya.

“Perjuangan aku, apa kamu bener-bener gak bisa lihat itu semua Ca?” Jessen mengelap keringat di dahinya dengan tangan, sebelum melanjutkan ucapannya. “Kamu..” Jessen menjeda “Bener-bener udah gak bisa terima aku lagi, ya?” Sharon yang diberi pertanyaan itupun diam sesaat sebelum menjawab “Aku gatahu.”

Gadis itu kemudian memandang lekat pada Jessen. “Kamu terlalu banyak bohong sama aku, sampai sekarang aku ada di titik gak tahu harus percaya atau nggak sama kamu, Gabriel.” Tutur Sharon pada Jessen, pandangan pria itu kemudian sedikit menurun. “Kamu bener. Aku udah terlalu banyak bohongin kamu, wajar kalau sekarang kamu gak percaya.”

Jessen menetralkan nafasnya beberapa saat sebelum melanjutkan, “Tapi gapapa aku kesini bukan buat itu, aku kesini karena mungkin ini terakhir kalinya aku bisa ketemu kamu sebelum kita nantinya bener-bener asing.” Jessen kini menaikan pandangannya, menatap Sharon tepat di matanya, pria itu menaikan bibirnya, tersenyum kala melihat wajah Sharon yang menurutnya begitu cantik. “Cantik, banget. Kamu itu selalu cantik.” Entah mengapa, tiba-tiba saja kalimat itu terlontar.

“Ca, aku terlambat banget ya buat perbaikin semuanya?” Sharon diam, mata gadis itu masih menatap pada Jessen yang menatap balik padanya. “I'm sorry, Ca.” Jessen melirih pelan “I'm sorry karena terlambat buat sadarin semuanya, terlambat tahu kalau aslinya, aku udah sejatuh ini sama kamu.”

Tangan Jessen tiba-tiba terulur untuk menyampirkan beberapa helai rambut Sharon ketelinganya, lalu bergerak mengusap lembut pipi Sharon, mata pria itu menatap lekat wajah Sharon, seakan betul-betul tengah mengagumi cantiknya Sharon yang mungkin nantinya tak bisa lagi Jessen kagumi.

Suara pengingat akan keberangkatan kereta terdengar. Baik Jessen maupun Sharon sempat memutus pandangan mereka untuk menengadah sebentar mengamati suasana sekitar.

“Itu kereta kamu, kan?” Tanya Jessen, mereka berdua kini kembali berpandangan. “Yaudah gih berangkat, habis ini aku pulang, tapi sebelumnya aku mau minta maaf lagi sama kamu Ca. Maaf karena udah pernah nyakitin kamu, maaf karena bahkan aku terlambat banget buat sadar akan semuanya, maaf Ca.” Jessen tersenyum pedih. Lagaknya, kisahnya dan Sharon memang benar-benar tidak bisa dilanjutkan lagi. “Kamu diem aja daritadi, bahkan sekarang udah capek dan males buat ngomong sama aku ya Ca?”

“Yaudah aku pulang, ya. Takutnya kamu muak dengerin aku ngomong terus daritadi.” Jessen menarik dalam napasnya. “Kamu sehat-sehat di Bandung, cari pacar yang ganteng di sana, yang gantengnya bisa ngalahin aku, biar aku sadar kalo nantinya selera kamu lebih bagus.” Jessen mengusap hidungnya, pria itu kemudian tersenyum begitu tulus sebelum beranjak pergi dan mengatakan “ Terakhir, sebelum nantinya aku gak bakal bisa bilang ini lagi sama kamu.”

“I love you, Ca. Believe or not it's up to you. I just wanna say it before the chapter of us is really end.” Selepas itu perlahan Jessen bergerak mundur, meninggalkan Sharon yang masih diam bergeming.

“Gabriel..” Jessen jelas langsung menghentikan langkahnya, sebab Sharon, gadis itu memanggilnya. “Kamu emang terlambat. Banget malah.” Ujar Sharon dengan suara sedikit keras sebab kini posisi mereka agak berjarak. “Tapi Gabriel, kamu pernah denger kalimat ini?” Sharon menjeda kalimatnya “Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.”

Senyum Jessen perlahan terbit kembali, “Dari tadi kamu terus yang ngomong, sekarang giliran aku, denger ini baik-baik.” Ujar Sharon, Jessen kemudian melanjutkan diamnya untuk mendengarkan kalimat Sharon.

“Perjuangin aku.” Ucap gadis itu. “Aku mau kamu lakuin semuanya buat bikin aku percaya kamu lagi. I will give you that chance, i will try to believe you again. So, maybe we can be together with a comfort feeling, tanpa beban apapun.”

Sharon menyelesaikan kalimatnya dalam satu tarikan nafas. Jessen yang melihat dan mendengar jelas jelas semua kalimat yang Sharon ucapkan tadi-pun tak bisa untuk menyembunyikan perasaan haru-nya yang begitu membuncah. Pria itu terus tersenyum pada Sharon dengan mata yang masih terlihat tak menyangka serta sedikit berkaca-kaca.

Jessen kemudian berjalan untuk kembali mendekat pada Sharon. Saat dihampiri, gadis itupun terus menatap Jessen seraya memberikan sedikit senyumannya, membuat Jessen benar-benar merasakan perasaan langka yang sebelumnya tak pernah terjamah olehnya.

“How?” Tanya Sharon saat Jessen telah sampai lagi dihadapannya. “It's sound like a good happy ending, right?”


Usai sudah perjalanan kita menyaksikan kisah mereka berdua.

Incredible Thing Gabriel, this is the chapter how they're met again. How they're as a childhood friends met again until they're end up as a lovers, ex-lover, and become a lovers again.

ㅋㅋㅋㅋ it's a little bit long way to be a lovers, right?

tertanda : sugarolaf.

Jessen berulang kali melirik arlojinya, menggigit bibir, menghentak-hentakan kaki, pasal teramat gugup dan takut kehilangan waktu dan berakhir tak bisa bertemu dengan Sharon. Meski sedikit marah dan kecewa perihal Sharon yang tak mengabari apapun padanya, Jessen kini lebih khawatir tidak bisa bertemu dengan Sharon sebelum gadis itu pergi. Entahlah, padahal hanya Bandung, namun Jessen tahu Sharon pergi kesana untuk magang dan dirinya mungkin tak akan bisa melihat Sharon untuk beberapa bulan ke depan, makanya Jessen bergerak segera menyusul.

12.37

Sedikit lagi, tinggal jarak beberapa puluh meter lagi dirinya sampai di stasiun. Namun apalah daya, Jakarta bukanlah kota senggang. Jakarta adalah kota dimana kemacetan sudah menjadi makanan sehari-hari, seperti sekarang ini. “Anjing, pake macet segala setan! gue mau ketemu cewek gue blok! kaga pada ngerti amat dah.”

Jessen mengumpat dan memaki seraya mendial nomor Sharon berulang-ulang, berharap gadis itu mengangkat dan Jessen akan memberitahu padanya, bahwa Jessen tengah menyusul untuk setidaknya, bisa melihat gadis itu. Tidak ada jawaban, macet masih bertahan, sementara itu waktu masih terus berjalan. Jessen memutar otak, jemarinya pria itu ketuk-ketukan diatas stir mobil, matanya kemudian melirik arlojinya.

12.49 Hening beberapa saat, telinga Jessen seakan berdengung sesaat sebelum pria itu memutuskan membuka sabuk pengamannya dan keluar dari mobil untuk berlari. Benar, berlari. Pria gagah dengan kaos hitam itu membelah kemacetan di siang bolong, membuat beberapa pengemudi sempat menatap kearahnya, namun siapa peduli, Jessen harus segera sampai di stasiun demi bisa bertemu gadis yang dicintainya.

Sambil sesekali melirik pada arlojinya, Jessen terus berlari sekuat tenaga. Wajah pria itu memerah, namun senyumannya merekah saat stasiun tujuannya sudah terlihat di depan mata. “Ca, aku datang, tolong jangan berangkat dulu.” Jessen menjeda kalimatnya sebab kehabisan nafas karena berlari “Aku mau ketemu kamu.” Lanjut Jessen seraya mempercepat tempo larinya.

Jessen sampai di stasiun, namun itu bukan berarti larinya terhenti, pria itu bahkan tak memberikan jeda pada dirinya sendiri sebab masih harus mencari Sharon diantara khalayak ramai ini. Jessen berlari kesana-kemari membelah keramaian di stasiun, matanya pria itu tajamkan, dengan keyakinan penuh Jessen yakin bisa menemukan Sharon, sebab sudah merasa hafal dengan hanya