sugarloaf


Content Warning ❗ Mention Of a Neck Kiss.

“Udah sadar dia Shaa, kalo dia bego.”

Tadi, Randy berujar demikian padanya, setelah menceritakan gambaran besar mengapa Jessen, pria yang kini tengah tertidur pulas di atas sofa itu meminum begitu banyak beer dan berakhir membuat keributan seperti tadi.

Sharon memandangi Jessen sambil berdiri, Randy tadi sudah pamit pulang terlebih dahulu, pria itu bilang sangat lelah setelah menghadapi perilaku ekstrem Jessen dan memilih segera pulang untuk beristirahat.

“Mampus.” Entah mengapa dan cenderung tiba-tiba sekali, Sharon mengatai Jessen. Gadis itu kemudian melirik pada jam tangannya. Seketika bola mata Sharon membesar, oh tidak! ini sudah lewat dari jam 12 malam.

“Duh! kenapa bisa gak inget waktu gini sih!” Sharon-pun menggerutu, ternyata mengatasi Jessen dengan tingkah laku seperti tadi benar-benar membuang waktu dan energi.

“Pesen taksi online jam segini aman gak ya?” Sambil menggigit bibir bawahnya, Sharon berpikir keras.

“Jangan.” Sharon berjengit kaget setengah mati. Gadis itu kemudian menatap pada Jessen yang tiba-tiba bangun dan terduduk. “Udah malem, bahaya sayang.” Jessen mengusap pelan wajahnya. “Bobok disini aja, sama aku.” Pria itu menatap pada Sharon yang masih di posisi bingung memikirkan pria ini sudah sadar atau belum. Namun melihat gelagatnya, sepertinya Jessen masih mabuk, sebab pria itu bertingkah seakan-akan mereka itu masih sepasang kekasih.

“Kamu aja yang tidur, gih.” Sharon berniat mendorong pelan bahu Jessen agar pria itu kembali tidur, namun siapa sangka, Jessen malah meraih tangan Sharon. Pria itu lantas berdiri, tangan Sharon yang tadi diraihnya, kini Jessen tarik hingga Sharon berakhir dipelukan Jessen.

“I miss you..” Jessen peluk erat-erat tubuh mungil Sharon, wajah pria itu bahkan kini berada diantara bahu dan ceruk leher Sharon, mendusel dan mengendus pelan di area sana, membuat Sharon sedikit khawatir akan situasi ini.

“Gabriel..” Sharon memanggil, niatnya memperingati sebab gadis itu merasakan sebuah kecupan di lehernya. Sharon-pun mendorong pelan tubuh Jessen, membuat pelukan mereka akhirnya merenggang, namun tak sepenuhnya terlepas, sebab kedua lengan Jessen masih melingkar di pinggang Sharon.

“Kamu masih mabuk, tidur lagi aja.” Sharon berniat lepas dari lingkaran tangan Jessen, namun Jessen menahan pergerakan Sharon, mau tak mau gadis itu kini menatap Jessen. “Kita udah putus, ya?” Sharon sedikit kaget mendengarnya, pasalnya gadis itu mengira tadi pria itu masih belum sadar hingga melupakan status mereka yang kini bukanlah sepasang kekasih lagi. “Aku baru inget.” Jelas Jessen, kini Sharon mengangguk paham, lagaknya tingkah Sharon perlahan membuat pria itu sadar dan mulai mengingat situasi nyatanya.

“But i miss you..” Lagi, Jessen tarik pinggang Sharon agar pria itu bisa kembali memeluknya. “Ca, i miss you, really really miss you..” Jessen meracau sembari mengeratkan pelukannya, setelahnya pria itu menempatkan dagunya diatas bahu Sharon. “Aku bodoh.” Lirih Jessen pelan, Sharon diam tak bergeming. “Aku bodoh udah lebih pilih dia dari pada kamu, Ca..” Jessen menarik napasnya yang terasa sedikit sesak.

“Ca..” panggil Jessen pelan. “Kalau aku mau kembali sama kamu, aku gatahu diri, ya?” Jessen menunduk dalam pelukan mereka, menempelkan dahinya di bahu Sharon. “Ca, if i ask u about a chance, do you event want to talk it?”

Hening, tak ada jawaban. Mengetahui akan hal itu Jessen mengeratkan lagi pelukannya, Jessen takut pelukannya akan dilepas secara sepihak.

“You're drunk, go to sleep.” Setelah beberapa saat, hanya itu respon yang Sharon berikan.



Content Warning ❗ Mention of a neck kiss.

“Udah sadar dia Shaa, kalo dia bego.”

Tadi, Randy berujar demikian padanya, setelah menceritakan gambaran besar mengapa Jessen, pria yang kini tengah tertidur pulas di atas sofa itu meminum begitu banyak beer dan berakhir membuat keributan seperti tadi.

Sharon memandangi Jessen sambil berdiri, Randy tadi sudah pamit pulang terlebih dahulu, pria itu bilang sangat lelah setelah menghadapi perilaku ekstrem Jessen dan memilih segera pulang untuk beristirahat.

“Mampus.” Entah mengapa dan cenderung tiba-tiba sekali, Sharon mengatai Jessen. Gadis itu kemudian melirik pada jam tangannya. Seketika bola mata Sharon membesar, oh tidak! ini sudah lewat dari jam 12 malam.

“Duh! kenapa bisa gak inget waktu gini sih!” Sharon-pun menggerutu, ternyata mengatasi Jessen dengan tingkah laku seperti tadi benar-benar membuang waktu dan energi.

“Pesen taksi online jam segini aman gak ya?” Sambil menggigit bibir bawahnya, Sharon berpikir keras.

“Jangan.” Sharon berjengit kaget setengah mati. Gadis itu kemudian menatap pada Jessen yang tiba-tiba bangun dan terduduk. “Udah malem, bahaya sayang.” Jessen mengusap pelan wajahnya. “Bobok disini aja, sama aku.” Pria itu menatap pada Sharon yang masih di posisi bingung memikirkan pria ini sudah sadar atau belum. Namun melihat gelagatnya, sepertinya Jessen masih mabuk, sebab pria itu bertingkah seakan-akan mereka itu masih sepasang kekasih.

“Kamu aja yang tidur, gih.” Sharon berniat mendorong pelan bahu Jessen agar pria itu kembali tidur, namun siapa sangka, Jessen malah meraih tangan Sharon. Pria itu lantas berdiri, tangan Sharon yang tadi diraihnya, kini Jessen tarik hingga Sharon berakhir dipelukan Jessen.

“I miss you..” Jessen peluk erat-erat tubuh mungil Sharon, wajah pria itu bahkan kini berada diantara bahu dan ceruk leher Sharon, mendusel dan mengendus pelan di area sana, membuat Sharon sedikit khawatir akan situasi ini.

“Gabriel..” Sharon memanggil, niatnya memperingati sebab gadis itu merasakan sebuah kecupan di lehernya. Sharon-pun mendorong pelan tubuh Jessen, membuat pelukan mereka akhirnya merenggang, namun tak sepenuhnya terlepas, sebab kedua lengan Jessen masih melingkar di pinggang Sharon.

“Kamu masih mabuk, tidur lagi aja.” Sharon berniat lepas dari lingkaran tangan Jessen, namun Jessen menahan pergerakan Sharon, mau tak mau gadis itu kini menatap Jessen. “Kita udah putus, ya?” Sharon sedikit kaget mendengarnya, pasalnya gadis itu mengira tadi pria itu masih belum sadar hingga melupakan status mereka yang kini bukanlah sepasang kekasih lagi. “Aku baru inget.” Jelas Jessen, kini Sharon mengangguk paham, lagaknya tingkah Sharon perlahan membuat pria itu sadar dan mulai mengingat situasi nyatanya.

“But i miss you..” Lagi, Jessen tarik pinggang Sharon agar pria itu bisa kembali memeluknya. “Ca, i miss you, really really miss you..” Jessen meracau sembari mengeratkan pelukannya, setelahnya pria itu menempatkan dagunya diatas bahu Sharon. “Aku bodoh.” Lirih Jessen pelan, Sharon diam tak bergeming. “Aku bodoh udah lebih pilih dia dari pada kamu, Ca..” Jessen menarik napasnya yang terasa sedikit sesak.

“Ca..” panggil Jessen pelan. “Kalau aku mau kembali sama kamu, aku gatahu diri, ya?” Jessen menunduk dalam pelukan mereka, menempelkan dahinya di bahu Sharon. “Ca, if i ask u about a chance, do you event want to talk it?”

Hening, tak ada jawaban. Mengetahui akan hal itu Jessen mengeratkan lagi pelukannya, Jessen takut pelukannya akan dilepas secara sepihak.

“You're drunk, go to sleep.” Setelah beberapa saat, hanya itu respon yang Sharon berikan.



“Udah sadar dia Shaa, kalo dia bego.”

Tadi, Randy berujar demikian padanya, setelah menceritakan gambaran besar mengapa Jessen, pria yang kini tengah tertidur pulas di atas sofa itu meminum begitu banyak beer dan berakhir membuat keributan seperti tadi.

Sharon memandangi Jessen sambil berdiri, Randy tadi sudah pamit pulang terlebih dahulu, pria itu bilang sangat lelah setelah menghadapi perilaku ekstrem Jessen dan memilih segera pulang untuk beristirahat.

“Mampus.” Entah mengapa dan cenderung tiba-tiba sekali, Sharon mengatai Jessen. Gadis itu kemudian melirik pada jam tangannya. Seketika bola mata Sharon membesar, oh tidak! ini sudah lewat dari jam 12 malam.

“Duh! kenapa bisa gak inget waktu gini sih!” Sharon-pun menggerutu, ternyata mengatasi Jessen dengan tingkah laku seperti tadi benar-benar membuang waktu dan energi.

“Pesen taksi online jam segini aman gak ya?” Sambil menggigit bibir bawahnya, Sharon berpikir keras.

“Jangan.” Sharon berjengit kaget setengah mati. Gadis itu kemudian menatap pada Jessen yang tiba-tiba bangun dan terduduk. “Udah malem, bahaya sayang.” Jessen mengusap pelan wajahnya. “Bobok disini aja, sama aku.” Pria itu menatap pada Sharon yang masih di posisi bingung memikirkan pria ini sudah sadar atau belum. Namun melihat gelagatnya, sepertinya Jessen masih mabuk, sebab pria itu bertingkah seakan-akan mereka itu masih sepasang kekasih.

“Kamu aja yang tidur, gih.” Sharon berniat mendorong pelan bahu Jessen agar pria itu kembali tidur, namun siapa sangka, Jessen malah meraih tangan Sharon. Pria itu lantas berdiri, tangan Sharon yang tadi diraihnya, kini Jessen tarik hingga Sharon berakhir dipelukan Jessen.

“I miss you..” Jessen peluk erat-erat tubuh mungil Sharon, wajah pria itu bahkan kini berada diantara bahu dan ceruk leher Sharon, mendusel dan mengendus pelan di area sana, membuat Sharon sedikit khawatir akan situasi ini.

“Gabriel..” Sharon memanggil, niatnya memperingati sebab gadis itu merasakan sebuah kecupan di lehernya. Sharon-pun mendorong pelan tubuh Jessen, membuat pelukan mereka akhirnya merenggang, namun tak sepenuhnya terlepas, sebab kedua lengan Jessen masih melingkar di pinggang Sharon.

“Kamu masih mabuk, tidur lagi aja.” Sharon berniat lepas dari lingkaran tangan Jessen, namun Jessen menahan pergerakan Sharon, mau tak mau gadis itu kini menatap Jessen. “Kita udah putus, ya?” Sharon sedikit kaget mendengarnya, pasalnya gadis itu mengira tadi pria itu masih belum sadar hingga melupakan status mereka yang kini bukanlah sepasang kekasih lagi. “Aku baru inget.” Jelas Jessen, kini Sharon mengangguk paham, lagaknya tingkah Sharon perlahan membuat pria itu sadar dan mulai mengingat situasi nyatanya.

“But i miss you..” Lagi, Jessen tarik pinggang Sharon agar pria itu bisa kembali memeluknya. “Ca, i miss you, really really miss you..” Jessen meracau sembari mengeratkan pelukannya, setelahnya pria itu menempatkan dagunya diatas bahu Sharon. “Aku bodoh.” Lirih Jessen pelan, Sharon diam tak bergeming. “Aku bodoh udah lebih pilih dia dari pada kamu, Ca..” Jessen menarik napasnya yang terasa sedikit sesak.

“Ca..” panggil Jessen pelan. “Kalau aku mau kembali sama kamu, aku gatahu diri, ya?” Jessen menunduk dalam pelukan mereka, menempelkan dahinya di bahu Sharon. “Ca, if i ask u about a chance, do you event want to talk it?”

Hening, tak ada jawaban. Mengetahui akan hal itu Jessen mengeratkan lagi pelukannya, Jessen takut pelukannya akan dilepas secara sepihak.

“You're drunk, go to sleep.” Setelah beberapa saat, hanya itu respon yang Sharon berikan.



“Udah sadar dia Shaa, kalo dia bego.”

Tadi, Randy berujar demikian padanya, setelah menceritakan gambaran besar mengapa Jessen, pria yang kini tengah tertidur pulas di atas sofa itu meminum begitu banyak beer dan berakhir membuat keributan seperti tadi.

Sharon memandangi Jessen sambil berdiri, Randy tadi sudah pamit pulang terlebih dahulu, pria itu bilang sangat lelah setelah menghadapi perilaku ekstrem Jessen dan memilih segera pulang untuk beristirahat.

“Mampus.” Entah mengapa dan cenderung tiba-tiba sekali, Sharon mengatai Jessen. Gadis itu kemudian melirik pada jam tangannya. Seketika bola mata Sharon membesar, oh tidak! ini sudah lewat dari jam 12 malam.

“Duh! kenapa bisa gak inget waktu gini sih!” Sharon-pun menggerutu, ternyata mengatasi Jessen dengan tingkah laku seperti tadi benar-benar membuang waktu dan energi.

“Pesen taksi online jam segini aman gak ya?” Sambil menggigit bibir bawahnya, Sharon berpikir keras.

“Jangan.” Sharon berjengit kaget setengah mati. Gadis itu kemudian menatap pada Jessen yang tiba-tiba bangun dan terduduk. “Udah malem, bahaya sayang.” Jessen mengusap pelan wajahnya. “Bobok disini aja, sama aku.” Pria itu menatap pada Sharon yang masih di posisi bingung memikirkan pria ini sudah sadar atau belum. Namun melihat gelagatnya, sepertinya Jessen masih mabuk, sebab pria itu bertingkah seakan-akan mereka itu masih sepasang kekasih.

“Kamu aja yang tidur, gih.” Sharon berniat mendorong pelan bahu Jessen agar pria itu kembali tidur, namun siapa sangka, Jessen malah meraih tangan Sharon. Pria itu lantas berdiri, tangan Sharon yang tadi diraihnya, kini Jessen tarik hingga Sharon berakhir dipelukan Jessen.

“I miss you..” Jessen peluk erat-erat tubuh mungil Sharon, wajah pria itu bahkan kini berada diantara bahu dan ceruk leher Sharon, mendusel dan mengendus pelan di area sana, membuat Sharon sedikit khawatir akan situasi ini.

“Gabriel..” Sharon memanggil, niatnya memperingati sebab gadis itu merasakan sebuah kecupan di lehernya. Sharon-pun mendorong pelan tubuh Jessen, membuat pelukan mereka akhirnya merenggang, namun tak sepenuhnya terlepas, sebab kedua lengan Jessen masih melingkar di pinggang Sharon.

“Kamu masih mabuk, tidur lagi aja.” Sharon berniat lepas dari lingkaran tangan Jessen, namun Jessen menahan pergerakan Sharon, mau tak mau gadis itu kini menatap Jessen. “Kita udah putus, ya?” Sharon sedikit kaget mendengarnya, pasalnya gadis itu mengira tadi pria itu masih belum sadar hingga melupakan status mereka yang kini bukanlah sepasang kekasih lagi. “Aku baru inget.” Jelas Jessen, kini Sharon mengangguk paham, lagaknya tingkah Sharon perlahan membuat pria itu sadar dan mulai mengingat situasi nyatanya.

“But i miss you..” Lagi, Jessen tarik pinggang Sharon agar pria itu bisa kembali memeluknya. “Ca, i miss you, really really miss you..” Jessen meracau sembari mengeratkan pelukannya, setelahnya pria itu menempatkan dagunya diatas bahu Sharon. “Aku bodoh.” Lirih Jessen pelan, Sharon diam tak bergeming. “Aku bodoh udah lebih pilih dia dari pada kamu, Ca..” Jessen menarik napasnya yang terasa sedikit sesak.

“Ca..” panggil Jessen pelan. “Kalau aku mau kembali sama kamu, aku gatahu diri, ya?” Jessen menunduk dalam pelukan mereka, menempelkan dahinya di bahu Sharon. “Ca, if i ask u about a chance, do you event want to talk it?”

Hening, tak ada jawaban. Mengetahui akan hal itu Jessen mengeratkan lagi pelukannya, Jessen takut pelukannya akan dilepas secara sepihak.

“You're drunk, go to sleep.” Hanya itu respon yang Sharon berikan.



“Udah sadar dia Shaa, kalo dia bego.”

Tadi, Randy berujar demikian padanya, setelah menceritakan gambaran besar mengapa Jessen, pria yang kini tengah tertidur pulas di atas sofa itu meminum begitu banyak beer dan berakhir membuat keributan seperti tadi.

Sharon memandangi Jessen sambil berdiri, Randy tadi sudah pamit pulang terlebih dahulu, pria itu bilang sangat lelah setelah menghadapi perilaku ekstrem Jessen dan memilih segera pulang untuk beristirahat.

“Mampus.” Entah mengapa dan cenderung tiba-tiba sekali, Sharon mengatai Jessen. Gadis itu kemudian melirik pada jam tangannya. Seketika bola mata Sharon membesar, oh tidak! ini sudah lewat dari jam 12 malam.

“Duh! kenapa bisa gak inget waktu gini sih!” Sharon-pun menggerutu, ternyata mengatasi Jessen dengan tingkah laku seperti tadi benar-benar membuang waktu dan energi.

“Pesen taksi online jam segini aman gak ya?” Sambil menggigit bibir bawahnya, Sharon berpikir keras.

“Jangan.” Sharon berjengit kaget setengah mati. Gadis itu kemudian menatap pada Jessen yang tiba-tiba bangun dan terduduk. “Udah malem, bahaya sayang.” Jessen mengusap pelan wajahnya. “Bobok disini aja, sama aku.” Pria itu menatap pada Sharon yang masih di posisi bingung memikirkan pria ini sudah sadar atau belum. Namun melihat gelagatnya, sepertinya Jessen masih mabuk, sebab pria itu bertingkah seakan-akan mereka itu masih sepasang kekasih.

“Kamu aja yang tidur, gih.” Sharon berniat mendorong pelan bahu Jessen agar pria itu kembali tidur, namun siapa sangka, Jessen malah meraih tangan Sharon. Pria itu lantas berdiri, tangan Sharon yang tadi diraihnya, kini Jessen tarik hingga Sharon berakhir dipelukan Jessen.

“I miss you..” Jessen peluk erat-erat tubuh mungil Sharon, wajah pria itu bahkan kini berada diantara bahu dan ceruk leher Sharon, mendusel dan mengendus pelan di area sana, membuat Sharon sedikit khawatir akan situasi ini.

“Gabriel..” Sharon memanggil, niatnya memperingati sebab gadis itu merasakan sebuah kecupan di lehernya. Sharon-pun mendorong pelan tubuh Jessen, membuat pelukan mereka akhirnya merenggang, namun tak sepenuhnya terlepas, sebab kedua lengan Jessen masih melingkar di pinggang Sharon.

“Kamu masih mabuk, tidur lagi aja.” Sharon berniat lepas dari lingkaran tangan Jessen, namun Jessen menahan pergerakan Sharon, mau tak mau gadis itu kini menatap Jessen. “Kita udah putus, ya?” Sharon sedikit kaget mendengarnya, pasalnya gadis itu mengira tadi pria itu masih belum sadar hingga melupakan status mereka yang kini bukanlah sepasang kekasih lagi. “Aku baru inget.” Jelas Jessen, kini Sharon mengangguk paham, lagaknya tingkah Sharon perlahan membuat pria itu sadar dan mulai mengingat situasi nyatanya.

“But i miss you..” Lagi, Jessen tarik pinggang Sharon agar pria itu bisa kembali memeluknya. “Ca, i miss you..” Jessen meracau sembari mengeratkan pelukannya, setelahnya pria itu menempatkan dagunya diatas bahu Sharon. “Aku bodoh.” Lirih Jessen pelan, Sharon diam tak bergeming. “Aku bodoh udah lebih pilih dia dari pada kamu, Ca..” Jessen menarik napasnya yang terasa sedikit sesak.

“Ca..” panggil Jessen pelan. “Kalau aku mau kembali sama kamu, aku gatahu diri, ya?” Jessen menunduk dalam pelukan mereka, menempelkan dahinya di bahu Sharon. “Ca, if i ask u about a chance, do you event wanna talk it?”

Hening, tak ada jawaban. Mengetahui akan hal itu Jessen mengeratkan lagi pelukannya, sebab Sharon tak menanggapi, Jessen takut pelukannya akan dilepas secara sepihak.

“You're drunk, go to sleep.” Hanya itu respon yang Sharon berikan.



“Udah sadar dia Shaa, kalo dia bego.”

Tadi, Randy berujar demikian padanya, setelah menceritakan gambaran besar mengapa Jessen, pria yang kini tengah tertidur pulas di atas sofa itu meminum begitu banyak beer dan berakhir membuat keributan seperti tadi.

Sharon memandangi Jessen sambil berdiri, Randy tadi sudah pamit pulang terlebih dahulu, pria itu bilang sangat lelah setelah menghadapi perilaku ekstrem Jessen dan memilih segera pulang untuk beristirahat.

“Mampus.” Entah mengapa dan cenderung tiba-tiba sekali, Sharon mengatai Jessen. Gadis itu kemudian melirik pada jam tangannya. Seketika bola mata Sharon membesar, tidak! ini sudah lewat dari jam 12 malam.

“Duh! kenapa bisa gak inget waktu gini sih!” Sharon-pun menggerutu, ternyata mengatasi Jessen dengan tingkah laku seperti tadi benar-benar membuang waktu dan energi.

“Pesen taksi online jam segini aman gak ya?” Sambil menggigit bibir bawahnya, Sharon berpikir keras.

“Jangan.” Sharon berjengit kaget setengah mati. Gadis itu kemudian menatap pada Jessen yang tiba-tiba bangun dan terduduk. “Udah malem, bahaya sayang.” Jessen mengusap pelan wajahnya. “Bobok disini aja, sama aku.” Pria itu menatap pada Sharon yang masih di posisi bingung memikirkan pria ini sudah sadar atau belum. Namun melihat gelagatnya, sepertinya Jessen masih mabuk, sebab pria itu bertingkah seakan-akan mereka itu masih sepasang kekasih.

“Kamu aja yang tidur, gih.” Sharon berniat mendorong pelan bahu Jessen agar pria itu kembali tidur, namun siapa sangka, Jessen malah meraih tangan Sharon. Pria itu lantas berdiri, tangan Sharon yang tadi diraihnya, kini Jessen tarik hingga Sharon berakhir dipelukan Jessen.

“I miss you..” Jessen peluk erat-erat tubuh mungil Sharon, wajah pria itu bahkan kini berada diantara bahu dan ceruk leher Sharon, mendusel dan mengendus pelan di area sana, membuat Sharon sedikit khawatir akan situasi ini.

“Gabriel..” Sharon memanggil, niatnya memperingati sebab gadis itu merasakan sebuah kecupan di lehernya. Sharon-pun mendorong pelan tubuh Jessen, membuat pelukan mereka akhirnya merenggang, namun tak sepenuhnya terlepas, sebab kedua lengan Jessen masih melingkar di pinggang Sharon.

“Kamu masih mabuk, tidur lagi aja.” Sharon berniat lepas dari lingkaran tangan Jessen, namun Jessen menahan pergerakan Sharon, mau tak mau gadis itu kini menatap Jessen. “Kita udah putus, ya?” Sharon sedikit kaget mendengarnya, pasalnya gadis itu mengira tadi pria itu masih belum sadar hingga melupakan status mereka yang kini bukanlah sepasang kekasih lagi. “Aku baru inget.” Jelas Jessen, kini Sharon mengangguk paham, lagaknya tingkah Sharon perlahan membuat pria itu sadar dan mulai mengingat situasi nyatanya.

“But i miss you..” Lagi, Jessen tarik pinggang Sharon agar pria itu bisa kembali memeluknya. “Ca, i miss you..” Jessen meracau sembari mengeratkan pelukannya, setelahnya pria itu menempatkan dagunya diatas bahu Sharon. “Aku bodoh.” Lirih Jessen pelan, Sharon diam tak bergeming. “Aku bodoh udah lebih pilih dia dari pada kamu, Ca..” Jessen menarik napasnya yang terasa sedikit sesak.

“Ca..” panggil Jessen pelan. “Kalau aku mau kembali sama kamu, aku gatahu diri, ya?” Jessen menunduk dalam pelukan mereka, menempelkan dahinya di bahu Sharon. “Ca, if i ask u about a chance, do you event wanna talk it?”

Hening, tak ada jawaban. Mengetahui akan hal itu Jessen mengeratkan lagi pelukannya, sebab Sharon tak menanggapi, Jessen takut pelukannya akan dilepas secara sepihak.

“You're drunk, go to sleep.” Hanya itu respon yang Sharon berikan.



Jessen mengerang frustasi, dirinya kini sudah berdiri di depan area kostan Sharon, puluhan pesan dan juga telepon Jessen kirimkan pada gadis itu, namun hingga dua jam sudah pria itu berdiri disini, Sharon tak kunjung memberi balasan.

“Ca, please angkat..” Jessen melirih seraya menelepon kembali nomor milik gadis itu, hasilnya nihil, gadis itu kembali tak mengangkat.

Jessen mengusap wajahnya kasar, ia tidak bisa seperti ini, dirinya harus bertemu Sharon. Ya, harus, pria itu tak mau hubungan mereka berakhir seperti ini. Beberapa menit berlalu, Jessen masih bergeming hingga seorang pria paruh baya datang menghampirinya. “Mas, cari siapa? Saya perhatikan dari tadi seperti orang linglung.”

Jessen sedikit terhenyak, jelas pria itu mengenali Bapak yang merupakan penjaga kost Sharon itu. “Pak, bisa tolong bantu saya gak? Tolong panggilkan Sharon. Saya mau ketemu dia, Pak.” Dengan nada putus asa, Jessen memohon bantuan pada Bapak penjaga kost itu.

Si Bapak melihat Jessen secara menyeluruh, penampilan Jessen boleh saja terlihat biasa saja, namun wajah pria itu jelas menampakan kekacauan. “Sebentar, coba saya panggilkan ya Mas.”

Jessen mengangguk dengan antusias dan tatapan penuh terimakasih, selanjutnya si Bapak-pun pergi melangkah menuju pintu kamar kost Sharon.

“Neng Sharon.” Sembari mengetuk pintu, si Bapak memanggil Sharon. Tak lama pintu terbuka, dan munculah sosok Sharon, yang mana hal itu jelas tertangkap oleh indera penglihatan Jessen. Reflek, pria itu melangkah, namun selang beberapa langkah, pria itu berhenti, sebab Sharon melihat kearah dirinya. Mereka berdua saling tatap seperkian menit, satu dengan tatapan lelah dan kecewa, sementara satunya lagi dengan tatapan sendu bercampur frustasi.

Jantung Jessen berdegup duakali lebih cepat saat melihat Sharon berjalan menghampirinya. Entah mengapa pria itu tiba-tiba merasa gugup sebab tatapan yang Sharon berikan padanya.

“I'm sorry.” Setelah hening sekian lama, dan hanya tatapan mata yang berbicara, akhirnya Jessen membuka suaranya.

Sharon memilih diam, karena jujur saja gadis itu sudah tidak tahu harus bersikap bagaimana. Jangan mengira ini mudah untuknya, semua situasi yang terjadi belakangan ini jelas membuat Sharon kelimpungan, perasaanya kacau tak karuan.

“Ca..” Panggilan Jessen membuat Sharon keluar dari lamunannya. Gadis itu-pun kembali menatap pada Jessen, pria yang dengan terpaksa Sharon lepaskan sebab enggan sakit berkepanjangan.

“Can we not end up like this?” Jessen kembali bersuara, netra pria itu menatap lekat pada Sharon.

“So what do you want? We're continue this fucking shit relationship?” Akhirnya gadis itu mengangkat suara. “Sekarang aku tanya sama kamu.” Sharon menjeda beberapa saat, “Kamu pilih aku atau Cassandra?” Dengan nada lelah seakan sudah terlalu sering mendebatkan hal ini, Sharon mencoba sekali lagi.

“Pikirin baik-baik, jangan asal jawab dan bohong lagi kalau kamu bakal pilih aku, karena nyatanya hal itu berkebalikan sama ucapan kamu.”

Mendengar ucapan Sharon yang begitu, Jessen menurunkan pandangannya, isi pikirannya berputar seperti kaset mengingat semua tindakannya akhir-akhir ini. Dan sudah jelas, pada siapa pilihan itu jatuh jikalau pria itu berpacu pada ingatan itu.

“Ca, please jangan selalu bikin aku harus pilih kamu atau Cassandra kayak gini..” Jessen mengiba, merasa tak bisa lagi membela diri. “Kenapa?” Tanya Sharon, “Karena kamu bakalan pilih Cassandra? Iya?” Jessen diam, tak bisa menjawab. “Brengsek.” Maki Sharon, mendengarnya entah mengapa jauh di lubuk hatinya, Jessen membenarkan makian Sharon.

Mereka berdua kembali diam, Jessen larut dalam pikiran akan kesalahannya, sementara itu Sharon sudah merasa cukup lelah. “Gabriel, udah cukup sampai disini aja.”

“Percakapan ini, hubungan kita, akhirin aja semuanya.” Sharon menarik napasnya sebelum melanjutkan. “Aku capek.”

Melihat wajah Sharon yang memang tampak lelah dengan situasi ini, Jessen tak punya kemampuan lagi untuk melawan dan menolak berakhirnya hubungan mereka.

Kini Jessen sadar, bahwa sepertinya hubungan mereka berdua memang tidak bisa untuk dilanjutkan. Pria itu sadar, meski secara lisan dirinya berucap mengujar cinta pada Sharon, nyatanya tindakannya berlawanan. Jessen selalu memilih Cassandra ketimbang Sharon, dan berakhir menyakiti gadis itu.

Jessen menarik napas dalam, menatap sendu pada gadis di hadapannya. “Oke..” Ibarat kata tengah mengangkat tangan, Jessen-pun mulai berkata, “Kita akhirin aja disini.” Kerongkongan pria itu mulai tercekat, dengan mata setengah berair, Jessen melanjutkan, “Sesuai janji aku tentang tiga permintaan itu, aku bakal tepatin itu sekarang.” Keduanya saling tatap, kini durasinya sedikit lebih lama. Mata Sharon yang semula hanya tampak lelah, kini entah mengapa terlihat berkaca-kaca, membuat Jessen tak sanggup lagi untuk berada lebih lama di situasi ini.

“End with this 'real' relationship..” Perkataan Jessen mengambang “Permintaan ketiga dan terakhir, dikabulkan.”



Sharon meletakan handphone-nya dengan perasaan hampa. Sudah satu jam lebih, dan Jessen tak juga muncul. Pesan WhatsApp yang Sharon kirimi-pun tak di balas.

Sharon mengusap wajahnya dengan gerakan kusut, sebelum menutupinya dengan kedua telapak tangan. Gadis itu memejamkan matanya, menahan tangis.

Lagaknya, Jessen benar-benar tidak datang. Sharon menarik nafasnya dalam, berusaha meredam perasaannya yang berkecamuk. Sambil membentur-benturkan pelan kepala belakangnya pada dinding yang tengah gadis itu jadikan sandaran. Sharon meraih ponselnya kembali. Meski sudah tahu kemungkinan besarnya. Gadis itu masih berharap bahwa Jessen akan datang menemuinya.

Sharon kembali mengecek ponsel, dan nihil. Jessen sama sekali tak membalas. “Kamu..” “Beneran gak datang, ya?” Sharon tersenyum miris, bergumam sembari menatapi layar ponselnya. Gadis itu kemudian menundukan kepalanya, sudah tak tertahankan lagi, akhirnya Sharon-pun menangis.

Sementara Sharon menangis, selang beberapa menit, pintu kost nya di ketuk. “Neng Sharon.” Sharon mendongakan kepalanya, itu suara bapak penjaga kostnya. Buru-buru gadis itu mengelap air matanya, kemudian berjalan untuk membukakan pintu.

“Ada yang nyariin, Neng.” Si Bapak berujar setelah Sharon membukakan pintu dan berdiri di hadapannya. Kening Sharon sempat tertaut sesaat, sampai kemudian si Bapak menggeser tubuhnya, lalu menunjuk pada seorang pria yang tengah berdiri di depan ruang penjaga kost.

Pria itu berjalan menghampiri tempat Sharon dan Bapak penjaga itu tengah berdiri. Sementara pria itu tersenyum, Sharon hanya mematung bingung.

“Jemian?” Ucap Sharon dengan reflek. Benar, pria yang tadi menghampirinya itu adalah Jemian. Namun pertanyaannya, sedang apa pria itu disini? Dan bagaimana bisa pria itu sampai disini? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepala Sharon.

“Saya tinggal dulu, Neng.” Si Bapak penjaga tadi pamit undur diri. Kini tinggalah Sharon dan Jemian yang tengah berdiri didepan pintu kostan.

“Gue denger lo butuh ke klinik.” Jemian mengutarakan maksud keberadaan dirinya disini. Mendengar itu Sharon tersenyum pedih. “Jessen yang nyuruh lo kesini?” Sharon menanyai Jemian. Pria di hadapannya itu hanya diam sambil menatap Sharon. Melihat respon Jemian yang begitu, gadis itu-pun tertawa getir, Sharon mengerti situasinya. Gadis itu kini mengetahui bahwa Jessen, pria itu tak akan datang, dan dirinya, tak perlu lagi menunggu.



“Kamu..” Sharon menjeda kalimatnya saat melihat keadaan Jessen.

Pria itu bisa dibilang terlihat sangat kacau, rambut berantakan serta wajah yang babak belur, membuat Sharon mau tak mau bertanya “Habis berantem?”

Namun bukannya menjawab, pria itu malah mengusap wajahnya dengan gusar. Jessen menghembuskan nafasnya kasar, wajah tegas pria itu tampak frustasi saat dihadapkan dengan kondisi Sharon yang ternyata jauh lebih kacau dari pada bayangannya.

“Katanya gak banyak, ini apa?!” Jessen merengut, merasa kesal dan marah saat melihat jumlah perban dan luka di tubuh Sharon yang ternyata tidak sedikit.

“Jawab dulu, kamu habis berantem?” Sama seperti Jessen, Sharon-pun mengabaikan perkataan Jessen yang bertanya dengan sejuta sirat kekhawatiran tentang keadaanya.

Seakan mengabaikan luka masing-masing dan lebih mementingkan pihak yang disayangi. Baik Jessen maupun Sharon, mereka berdua kini tengah bertindak demikian.

Merasa tak akan usai bila tak diberi jawaban pasti, Jessen mengalah dengan menganggukan kepalanya. “Berantem sama siapa?” Lagi, gadis itu bertanya. “Ada, but u don't have to take it into serious, it's not very important than your condition right now.”

“Just ignored that, now just focus on you.” Pria itu meminta Sharon untuk mengabaikan kondisinya. Mulanya gadis itu tak mau menuruti, Sharon penasaran tentang apa yang sebenarnya terjadi pada pria itu, namun melihat gelagat Jessen yang keukeuh tak mau membahas soal apa yang terjadi, Sharon memutuskan untuk mengalah dan diam. Membiarkan Jessen yang kini nampak begitu frustasi mendapati keadaan Sharon yang terlihat...

Ah tidak, sungguh Jessen tidak sanggup melihatnya.

Bagian siku dan lutut gadis itu terluka, lengan atasnya tergores, pergelangan tangannya terlihat membiru, dan tadi gadis itu bahkan kesulitan untuk berjalan, sebab ternyata telapak kaki gadis itu-pun turut terluka.

Jessen memejamkan matanya sesaat, berusaha meredam segala emosi yang datang padanya.

Tidak bisa dibayangkan oleh Jessen, betapa mengerikan kejadian yang dialami Sharon tadi. Seberapa sakit Sharon akibat goresan-goresan luka ditubuhnya, seberapa panik dan takutnya gadis itu tadi, membuat Jessen menyesal setengah mati telah memilih menemui Cassandra dibanding Sharon.

“Awh..” Sharon meringis, tatkala Jessen menarik bahunya untuk bisa memeluknya.

“Sakit?” Tanya Jessen setelah kekagetannya perihal ringisan Sharon tadi. Gadis itu mengangguk.

“Yang mana yang sakit?” Jessen bertanya dengan nada pelan. Sharon menunjuk bahunya. Melihatnya, Jessen kembali membuang nafas berat, kepalanya tertunduk dalam. Demi Tuhan, rasanya Jessen ingin menangis mendapati kekasihnya dalam kondisi seperti ini.

“Kalo kata aku, mending kamu tampar aku sekarang, Ca.” Ujar Jessen, masih dengan menundukan kepalanya.

“Maunya sih gitu, tapi namparnya gimana, telapak tanganku aja luka.” Sharon, gadis itu bahkan sempat melayangkan cengirannya sembari mengangkat kedua telapak tangan dengan beberapa luka goresan itu didepan Jessen.

“Jangan bercanda dulu Ca, aku serius, aku minta maaf. Ini semua salah aku.” Jessen mengatakan hal itu sambil menelan pahit-pahit kenyataan bahwa rasa-rasanya, semua yang terjadi pada Sharon malam ini adalah kesalahannya.

“Maafin aku..” Kali ini Jessen benar-benar melirih, bahkan suaranya hampir tidak terdengar. Pria itu kemudian mengangkat wajahnya, menatap pada gadisnya yang tengah menatap balik padanya.

“Sebenernya kamu gak perlu minta maaf.” Dengan tatapan tulusnya, Sharon berujar. “Bukan salah kamu karena gak bisa datang. Bahkan mungkin, semisal kamu datang-pun, nyatanya orang jahat itu emang udah ada disana.”

Mendengarnya, nafas Jessen tercekat. Batin dan pikirannya berkecamuk, meraung, bahwa seandainya gadis itu tahu, karena alasan apa tadi dirinya tidak datang, seandainya gadis itu tahu, bahwa urusan mendadak mengapa pria itu tidak jadi pergi menemui sang gadis dan memilih Haris untuk menggantikan adalah menemui Cassandra, sang mantan kekasih.

Seandainya saja gadis itu tahu..

Mungkin bukan tatapan tulus seperti ini yang Jessen dapatkan, gadis itu amat sangat mungkin tetap akan menampar Jessen, sekalipun telapak tangannya terluka.

Namun itu hanya sebatas raungan dalam batin, tak bisa pria itu sampaikan secara langsung.

Ya. Jessen memilih menjadi pengecut, sebab dirinya takut mengakui kebenarannya pada Sharon.

Jessen takut Sharon akan terluka, juga pria itu takut, jikalau tahu kejadian sesungguhnya, gadis itu akan marah lalu pergi meninggalkannya.

Dan Jessen tidak bisa membiarkan hal itu terjadi, pria itu tidak bisa kehilangan Sharon, sebab bagaimanapun, Jessen telah mencintai Sharon.



Jessen menghembuskan nafasnya kasar, wajah tegas pria itu tampak frustasi saat dihadapkan dengan Sharon yang kondisinya terlalu kacau untuk dilihat.

“Katanya gak banyak, ini apa?!” Jessen merengut, merasa kesal dan marah saat melihat jumlah perban dan luka di tubuh Sharon yang ternyata tidak sedikit.

Bagian siku dan lutus gadis itu terluka, lengan atasnya tergores, pergelangan tangannya terlihat membiru, dan tadi gadis itu bahkan kesulitan untuk berjalan sebab ternyata telapak kaki gadis itu-pun turut terluka.

Tidak bisa dibayangkan oleh Jessen, betapa mengerikan kejadian yang dialami Sharon tadi. Seberapa sakit Sharon akibat goresan-goresan luka ditubuhnya, seberapa panik dan takutnya gadis itu tadi, membuat Jessen menyesal setengah mati telah memilih menemui Cassandra dibanding Sharon.

“Awh..” Sharon meringis, tatkala Jessen menarik bahunya agar bisa memeluknya.

“Sakit?” Tanya Jessen setelah kekagetannya perihal ringisan Sharon tadi. Gadis itu mengangguk.

“Yang mana yang sakit?” Jessen bertanya dengan nada pelan. Sharon menunjuk bahunya. Melihatnya Jessen kembali membuang nafas berat, kepalanya tertunduk dalam. Demi Tuhan, rasanya Jessen ingin menangis mendapati kekasihnya dalam kondisi seperti ini.

“Kalo kata aku, mending kamu tampar aku sekarang, Ca.” Ujar Jessen, masih dengan menundukan kepalanya.

“Maunya sih gitu, tapi namparnya gimana, telapak tanganku aja luka.” Sharon, gadis itu bahkan sempat melayangkan cengirannya sembari mengangkat kedua telapak tangan dengan beberapa luka goresan itu didepan Jessen.

“Jangan bercanda dulu Ca, aku serius, aku minta maaf. Ini semua salah aku.” Jessen mengatakan hal itu sambil menelan pahit-pahit kenyataan bahwa rasa-rasanya, semua yang terjadi pada Sharon malam ini adalah kesalahannya.

“Maafin aku..” Kali ini Jessen benar-benar melirih, bahkan suaranya hampir tidak terdengar. Pria itu kemudian mengangkat wajahnya, menatap pada gadisnya yang tengah menatap balik padanya.

“Sebenernya kamu gak perlu minta maaf.” Dengan tatapan tulusnya, Sharon berujar. “Bukan salah kamu karena gak bisa datang. Bahkan mungkin, semisal kamu datang-pun, nyatanya orang jahat itu emang udah ada disana.”

Mendengarnya, nafas Jessen tercekat. Batin dan pikirannya berkecamuk, meraung, bahwa seandainya gadis itu tahu, karena alasan apa tadi dirinya tidak datang, seandainya gadis itu tahu, bahwa urusan mendadak mengapa pria itu tidak jadi pergi menemui sang gadis dan memilih Haris untuk menggantikan adalah menemui Cassandra, sang mantan kekasih.

Seandainya saja gadis itu tahu..

Mungkin bukan tatapan tulus seperti ini yang Jessen dapatkan, gadis itu amat sangat mungkin tetap akan menampar Jessen, sekalipun telapak tangannya terluka.

Namun itu hanya sebatas raungan dalam batin, tak bisa Jessen sampaikan secara langsung pada Sharon.

Ya. Pria itu memilih menjadi pengecut, sebab dirinya takut mengakui kebenarannya pada Sharon.

Jessen takut Sharon akan terluka, juga pria itu takut, jikalau tahu kejadian sesungguhnya, Sharon akan marah, lalu pergi meninggalkannya.

Dan Jessen tidak bisa membiarkan hal itu terjadi, pria itu tidak bisa kehilangan Sharon, sebab bagaimanapun, Jessen telah mencintai Sharon.