sugarloaf


Jessen menghembuskan nafasnya kasar, wajah tegas pria itu tampak frustasi saat dihadapkan dengan Sharon yang kondisinya terlalu kacau untuk dilihat.

“Katanya gak banyak, ini apa?!” Jessen merengut, merasa kesal dan marah saat melihat jumlah perban dan luka di tubuh Sharon yang ternyata tidak sedikit.

Bagian siku dan lutus gadis itu terluka, lengan atasnya tergores, pergelangan tangannya terlihat membiru, dan tadi gadis itu bahkan kesulitan untuk berjalan sebab ternyata telapak kaki gadis itu-pun turut terluka.

Tidak bisa dibayangkan oleh Jessen, betapa mengerikan kejadian yang dialami Sharon tadi. Seberapa sakit Sharon akibat goresan-goresan luka ditubuhnya, seberapa panik dan takutnya gadis itu tadi, membuat Jessen menyesal setengah mati telah memilih menemui Cassandra dibanding Sharon.

“Awh..” Sharon meringis, tatkala Jessen menarik bahunya agar bisa memeluknya.

“Sakit?” Tanya Jessen setelah kekagetannya perihal ringisan Sharon tadi. Gadis itu mengangguk.

“Yang mana yang sakit?” Jessen bertanya dengan nada pelan. Sharon menunjuk bahunya. Melihatnya Jessen kembali membuang nafas berat, kepalanya tertunduk dalam. Demi Tuhan, rasanya Jessen ingin menangis mendapati kekasihnya dalam kondisi seperti ini.

“Kalo kata aku, mending kamu tampar aku sekarang, Ca.” Ujar Jessen, masih dengan menundukan kepalanya.

“Maunya sih gitu, tapi namparnya gimana, telapak tanganku aja luka.” Sharon, gadis itu bahkan sempat melayangkan cengirannya sembari mengangkat kedua telapak tangan dengan beberapa luka goresan itu didepan Jessen.

“Jangan bercanda dulu Ca, aku serius, aku minta maaf. Ini semua salah aku.” Jessen mengatakan hal itu sambil menelan pahit-pahit kenyataan bahwa rasa-rasanya, semua yang terjadi pada Sharon malam ini adalah kesalahannya.

“Maafin aku..” Kali ini Jessen benar-benar melirih, bahkan suaranya hampir tidak terdengar. Pria itu kemudian mengangkat wajahnya, menatap pada gadisnya yang tengah menatap balik padanya.

“Sebenernya kamu gak perlu minta maaf.” Dengan tatapan tulusnya, Sharon berujar. “Bukan salah kamu karena gak bisa datang. Bahkan mungkin, semisal kamu datang-pun, nyatanya orang jahat itu emang udah ada disana.”

Mendengarnya, nafas Jessen tercekat. Batin dan pikirannya berkecamuk, meraung, bahwa seandainya gadis itu tahu, alasan mengapa tadi dirinya tidak datang dan memilih Haris untuk menggantikan.

Namun itu hanya sebatas raungan dalam batin, tak bisa Jessen sampaikan secara langsung pada Sharon.

Ya. Pria itu memilih menjadi pengecut, sebab dirinya takut mengakui kebenarannya pada Sharon.

Jessen takut Sharon akan terluka, juga pria itu takut, jikalau tahu kejadian sesungguhnya, Sharon akan marah, lalu pergi meninggalkannya.

Dan Jessen tidak bisa membiarkan hal itu terjadi, pria itu tidak bisa kehilangan Sharon, sebab bagaimanapun, Jessen telah mencintai Sharon.



Jessen menghembuskan nafasnya kasar, wajah tegas pria itu tampak frustasi saat dihadapkan dengan Sharon yang kondisinya terlalu kacau untuk dilihat.

“Katanya gak banyak, ini apa?!” Jessen merengut, merasa kesal dan marah saat melihat jumlah perban dan luka di tubuh Sharon yang ternyata tidak sedikit.

Bagian siku dan lutus gadis itu terluka, lengan atasnya tergores, pergelangan tangannya terlihat membiru, dan tadi gadis itu bahkan kesulitan untuk berjalan sebab ternyata telapak kaki gadis itu-pun turut terluka.

Tidak bisa dibayangkan oleh Jessen, betapa mengerikan kejadian yang dialami Sharon tadi. Seberapa sakit Sharon akibat goresan-goresan luka ditubuhnya, seberapa panik dan takutnya gadis itu tadi, membuat Jessen menyesal setengah mati telah memilih menemui Cassandra dibanding Sharon.

“Awh..” Sharon meringis, tatkala Jessen menarik bahunya agar bisa memeluknya.

“Sakit?” Tanya Jessen setelah kekagetannya perihal ringisan Sharon tadi. Gadis itu mengangguk.

“Yang mana yang sakit?” Jessen bertanya dengan nada pelan. Sharon menunjuk bahunya. Melihatnya Jessen kembali membuang nafas berat, kepalanya tertunduk dalam. Demi Tuhan, rasanya Jessen ingin menangis mendapati kekasihnya dalam kondisi seperti ini.

“Kalo kata aku, mending kamu tampar aku sekarang, Ca.” Ujar Jessen, masih dengan menundukan kepalanya.

“Maunya sih gitu, tapi namparnya gimana, telapak tanganku aja luka.” Sharon, gadis itu bahkan sempat melayangkan cengirannya sembari mengangkat kedua telapak tangan dengan beberapa luka goresan itu didepan Jessen.

“Jangan bercanda dulu Ca, aku serius, aku minta maaf. Ini semua salah aku.” Jessen mengatakan hal itu sambil menelan pahit-pahit kenyataan bahwa rasa-rasanya, semua yang terjadi pada Sharon malam ini adalah kesalahannya.

“Maafin aku..” Kali ini Jessen benar-benar melirih, bahkan suaranya hampir tidak terdengar. Pria itu kemudian mengangkat wajahnya, menatap pada gadisnya yang tengah menatap balik padanya.

“Sebenernya kamu gak perlu minta maaf.” Dengan tatapan tulusnya, Sharon berujar. “Bukan salah kamu karena gak bisa datang. Bahkan kamu datang-pun, nyatanya orang jahat itu emang udah ada disana.”

Mendengarnya, nafas Jessen tercekat. Batin dan pikirannya berkecamuk, meraung, bahwa seandainya gadis itu tahu, alasan mengapa tadi dirinya tidak datang dan memilih Haris untuk menggantikan.

Namun itu hanya sebatas raungan dalam batin, tak bisa Jessen sampaikan secara langsung pada Sharon.

Ya. Pria itu memilih menjadi pengecut, sebab dirinya takut mengakui kebenarannya pada Sharon.

Jessen takut Sharon akan terluka, juga pria itu takut, jikalau tahu kejadian sesungguhnya, Sharon akan marah, lalu pergi meninggalkannya.

Dan Jessen tidak bisa membiarkan hal itu terjadi, pria itu tidak bisa kehilangan Sharon, sebab bagaimanapun, Jessen telah mencintai Sharon.



Jessen menghembuskan nafasnya kasar, wajah tegas pria itu tampak frustasi saat dihadapkan dengan Sharon yang kondisinya terlalu kacau untuk dilihat.

“Katanya gak banyak, ini apa?!” Jessen merengut, merasa kesal dan marah saat melihat jumlah perban dan luka di tubuh Sharon yang ternyata tidak sedikit.

Bagian siku dan lutus gadis itu terluka, lengan atasnya tergores, pergelangan tangannya terlihat membiru, dan tadi gadis itu bahkan kesulitan untuk berjalan sebab ternyata telapak kaki gadis itu-pun turut terluka.

Tidak bisa dibayangkan oleh Jessen, betapa mengerikan kejadian yang dialami Sharon tadi. Seberapa sakit Sharon akibat goresan-goresan luka ditubuhnya, seberapa panik dan takutnya gadis itu tadi, membuat Jessen menyesal setengah mati telah memilih menemui Cassandra dibanding Sharon.

“Awh..” Sharon meringis, tatkala Jessen menarik bahunya agar bisa memeluknya.

“Sakit?” Tanya Jessen setelah kekagetannya perihal ringisan Sharon tadi. Gadis itu mengangguk.

“Yang mana yang sakit?” Jessen bertanya dengan nada pelan. Sharon menunjuk bahunya. Melihatnya Jessen kembali membuang nafas berat, kepalanya tertunduk dalam. Demi Tuhan, rasanya Jessen ingin menangis mendapati kekasihnya dalam kondisi seperti ini.

“Kalo kata aku, mending kamu tampar aku sekarang, Ca.” Ujar Jessen, masih dengan menundukan kepalanya.

“Maunya sih gitu, tapi namparnya gimana, telapak tanganku aja luka.” Sharon, gadis itu bahkan sempat melayangkan cengirannya sembari mengangkat kedua telapak tangan dengan beberapa luka goresan itu didepan Jessen.

“Jangan bercanda dulu Ca, aku serius, aku minta maaf. Ini semua salah aku.” Jessen mengatakan hal itu sambil menelan pahit-pahit kenyataan bahwa rasanya, semua yang terjadi pada Sharon malam ini adalah kesalahannya.

“Maafin aku..” Kali ini Jessen benar-benar melirih, bahkan suaranya hampir tidak terdengar. Pria itu kemudian mengangkat wajahnya, menatap pada gadisnya yang tengah menatap balik padanya.

“Sebenernya kamu gak perlu minta maaf.” Dengan tatapan tulusnya, Sharon berujar. “Bukan salah kamu karena gak bisa datang. Bahkan kamu datang-pun, nyatanya orang jahat itu emang udah ada disana.”

Mendengarnya, nafas Jessen tercekat. Batin dan pikirannya berkecamuk, meraung, bahwa seandainya gadis itu tahu, alasan mengapa tadi dirinya tidak datang dan memilih Haris untuk menggantikan.

Namun itu hanya sebatas raungan dalam batin, tak bisa Jessen sampaikan secara langsung pada Sharon.

Ya. Pria itu memilih menjadi pengecut, sebab dirinya takut mengakui kebenarannya pada Sharon.

Jessen takut Sharon akan terluka, juga pria itu takut, jikalau tahu kejadian sesungguhnya, Sharon akan marah, lalu pergi meninggalkannya.

Dan Jessen tidak bisa membiarkan hal itu terjadi, pria itu tidak bisa kehilangan Sharon, sebab bagaimanapun, Jessen telah mencintai Sharon.



Jessen menghembuskan nafasnya kasar, wajah tegas pria itu tampak frustasi saat dihadapkan dengan Sharon yang kondisinya terlalu kacau untuk dilihat.

“Katanya gak banyak, ini apa?!” Jessen merengut, merasa kesal dan marah saat melihat jumlah perban dan luka di tubuh Sharon yang ternyata tidak sedikit.

Bagian siku dan lutus gadis itu terluka, lengan atasnya tergores, pergelangan tangannya terlihat membiru, dan tadi gadis itu bahkan kesulitan untuk berjalan sebab ternyata telapak kaki gadis itu-pun turut terluka.

Tidak bisa dibayangkan oleh Jessen, betapa mengerikan kejadian yang dialami Sharon tadi. Seberapa sakit Sharon akibat goresan-goresan luka ditubuhnya, seberapa panik dan takutnya gadis itu tadi, membuat Jessen menyesal setengah mati telah memilih menemui Cassandra dibanding Sharon.

“Awh..” Sharon meringis, tatkala Jessen menarik bahunya agar bisa memeluknya.

“Sakit?” Tanya Jessen setelah kekagetannya perihal ringisan Sharon tadi. Gadis itu mengangguk.

“Yang mana yang sakit?” Jessen bertanya dengan nada pelan. Sharon menunjuk bahunya. Melihatnya Jessen kembali membuang nafas berat, kepalanya tertunduk dalam. Demi Tuhan, rasanya Jessen ingin menangis mendapati kekasihnya dalam kondisi seperti ini.

“Kalo kata aku, mending kamu tampar aku sekarang, Ca.” Ujar Jessen, masih dengan menundukan kepalanya.

“Maunya sih gitu, tapi namparnya gimana, telapak tanganku aja luka.” Sharon, gadis itu bahkan sempat melayangkan cengirannya sembari mengangkat dua telapak tangannya di depan Jessen.

“Jangan bercanda dulu Ca, aku serius, aku minta maaf. Ini semua salah aku.” Jessen mengatakan hal itu sambil menelan pahit-pahit kenyataan bahwa rasanya, semua yang terjadi pada Sharon malam ini adalah kesalahannya.

“Maafin aku..” Kali ini Jessen benar-benar melirih, bahkan suaranya hampir tidak terdengar. Pria itu kemudian mengangkat wajahnya, menatap pada gadisnya yang tengah menatap balik padanya.

“Sebenernya kamu gak perlu minta maaf.” Dengan tatapan tulusnya, Sharon berujar. “Bukan salah kamu karena gak bisa datang. Bahkan kamu datang-pun, nyatanya orang jahat itu emang udah ada disana.”

Mendengarnya, nafas Jessen tercekat. Batin dan pikirannya berkecamuk, meraung, bahwa seandainya gadis itu tahu, alasan mengapa tadi dirinya tidak datang dan memilih Haris untuk menggantikan.

Namun itu hanya sebatas raungan dalam batin, tak bisa Jessen sampaikan secara langsung pada Sharon.

Ya. Pria itu memilih menjadi pengecut, sebab dirinya takut mengakui kebenarannya pada Sharon.

Jessen takut Sharon akan terluka, juga pria itu takut, jikalau tahu kejadian sesungguhnya, Sharon akan marah, lalu pergi meninggalkannya.

Dan Jessen tidak bisa membiarkan hal itu terjadi, pria itu tidak bisa kehilangan Sharon, sebab bagaimanapun, Jessen telah mencintai Sharon.



Jessen menghembuskan nafasnya kasar, wajah tegas pria itu tampak frustasi saat dihadapkan dengan Sharon yang kondisinya sedikit kacau untuk dilihat.

“Katanya gak banyak, ini apa?!” Jessen merengut, merasa kesal dan marah saat melihat jumlah perban dan luka di tubuh Sharon yang ternyata tidak sedikit.

Bagian siku dan lutus gadis itu terluka, lengan atasnya tergores, pergelangan tangannya terlihat membiru, dan tadi gadis itu bahkan kesulitan untuk berjalan sebab ternyata telapak kaki gadis itu-pun turut terluka.

Tidak bisa dibayangkan oleh Jessen, betapa mengerikan kejadian yang dialami Sharon tadi. Seberapa sakit Sharon akibat goresan-goresan luka ditubuhnya, seberapa panik dan takutnya gadis itu tadi, membuat Jessen menyesal setengah mati telah memilih menemui Cassandra dibanding Sharon.

“Awh..” Sharon meringis, tatkala Jessen menarik bahunya agar bisa memeluknya.

“Sakit?” Tanya Jessen setelah kekagetannya perihal ringisan Sharon tadi. Gadis itu mengangguk.

“Yang mana yang sakit?” Jessen bertanya dengan nada pelan. Sharon menunjuk bahunya. Melihatnya Jessen kembali membuang nafas berat, kepalanya tertunduk dalam. Demi Tuhan, rasanya Jessen ingin menangis mendapati kekasihnya dalam kondisi seperti ini.

“Kalo kata aku, mending kamu tampar aku sekarang, Ca.” Ujar Jessen, masih dengan menundukan kepalanya.

“Maunya sih gitu, tapi namparnya gimana, telapak tanganku aja luka.” Sharon, gadis itu bahkan sempat melayangkan cengirannya sembari mengangkat dua telapak tangannya di depan Jessen.

“Jangan bercanda dulu Ca, aku serius, aku minta maaf. Ini semua salah aku.” Jessen mengatakan hal itu sambil menelan pahit-pahit kenyataan bahwa rasanya, semua yang terjadi pada Sharon malam ini adalah kesalahannya.

“Maafin aku..” Kali ini Jessen benar-benar melirih, bahkan suaranya hampir tidak terdengar. Pria itu kemudian mengangkat wajahnya, menatap pada gadisnya yang tengah menatap balik padanya.

“Sebenernya kamu gak perlu minta maaf.” Dengan tatapan tulusnya, Sharon berujar. “Bukan salah kamu karena gak bisa datang. Bahkan kamu datang-pun, nyatanya orang jahat itu emang udah ada disana.”

Mendengarnya, nafas Jessen tercekat. Batin dan pikirannya berkecamuk, meraung, bahwa seandainya gadis itu tahu, alasan mengapa tadi dirinya tidak datang dan memilih Haris untuk menggantikan.

Namun itu hanya sebatas raungan dalam batin, tak bisa Jessen sampaikan secara langsung pada Sharon.

Ya. Pria itu memilih menjadi pengecut, sebab dirinya takut mengakui kebenarannya pada Sharon.

Jessen takut Sharon akan terluka, juga pria itu takut, jikalau tahu kejadian sesungguhnya, Sharon akan marah, lalu pergi meninggalkannya.

Dan Jessen tidak bisa membiarkan hal itu terjadi, pria itu tidak bisa kehilangan Sharon, sebab bagaimanapun, Jessen telah mencintai Sharon.



Jessen menghembuskan nafasnya kasar, wajah tegas pria itu tampak frustasi saat dihadapkan dengan Sharon yang kondisinya sedikit kacau untuk dilihat.

“Katanya gak banyak, ini apa?!” Jessen merengut, merasa kesal dan marah saat melihat jumlah perban dan luka di tubuh Sharon yang ternyata tidak sedikit.

Bagian siku dan lutus gadis itu terluka, lengan atasnya tergores, pergelangan tangannya terlihat membiru, dan tadi gadis itu bahkan kesulitan untuk berjalan sebab ternyata telapak kaki gadis itu-pun turut terluka.

Tidak bisa dibayangkan oleh Jessen, betapa mengerikan kejadian yang dialami Sharon tadi. Seberapa sakit Sharon akibat goresan-goresan luka ditubuhnya, seberapa panik dan takutnya gadis itu tadi, membuat Jessen menyesal setengah mati telah memilih menemui Cassandra dibanding Sharon.

“Awh..” Sharon meringis, tatkala Jessen menarik bahunya agar bisa memeluknya.

“Sakit?” Tanya Jessen setelah kekagetannya perihal ringisan Sharon tadi. Gadis itu mengangguk.

“Yang mana yang sakit?” Jessen bertanya dengan nada pelan. Sharon menunjuk bahunya. Melihatnya Jessen kembali membuang nafas berat, kepalanya tertunduk dalam. Demi Tuhan rasanya Jessen ingin menangis mendapati kekasihnya dalam kondisi seperti ini.

“Kalo kata aku, mending kamu tampar aku sekarang, Ca.” Ujar Jessen, masih dengan menundukan kepalanya.

“Maunya sih gitu, tapi namparnya gimana, telapak tanganku aja luka.” Sharon, gadis itu bahkan sempat melayangkan cengirannya sembari mengangkat dua telapak tangannya di depan Jessen.

“Jangan bercanda dulu Ca, aku serius, aku minta maaf. Ini semua salah aku.” Jessen mengatakan hal itu sambil menelan pahit-pahit kenyataan bahwa rasanya, semua yang terjadi pada Sharon malam ini adalah kesalahannya.

“Maafin aku..” Kali ini Jessen benar-benar melirih, bahkan suaranya hampir tidak terdengar. Pria itu kemudian mengangkat wajahnya, menatap pada gadisnya yang tengah menatap balik padanya.

“Sebenernya kamu gak perlu minta maaf.” Dengan tatapan tulusnya, Sharon berujar. “Bukan salah kamu karena gak bisa datang. Bahkan kamu datang-pun, nyatanya orang jahat itu emang udah ada disana.”

Mendengarnya, nafas Jessen tercekat. Batin dan pikirannya berkecamuk, meraung, bahwa seandainya gadis itu tahu, alasan mengapa tadi dirinya tidak datang dan memilih Haris untuk menggantikan.

Namun itu hanya sebatas raungan dalam batin, tak bisa Jessen sampaikan secara langsung pada Sharon.

Ya. Pria itu memilih menjadi pengecut, sebab dirinya takut mengakui kebenarannya pada Sharon.

Jessen takut Sharon akan terluka, juga pria itu takut, jikalau tahu kejadian sesungguhnya, Sharon akan marah, lalu pergi meninggalkannya.

Dan Jessen tidak bisa membiarkan hal itu terjadi, pria itu tidak bisa kehilangan Sharon, sebab bagaimanapun, Jessen telah mencintai Sharon.



23.30 Sharon ingat kisaran waktu saat ia berlari keluar sebab lampu kost-nya yang tiba-tiba meledak. Dan kini rasanya ia sudah menunggu sekitar 30 menit, atau malah lebih?

Sharon memeluk dirinya-sendiri sebab angin malam yang menerpa dirinya membuat ia merasa sedikit menggigil.

Sharon mengedarkan pandangannya kesekeliling, suasananya amat sepi, sebab sudah masuk tengah malam.

“Kok lama ya?” Gumam Sharon, gadis itu celingukan menunggu Jessen yang tadi bilang padanya akan segera datang.

Tanpa disadari oleh Sharon. Di balik sebuah tembok rumah warga, seorang pria sedari tadi memperhatikan gerak-geriknya, dan kini pria itu tengah berjalan dari tempatnya berdiri untuk menghampiri Sharon.

“Mbak.” Sharon tersentak, sebab pria itu memanggil sembari memegang bahu Sharon.

Sharon memperhatikan sejenak, pria itu mengenakan kaos hijau army dengan celana jeans sobek-sobek, di antara jemarinya terapit sebatang rokok yang sudah menyala, persis penampilan seorang preman.

Yang mana hal itu jelas membuat Sharon duakali lebih siaga, entah mengapa perasaannya tidak enak.

“Iya mas?” Dengan perasaan takutnya, Sharon membalas panggilan pria itu.

“Lagi ngapain mbak? malem-malem gini sendirian.” Setelah menghisap batang rokoknya, pria itu-pun bertanya lagi.

Sharon tersenyum kikuk, dengan perasaan canggung dan cemas gadis itu-pun menjawab pertanyaan dari pria itu. “Lagi nyari bapak yang biasa jaga kost mas.”

Pria itu menganggukan kepalanya. “Berarti area kost lagi gak ada yang jaga ya mbak?”

Dituding pertanyaan demikian, entah mengapa rasa takut Sharon kian membesar, terlebih saat dilihatnya pria itu celingukan seakan memastikan kawasan ini benar-benar sepi.

Tanpa sadar Sharon berjalan mundur sedikit menjauh dari pria itu, entah mengapa Sharon merasakan bahwa saat ini ia berada dalam situasi bahaya.

Melihat Sharon mundur, pria itu terkekeh pelan. “Ngapain mundur-mundur gitu mbak?” “Jijik sama saya?”

Pria itu membuang kasar batang rokoknya, kemudian berjalan mendekati Sharon. Jelas Sharon dengan cepat menghindar menjauhi pria itu.

Kini pria itu berdecih, sambil meludah, pria itu-pun menatap tajam pada Sharon. “Kalo mbak begini, saya tersinggung loh mbak.”

Baiklah. Ini sudah jelas-jelas bahaya. Sharon-pun memasang ancang-ancang, kemudian dengan secepat kilat Sharon berlari kabur dari hadapan pria itu.

Jelas pria itu tak membiarkannya begitu saja. Pria itu turut berlari mengejar Sharon. Membuat aksi kejar-kejaran di area itu-pun terjadi.

Sharon berlari sekuat tenaga saat mengetahui pria tadi balik mengejarnya, dirinya berlari tanpa melihat sekitar hingga tak sadar kakinya tersandung sebuah batu dari aspal yang sudah rusak, membuat gadis itu terjatuh.

Diatas jalanan tidak rata nan gelap itu, Sharon meringis, belum sempat meresapi rasa sakit akibat jatuh tadi, lengan Sharon sudah di tarik kencang hingga gadis itu dipaksa untuk berdiri.

“AAAAAARGH!” Sharon berteriak saat pria preman tadi melakukan aksi tersebut pada Sharon.

“Kabur dari saya hm?” Pria itu bertanya dengan nada seram sambil mencengkram bahu Sharon dengan sangat kuat, membuat gadis itu meringis kesakitan.

“Hahahaha, padahal tadinya saya nggak mau ngapa-ngapain loh mbak, tapi karena sikap mbak kayak gini sama saya, sekalian saya jahatin aja kalo gitu.” Pria itu tertawa, sementara Sharon sudah menangis melihatnya.

Pria itu mengedarkan pandangannya kesekeliling, melihat tempat yang dirasa tepat untuk melakukan sesuatu pada Sharon yang kini lengannya tengah di cengkram kua-kuat.

“Sini ikut saya!” Pria itu menarik paksa lengan Sharon, jelas gadis itu memberontak sekuat mungkin agar tidak terseret oleh tarikan paksa pria itu.

“LEPASSSIN!” Sharon mengucapkannya sambil berteriak, berharap seseorang mendengar lalu membantunya.

Pria itu terus menarik paksa lengan Sharon, sebab kalah tenaga, gadis itu-pun terus terseret. Sharon memutar otaknya, gadis itu kemudian menggigit lengan pria itu. “ARGHH!”

Pria itu berteriak kesakitan, kesempatan itu digunakan oleh Sharon untuk segera kabur. Sadar akan hal itu, pria tadi langsung buru-buru mengejar Sharon, ditengah aksi kejar mengejar yang kembali terjadi itu, sebuah mobil muncul hingga hampir menabrak Sharon.

“AAAAAAAAAA.” Sharon ambruk di jalanan, meski tidak tertabrak, lagaknya tubuh gadis itu reflek terjatuh.

Seorang pria keluar dari dalam mobil tadi, melihat itu buru-buru Sharon berteriak meminta bantuan. “TOLONGGGGG”

“TOLONGIN SAYA MAS!” Sambil berdiri tertatih-tatih Sharon berlari kearah pria yang baru saja keluar dari mobil tadi. Sharon sedikit limbung, hampir terjatuh lagi, kalau saja pria ini tidak menangkap tubuhnya.

Sharon masih kelabakan, kepala gadis itu masih menengok kearah belakang beberapa kali, terlihat oleh gadis itu, siluet bayangan pria preman tadi masih ada disana. “Mas tolong— Ha..Haris?!”

“Sharon?! Baik Sharon maupun Haris terkejut. Namun tak lama sebab Sharon kembali bereaksi dengan panik.

“Ris.. to- tolongin gue ris!” Dengan terbata-bata Sharon berucap.

“Gue di kejar orang jahat ris! gu-gue..” Sharon bahkan tak bisa menyelesaikan kalimatnya, gadis itu kembali menoleh kearah belakang, ternyata pria preman tadi sudah hilang, membuat rasa panik gadis itu kini berkurang.

“Siapa yang ngejar lo Shaa?” Kepala Haris kemudian celingukan berusaha mencari orang yang mengejar Sharon.

“Udah pergi! udah pergi!” Sharon berucap dengan cepat. Tubuhnya langsung terasa lemas, hingga akhirnya Sharon merosot ke jalanan.

Haris yang tadi sedang tak sigap merasa panik. Pria itu kemudian berjongkok untuk meraih kembali Sharon yang tengah terduduk dengan lemas diatas aspal jalan.

Belum sampai membuat Sharon kembali berdiri, Haris tersadar sesuatu. Dan demi Tuhan itu gila!

“Astaga Shaa! lo luka-luka!”



23.30 Sharon ingat kisaran waktu saat ia berlari keluar sebab lampu kost-nya yang tiba-tiba meledak. Dan kini rasanya ia sudah menunggu sekitar 30 menit, atau malah lebih?

Sharon memeluk dirinya-sendiri sebab angin malam yang menerpa dirinya membuat ia merasa sedikit menggigil.

Sharon mengedarkan pandangannya kesekeliling, suasananya amat sepi, sebab sudah masuk tengah malam.

“Kok lama ya?” Gumam Sharon, gadis itu celingukan menunggu Jessen yang tadi bilang padanya akan segera datang.

Tanpa disadari oleh Sharon. Di balik sebuah tembok rumah warga, seorang pria sedari tadi memperhatikan gerak-geriknya, dan kini pria itu tengah berjalan dari tempatnya berdiri untuk menghampiri Sharon.

“Mbak.” Sharon tersentak, sebab pria itu memanggil sembari memegang bahu Sharon.

Sharon memperhatikan sejenak, pria itu mengenakan kaos hijau army dengan celana jeans sobek-sobek, di antara jemarinya terapit sebatang rokok yang sudah menyala, persis penampilan seorang preman.

Yang mana hal itu jelas membuat Sharon duakali lebih siaga, entah mengapa perasaannya tidak enak.

“Iya mas?” Dengan perasaan takutnya, Sharon membalas panggilan pria itu.

“Lagi ngapain mbak? malem-malem gini sendirian.” Setelah menghisap batang rokoknya, pria itu-pun bertanya lagi.

Sharon tersenyum kikuk, dengan perasaan canggung dan cemas gadis itu-pun menjawab pertanyaan dari pria itu. “Lagi nyari bapak yang biasa jaga kost mas.”

Pria itu menganggukan kepalanya. “Berarti area kost lagi gak ada yang jaga ya mbak?”

Dituding pertanyaan demikian, entah mengapa rasa takut Sharon kian membesar, terlebih saat dilihatnya pria itu celingukan seakan memastikan kawasan ini benar-benar sepi.

Tanpa sadar Sharon berjalan mundur sedikit menjauh dari pria itu, entah mengapa Sharon merasakan bahwa saat ini ia berada dalam situasi bahaya.

Melihat Sharon mundur, pria itu terkekeh pelan. “Ngapain mundur-mundur gitu mbak?” “Jijik sama saya?”

Pria itu membuang kasar batang rokoknya, kemudian berjalan mendekati Sharon. Jelas Sharon dengan cepat menghindar menjauhi pria itu.

Kini pria itu berdecih, sambil meludah pria itu-pun menatap tajam pada Sharon. “Kalo mbak begini, saya tersinggung loh mbak.”

Baiklah. Ini sudah jelas-jelas bahaya. Sharon-pun memasang ancang-ancang, kemudian dengan secepat kilat Sharon berlari kabur dari hadapan pria itu.

Jelas pria itu tak membiarkannya begitu saja, pria itu turut berlari mengejar Sharon. Membuat aksi kejar-kejaran di area itu terjadi.

Sharon berlari sekuat tenaga saat mengetahui pria tadi balik mengejarnya, dirinya berlari tanpa melihat sekitar hingga tak sadar kakinya tersandung sebuah batu dari aspal yang sudah rusak, membuat gadis itu terjatuh.

Diatas jalanan tidak rata nan gelap itu, Sharon meringis, belum sempat meresapi rasa sakit akibat jatuh tadi, lengan Sharon sudah di tarik kencang hingga gadis itu dipaksa untuk berdiri.

“AAAAAARGH!” Sharon berteriak saat pria preman tadi melakukan aksi tersebut pada Sharon.

“Kabur dari saya hm?” Pria itu bertanya dengan nada seram sambil mencengkram bahu Sharon dengan sangat kuat, membuat gadis itu meringis kesakitan.

“Padahal tadinya saya nggak mau ngapa-ngapain loh mbak, tapi karena sikap mbak kayak gini sama saya, sekalian saya jahatin aja kalo gitu, hahaha.” Pria itu tertawa, sementara Sharon sudah menangis melihatnya.

Pria itu mengedarkan pandangannya kesekeliling, melihat tempat yang dirasa tepat untuk melakukan sesuatu pada Sharon yang kini lengannya tengah di cengkram kua-kuat.

“Sini ikut saya!” Pria itu menarik paksa lengan Sharon, jelas gadis itu memberontak dengan sekuat mungkin agar tidak terseret oleh tarikan paksa pria itu.

“LEPASSSIN!” Sharon mengucapkannya sambil berteriak, berharap seseorang mendengar lalu membantunya.

Pria itu terus menarik paksa lengan Sharon, sebab kalah tenaga, gadis itu terus terseret. Sharon-pun memutar otaknya, gadis itu kemudian menggigit lengan pria itu. “ARGHH!”

Pria itu berteriak kesakitan, kesempatan itu digunakan oleh Sharon untuk segera kabur. Sadar akan hal itu, pria tadi langsung buru-buru mengejar Sharon, ditengah aksi kejar mengejar yang kembali terjadi itu, sebuah mobil muncul hingga hampir menabrak Sharon.

“AAAAAAAAAA.” Sharon ambruk di jalanan, meski tidak tertabrak, lagaknya tubuh gadis itu reflek terjatuh.

Seorang pria keluar dari dalam mobil tadi, melihat itu buru-buru Sharon berteriak meminta bantuan. “TOLONGGGGG”

“TOLONGIN SAYA MAS!” Sambil berdiri tertatih-tatih Sharon berlari kearah pria yang baru saja keluar dari mobil tadi. Sharon sedikit limbung, hampir terjatuh lagi kalau saja pria ini tidak menangkap tubuhnya.

Sharon masih kelabakan, kepala gadis itu masih menengok kearah belakang beberapa kali, terlihat oleh gadis itu, siluet bayangan pria preman tadi masih ada disana. “Mas tolong— Ha..Haris?!”

“Sharon?! Baik Sharon maupun Haris terkejut. Namun tak lama sebab Sharon kembali bereaksi dengan panik.

“Ris.. to- tolongin gue ris!” Dengan terbata-bata Sharon berucap.

“Gue di kejar orang jahat ris! gu-gue..” Sharon bahkan tak bisa menyelesaikan kalimatnya, gadis itu kembali menoleh kearah belakang, ternyata pria preman tadi sudah hilang, membuat rasa panik gadis itu kini berkurang.

“Siapa yang ngejar lo Shaa?” Kepala Haris kemudian celingukan berusaha mencari orang yang mengejar Sharon.

“Udah pergi! udah pergi!” Sharon berucap dengan cepat. Tubuhnya langsung terasa lemas, hingga akhirnya Sharon merosot ke jalanan.

Haris yang tadi sedang tak sigap merasa panik. Pria itu kemudian berjongkok untuk meraih kembali Sharon yang tengah terduduk dengan lemas diatas aspal jalan.

Belum sampai membuat Sharon kembali berdiri, Haris tersadar sesuatu. Dan demi Tuhan itu gila!

“Astaga Shaa! lo luka-luka!”



23.30

Sharon ingat kisaran waktu saat ia berlari keluar sebab lampu kost-nya yang tiba-tiba meledak. Dan kini rasanya ia sudah menunggu sekitar 30 menit, atau malah lebih?

Sharon memeluk dirinya-sendiri sebab angin malam yang menerpa dirinya membuat ia merasa sedikit menggigil.

Sharon mengedarkan pandangannya kesekeliling, suasananya amat sepi, sebab sudah masuk tengah malam.

“Kok lama ya?” Gumam Sharon, gadis itu celingukan menunggu Jessen yang tadi bilang padanya akan segera datang.

Tanpa disadari oleh Sharon. Di balik sebuah tembok rumah warga, seorang pria sedari tadi memperhatikan gerak-geriknya, dan kini pria itu tengah berjalan dari tempatnya berdiri untuk menghampiri Sharon.

“Mbak.” Sharon tersentak, sebab pria itu memanggil sembari memegang bahu Sharon.

Sharon memperhatikan sejenak, pria itu mengenakan kaos hijau army dengan celana jeans sobek-sobek, di antara jemarinya terapit sebatang rokok yang sudah menyala, persis penampilan seorang preman.

Yang mana hal itu jelas membuat Sharon duakali lebih siaga, entah mengapa perasaannya tidak enak.

“Iya mas?” Dengan perasaan takutnya, Sharon membalas panggilan pria itu.

“Lagi ngapain mbak? malem-malem gini sendirian.” Setelah menghisap batang rokoknya, pria itu-pun bertanya lagi.

Sharon tersenyum kikuk, dengan perasaan canggung dan cemas gadis itu-pun menjawab pertanyaan dari pria itu. “Lagi nyari bapak yang biasa jaga kost mas.”

Pria itu menganggukan kepalanya. “Berarti area kost lagi gak ada yang jaga ya mbak?”

Dituding pertanyaan demikian, entah mengapa rasa takut Sharon kian membesar, terlebih saat dilihatnya pria itu celingukan seakan memastikan kawasan ini benar-benar sepi.

Tanpa sadar Sharon berjalan mundur sedikit menjauh dari pria itu, entah mengapa Sharon merasakan bahwa saat ini ia berada dalam situasi bahaya.

Melihat Sharon mundur, pria itu terkekeh pelan. “Ngapain mundur-mundur gitu mbak?” “Jijik sama saya?”

Pria itu membuang kasar batang rokoknya, kemudian berjalan mendekati Sharon. Jelas Sharon dengan cepat menghindar menjauhi pria itu.

Kini pria itu berdecih, sambil meludah pria itu-pun menatap tajam pada Sharon. “Kalo mbak begini, saya tersinggung loh mbak.”

Baiklah. Ini sudah jelas-jelas bahaya. Sharon-pun memasang ancang-ancang, kemudian dengan secepat kilat Sharon berlari kabur dari hadapan pria itu.

Jelas pria itu tak membiarkannya begitu saja, pria itu turut berlari mengejar Sharon. Membuat aksi kejar-kejaran di area itu terjadi.

Sharon berlari sekuat tenaga saat mengetahui pria tadi balik mengejarnya, dirinya berlari tanpa melihat sekitar hingga tak sadar kakinya tersandung sebuah batu dari aspal yang sudah rusak, membuat gadis itu terjatuh.

Diatas jalanan tidak rata nan gelap itu, Sharon meringis, belum sempat meresapi rasa sakit akibat jatuh tadi, lengan Sharon sudah di tarik kencang hingga gadis itu dipaksa untuk berdiri.

“AAAAAARGH!” Sharon berteriak saat pria preman tadi melakukan aksi tersebut pada Sharon.

“Kabur dari saya hm?” Pria itu bertanya dengan nada seram sambil mencengkram bahu Sharon dengan sangat kuat, membuat gadis itu meringis kesakitan.

“Padahal tadinya saya nggak mau ngapa-ngapain loh mbak, tapi karena sikap mbak kayak gini sama saya, sekalian saya jahatin aja kalo gitu, hahaha.” Pria itu tertawa, sementara Sharon sudah menangis melihatnya.

Pria itu mengedarkan pandangannya kesekeliling, melihat tempat yang dirasa tepat untuk melakukan sesuatu pada Sharon yang kini lengannya tengah di cengkram kua-kuat.

“Sini ikut saya!” Pria itu menarik paksa lengan Sharon, jelas gadis itu memberontak dengan sekuat mungkin agar tidak terseret oleh tarikan paksa pria itu.

“LEPASSSIN!” Sharon mengucapkannya sambil berteriak, berharap seseorang mendengar lalu membantunya.

Pria itu terus menarik paksa lengan Sharon, sebab kalah tenaga, gadis itu terus terseret. Sharon-pun memutar otaknya, gadis itu kemudian menggigit lengan pria itu. “ARGHH!”

Pria itu berteriak kesakitan, kesempatan itu digunakan oleh Sharon untuk segera kabur. Sadar akan hal itu, pria tadi langsung buru-buru mengejar Sharon, ditengah aksi kejar mengejar yang kembali terjadi itu, sebuah mobil muncul hingga hampir menabrak Sharon.

“AAAAAAAAAA.” Sharon ambruk di jalanan, meski tidak tertabrak, lagaknya tubuh gadis itu reflek terjatuh.

Seorang pria keluar dari dalam mobil tadi, melihat itu buru-buru Sharon berteriak meminta bantuan. “TOLONGGGGG”

“TOLONGIN SAYA MAS!” Sambil berdiri tertatih-tatih Sharon berlari kearah pria yang baru saja keluar dari mobil tadi. Sharon sedikit limbung, hampir terjatuh lagi kalau saja pria ini tidak menangkap tubuhnya.

Sharon masih kelabakan, kepala gadis itu masih menengok kearah belakang beberapa kali, terlihat oleh gadis itu, siluet bayangan pria preman tadi masih ada disana. “Mas tolong— Ha..Haris?!”

“Sharon?! Baik Sharon maupun Haris terkejut. Namun tak lama sebab Sharon kembali bereaksi dengan panik.

“Ris.. to- tolongin gue ris!” Dengan terbata-bata Sharon berucap.

“Gue di kejar orang jahat ris! gu-gue..” Sharon bahkan tak bisa menyelesaikan kalimatnya, gadis itu kembali menoleh kearah belakang, ternyata pria preman tadi sudah hilang, membuat rasa panik gadis itu kini berkurang.

“Siapa yang ngejar lo Shaa?” Kepala Haris kemudian celingukan berusaha mencari orang yang mengejar Sharon.

“Udah pergi! udah pergi!” Sharon berucap dengan cepat. Tubuhnya langsung terasa lemas, hingga akhirnya Sharon merosot ke jalanan.

Haris yang tadi sedang tak sigap merasa panik. Pria itu kemudian berjongkok untuk meraih kembali Sharon yang tengah terduduk dengan lemas diatas aspal jalan.

Belum sampai membuat Sharon kembali berdiri, Haris tersadar sesuatu. Dan demi Tuhan itu gila!

“Astaga Shaa! lo luka-luka!”



Jessen menghentikan mobilnya di area parkir sebuah café. Matanya menatap lurus kedepan, giginya gemeretak menahan sesuatu, entah apa itu.

Jessen masih belum turun, ia masih duduk di kursi kemudinya, menatap lama kearah pintu café. Nafasnya sedikit memburu, memikirkan berulang kali apakah keputusannya datang kesini tepat atau tidak.

Jessen kemudian memutuskan untuk turun dari mobil, berjalan masuk kedalam café. Pria itu berdiri diambang pintu café, mengedarkan pandangannya untuk mencari sosok itu.

Tak lama mata Jessen menangkap seorang gadis yang juga melihat kearahnya. Seketika Jessen menegang, dia benar-benar kembali.

Jessen menahan napas sesaat, tangannya mengepal dan entah mengapa matanya terasa memanas saat melihat bahwa Cassandra, gadis yang dulu merupakan pujaan hatinya itu betul-betul berada di sana.

Jessen menghembuskan nafasnya berusaha menenangkan diri, pria itu kemudian melangkahkan kaki menghampiri tempat dimana Cassandra tengah duduk.

“Kamu datang, Je..” Samar, Jessen melihat gadis itu tersenyum tipis, dan Jessen benci itu, sebab dahulu, senyum itu merupakan senyuman favoritnya. Senyuman yang mampu membuat dirinya luluh akan apapun kesalahan yang gadis itu perbuat padanya.


“Langsung aja, apa yang mau lo omongin.” Jessen menuding dengan nada dingin.

“Pesen minum dulu Je, aku haus.” Entah apa yang gadis di hadapannya itu berusaha lakukan, namun entah mengapa Jessen hanya bisa diam.

“Mas, saya pesen ice vanilla latte satu ya, sama..” Cassandra memutar perhatiannya pada Jessen, pria yang tengah duduk dengan wajah garangnya.

“Espresso?” Cassandra melontarkan pertanyaan itu pada Jessen. Memastikan bahwa pria itu masih dengan seleranya.

“Terserah.” Jessen memalingkan wajahnya.

“Sama espresso satu mas.” Akhirnya Cassandra melanjutkan. Setelah sang waiters tadi undur diri, kini mereka berdua saling diam.

“Je..” Panggil Cassandra sedikit hati-hati. Jessen yang sedari tadi sibuk memandangi hal lain selain gadis dihadapanya itu-pun kini mau tak mau memandang gadis itu.

“Soal kita dulu..” Cassandra membuka pembicaraan mereka.

“Aku waktu itu terpaksa, Je..”

“Aku di paksa daddy buat deketin Marco, alasannya satu, lewat Marco, aku bisa bikin papa Marco mau suntikin dana di perusahaan daddy.”

“Perusahaan daddy waktu itu lagi diambang kebangkrutan, Je.” Cassandra terlihat menunduk saat menjelaskan situasinya dulu. Situasi mengapa ia meninggalkan Jessen untuk berkencan dengan pria bernama Marco.

“Terus kenapa lo gak minta bantuan gue aja?” Jessen bertanya sambil ia melemparkan tatapan dinginnya.

“Kalo alesan lo ninggalin gue karena suntikan dana atau apalah itu, gue juga bisa bantu.” Jessen menyunggingkan senyumnya. “Oh atau bokap gue kurang kaya kalo dibandingin sama bokapnya Marco?”

“Je..” Cassandra terdengar melirih.

“Nggak gitu, Je..” Gadis itu mengangkat kepalanya yang semula tertunduk, terlihat jelas kini bahwa mata jernih itu terlihat berkaca-kaca.

“Terus alasan lo balik kesini apa?” Jessen mengalihkan pandangannya sesaat pada area lain selain mata gadis itu.

Mendapat pertanyaan itu, Cassandra kembali menundukan kepalanya. “Daddy meninggal..”

Kini atensi Jessen teralih sepenuhnya pada Cassandra, keningnya sedikit mengerut sebab terkejut mendengar pernyataan gadis itu.

“Aku udah gak bisa tinggal lebih lama di Canada, Je.” Gadis itu kian menunduk, kini bahunya terlihat sedikit bergetar.

“Udah gak ada daddy yang bisa biayain kehidupan aku disana.”