sugarloaf


Jessen menghentikan mobilnya di area parkir sebuah café. Matanya menatap lurus kedepan, giginya gemeretak menahan sesuatu, entah apa itu.

Jessen masih belum turun, ia masih duduk di kursi kemudinya, menatap lama kearah pintu café. Nafasnya sedikit memburu, memikirkan berulang kali apakah keputusannya datang kesini tepat atau tidak.

Jessen kemudian memutuskan untuk turun dari mobil, berjalan masuk kedalam café. Pria itu berdiri diambang pintu café, mengedarkan pandangannya untuk mencari sosok itu.

Tak lama mata Jessen menangkap seorang gadis yang juga melihat kearahnya. Seketika Jessen menegang, dia benar-benar kembali.

Jessen menahan napas sesaat, tangannya mengepal dan entah mengapa matanya terasa memanas saat melihat bahwa Cassandra, gadis yang dulu merupakan pujaan hatinya itu betul-betul berada di sana.

Jessen menghembuskan nafasnya berusaha menenangkan diri, pria itu kemudian melangkahkan kaki menghampiri tempat dimana Cassandra tengah duduk.

“Kamu datang, Je..” Samar, Jessen melihat gadis itu tersenyum tipis, dan Jessen benci itu, sebab dahulu, senyum itu merupakan senyuman favoritnya. Senyuman yang mampu membuat dirinya luluh akan apapun kesalahan yang gadis itu perbuat padanya.


“Langsung aja, apa yang mau lo omongin.” Jessen menuding dengan nada dingin.

“Pesen minum dulu Je, aku haus.” Entah apa yang gadis di hadapannya itu berusaha lakukan, namun entah mengapa Jessen hanya bisa diam.

“Mas, saya pesen ice vanilla latte satu ya, sama..” Cassandra memutar perhatiannya pada Jessen, pria yang tengah duduk dengan wajah garangnya.

“Espresso?” Cassandra melontarkan pertanyaan itu pada Jessen. Memastikan bahwa pria itu masih dengan seleranya.

“Terserah.” Jessen memalingkan wajahnya.

“Sama espresso satu mas.” Akhirnya Cassandra melanjutkan. Setelah sang waiters tadi undur diri, kini mereka berdua saling diam.

“Je..” Panggil Cassandra sedikit hati-hati. Jessen yang sedari tadi sibuk memandangi hal lain selain gadis dihadapanya itu-pun kini mau tak mau memandang gadis itu.

“Soal kita dulu..” Cassandra membuka pembicaraan mereka.

“Aku waktu itu terpaksa, Je..”

“Aku di paksa daddy buat deketin Marco, alasannya satu, lewat Marco, aku bisa bikin papa Marco mau suntikin dana di perusahaan daddy.”

“Perusahaan daddy waktu itu lagi diambang kebangkrutan, Je.” Cassandra terlihat menunduk saat menjelaskan situasinya dulu. Situasi mengapa ia meninggalkan Jessen untuk berkencan dengan pria bernama Marco.

“Terus kenapa lo gak minta bantuan gue aja?” Jessen bertanya sambil ia melemparkan tatapan dinginnya.

“Kalo alesan lo ninggalin gue karena suntikan dana atau apalah itu, gue juga bisa bantu.” Jessen menyunggingkan senyumnya. “Oh atau bokap gue kurang kaya kalo dibandingin sama bokapnya Marco?”

“Je..” Cassandra terdengar melirih.

“Nggak gitu, Je..” Gadis itu mengangkat kepalanya yang semula tertunduk, terlihat jelas kini bahwa mata jernih itu terlihat berkaca-kaca.

“Terus alasan lo balik kesini apa?” Jessen mengalihkan pandangannya sesaat pada area lain selain mata gadis itu.

Mendapat pertanyaan itu, Cassandra kembali menundukan kepalanya. “Daddy meninggal..”

Kini atensi Jessen teralih sepenuhnya pada Cassandra, keningnya sedikit mengerut sebab terkejut mendengar pernyataan gadis itu.

“Aku udah gak bisa tinggal lebih lama di Canada, Je.” Gadis itu kian menunduk, kini bahunya terlihat sedikit bergetar.

“Udah gak ada daddy yang bisa biayain kehidupan aku disana.”



“Nginep aja ya?” Jessen lontarkan penawaran itu pada Sharon. Gadis itu tengah menelungkupkan wajah diantara lipatan tangan yang berada diatas meja, di depannya ada laptop milik Sharon yang masih menyala.

Waktu menunjukan pukul dua dini hari, dimana pantas saja Jessen menawarkan hal demikian pada Sharon. Sebab rasanya tidak mungkin mengantar gadis itu pulang ke kostan-nya saat jam sudah sangat larut seperti ini.

Sharon mengangkat wajahnya, menopang dagu dengan kedua tangannya sembari berusaha membuka matanya yang memberat.

“Hm..” Hanya gumaman yang Jessen dapatkan. Mau tak mau pria itu mendekat pada Sharon.

“Ca..” Panggil Jessen diiringi dengan tangan pria itu mengelus kepala Sharon.

Sharon-pun membuka matanya, berusaha meraup kesadarannya yang masih tersisa.

“Hm?” Mata Sharon terbuka, gadis itu menoleh kearah samping dimana Jessen berada.

“Mau nginep disini atau pulang?” Tanya Jessen sekali lagi. Takut-takut Sharon tak mau menginap di apartement-nya.

“Emang boleh?” Sharon malah balik bertanya dengan mata kantuknya, Jessen sempat tersenyum kecil saat mendapati wajah Sharon yang terlihat begitu lucu.

“Boleh.” Ucap Jessen. Sharon diam, mata gadis itu kemudian terpejam kembali hingga kepalanya hampir jatuh ke meja.

Jessen reflek menahan kepala Sharon hingga akhirnya lengan Jessen yang berbenturan dengan meja.

“Udah, beneran nginep disini aja.” Gumam Jessen seraya menyandarkan kepala Sharon pada lengannya.


“Iyeel...”

Jessen yang tengah menghisap sebatang rokok-pun menolehkan kepalanya, pria itu sedikit terkejut saat melihat Sharon yang kini berdiri di depan pintu kamar Jessen.

Jessen mematikan rokoknya dengan cara menekan batang beracun itu pada asbak, pria itu kemudian berjalan menghampiri Sharon.

“Hey.. kok bangun?” Tanyanya saat sudah berada dihadapan Sharon. Gadis itu tak merespon, hanya saja tiba-tiba Sharon memeluk Jessen begitu erat, membuat pria itu tersentak kaget.

“Why? did you have a bad dream?” Jessen-pun bertanya sembari membalas pelukan erat Sharon.

Dalam dekapan Jessen, terasa Sharon menganggukan kepalanya, gadis itu kemudian mendongak untuk menatap Jessen setelah sedikit melonggarkan pelukannya.

“I dreamed you left me...” Sharon mencicit pelan hampir menangis saat mengungkapkannya. Jessen yang melihatnya mengerutkan kening sesaat lalu kembali membawa kepala Sharon kedalam dekapannya.

“What a bad dream..” Gumam Jessen seraya menempatkan dagunya diatas kepala Sharon, tangan pria itu semakin aktif mengelus punggung Sharon agar gadis itu merasa tenang.

“And u know what?” Sharon masih berujar meski terdengar pelan dan kurang jelas sebab saat mengatakannya, wajah Sharon masih tenggelam dalam dekapan Jessen.

Sharon mengangkat kembali wajahnya, masih berada dekapan Jessen hanya saja kini suara Sharon terdengar sangat jelas saat gadis itu berkata “U left me because of her..”

Kening Jessen berkerut saat mendengar perkataan Sharon, her? mungkinkah..

“Her?” Jessen bertanya memastikan pada Sharon, bahwa gadis itu telah mengetahui sesuatu tentang 'dia'.

Detik berikutnya, Jessen dibuat mematung, sebab Sharon betul-betul menjawab kebingungannya.

“Cassandra.” Dengan jelas Sharon sebutkan namanya, nama gadis dari masa lalu Jessen yang selama ini Jessen kira, Sharon tak tahu menahu tentang itu.



“Gue di depan Ca.”

Sharon membaca pesan yang Jessen kirimkan padanya, ia-pun bergegas keluar dari kamar kostnya untuk segera menemui Jessen.

Sembari memakai sepatu di teras kamar kostnya, Sharon melihat kearah Jessen yang tengah stand by berdiri sambil bersandar pada mobil, menunggui dirinya.

Sharon berlari-lari kecil saat menghampiri Jessen. “Jangan lari-lari Ca.” Jessen memperingati, sebab jalanan depan kostan Sharon itu tidak rata, banyak batu-batu yang mencuat akibat aspal jalan yang terkikis.

“Halo pacar!” Sapa Sharon dengan riang hati saat sampai di hadapan Jessen, membuat pria yang kini menyandang status sebagai pacarnya itupun tertawa.

“Halo juga pacar!” Jessen membungkukan badannya seraya mengacak-ngacak pelan puncak kepala Sharon.

Mereka berdua saling bertatapan, lalu kemudian tertawa secara bersamaan, suasana diluar-pun lagaknya menjadi sehangat perasaan mereka, baik Jessen maupun Sharon betul-betul tengah dibuat tenggelam oleh perasaan masing-masing.

“Let's go, babe!” Jessen bersuara, mendengarnya Sharon kembali tertawa. Jessen meraih pergelangan tangan Sharon, lalu membawa gadis itu masuk kedalam mobil yang pintunya sudah ia bukakan.



“Sepi banget deh.” Sharon bergumam dalam perjalanan menuju unit apartement Jessen, gadis itu menoleh ke kiri dan ke kanan, mengamati setiap sudut lorong yang tengah di lewatinya.

“Ini kalo ada yang meninggal aja kayaknya gak bakalan ada yang tahu.” Sharon masih dengan gumamannya pada diri sendiri, Jessen yang berjalan disamping Sharon hanya terkekeh pelan.

Jessen meraih tangan Sharon, gadis yang sejak tadi tengah celingukan mengamati detail area apartement ini pun sempat tersentak kaget. Sharon menoleh mendapati Jessen yang hanya mengangkat kedua alisnya sambil melempar senyum pada Sharon.

“Udah seneng gandeng tangan gue ya?” Sambil mengayun-ngayunkan tangan yang tengah Jessen genggam, Sharon bertanya menggoda pria itu.

Jessen tertawa mendapati pertanyaan Sharon yang seperti itu. “Iya nih kayaknya. Lo siap gue gandeng sampai pelaminan gak?”

Kini giliran Sharon yang dibuat tertawa, gadis itu menggelengkan kepalanya, sebab jawaban Jessen tadi benar-benar terdengar menggelikan.


Sharon bergegas masuk setelah Jessen membuka pintu apartementnya.

“Woah...” Sharon menelusuri setiap sudut yang ada di ruangan apartement kediaman Jessen, gadis itu bergerak berpindah mulai dari sofa, dapur, hingga kamar mandi-pun tak luput dari penelusuran Sharon.

Jessen hanya mengamati, membiarkan Sharon yang tengah berkeliling mengadakan room tour pribadi di apartemennya.

Dilihatnya Sharon yang kini beralih tempat pada kaca besar yang berada di seberang sofa dan televisi. Kaca besar nan lebar pengganti dinding itu berhadapan langsung dengan pemandangan luar, dimana gedung-gedung tinggi berjajar tak beraturan, namun terlihat menakjubkan.

“Ini kalo malem pasti cantik banget deh pemandangannya.” Gadis itu bergumam penasaran sekaligus takjub saat mengamati pemandangan yang tengah dilihatnya.

Sharon berdiri tepat di tengah-tengah kaca besar itu, Jessen-pun bergerak menghampiri.

“Nanti lo bisa lihat, mau disini sampai malem kan?” Sharon menoleh pada Jessen. “Gue beneran boleh disini sampai malem?”

Jessen mengangkat bahunya. “Ya kenapa harus gak boleh?”

Mendengar ucapan Jessen, Sharon tersenyum ceria. “Asik! makasih yah!” Gadis itu bahkan melompat kegirangan, melihatnya Jessen hanya tersenyum kecil lalu menganggukan kepalanya.


“IH DIEM JANGAN GERAK-GERAK WOY!” Sharon mengeraskan suara saat lagi-lagi harus memperingati Jessen untuk tidak bergerak.

“Gue gak ngerasa gerak anjir?!” Jessen memprotes tak terima.

“Orang kerasa di gue! lo itu gerak!” Sharon mencerca. Gadis itu kemudian melanjutkan acara menggambar bentuk setengah love di pipi Jessen.

Sharon tadi merengek pada Jessen meminta agar pria itu mau membuat konten tik-tok yang tengah viral bersama dengannya.

Jessen yang tak kuasa menolak-pun akhirnya mengiyakan permintaan Sharon, dan jadilah seperti ini.

“Ih udah! lucu banget hahaha.” Sharon tertawa melihat pipi kanan Jessen yang setengahnya sudah tercoret oleh lipsticks miliknya.

“Sini tinggal di tempelin ke pipi gue.” Ucap Sharon. Gadis itu bergerak mendekat hingga pipi Sharon kini berada persis di sebelah pipi Jessen.

Sharon meraih sisi lain wajah Jessen yang tidak tergambar oleh lipsticks tadi untuk mendorongnya hingga pipi mereka benar-benar menempel.

“Kira-kira udah nyetak belum ya?” Tanya Sharon, pipi keduanya masih menempel satu sama lain.

“Belum, bentar lagi.” Jessen menjawab dengan senyuman tersembunyinya.

Tangannya yang semula diam kini bergerak ikut meraih sisi wajah Sharon yang tidak menempel dengannya, ikut menekan sisi itu hingga kedua pipi mereka semakin menempel.

“Udah deh kayaknya.” Cletuk Sharon. Selepasnya gadis itu berusaha melepas pipinya yang menempel pada pipi Jessen, namun pria itu menahannya.

“Nanti, gue yakin ini masih belum nyetak.” Ucap Jessen terdengar sangat yakin. Sharon hanya mengernyit heran, masa sih? rasa-rasanya di video yang di tontonnya tadi, sesi menempelkan pipi ini tidak terlalu lama.

“Emang iya belum nyetak?” Jessen mengangguk pelan agar gerakannya tak membuat cetakan love yang tengah dirinya dan Sharon buat itu menjadi berantakan.

“Iya, percaya deh sama gue.”



“Sepi banget deh.” Sharon bergumam dalam perjalanan menuju unit apartement Jessen, gadis itu menoleh ke kiri dan ke kanan, mengamati setiap sudut lorong yang tengah di lewatinya.

“Ini kalo ada yang meninggal aja kayaknya gak bakalan ada yang tahu.” Sharon masih dengan gumamannya pada diri sendiri, Jessen yang berjalan disamping Sharon hanya terkekeh pelan.

Jessen meraih tangan Sharon, gadis yang sejak tadi tengah celingukan mengamati detail area apartement ini pun sempat tersentak kaget. Sharon menoleh mendapati Jessen yang hanya mengangkat kedua alisnya sambil melempar senyum pada Sharon.

“Udah seneng gandeng tangan gue ya?” Sambil mengayun-ngayunkan tangan yang tengah Jessen genggam, Sharon bertanya menggoda pria itu.

Jessen tertawa mendapati pertanyaan Sharon yang seperti itu. “Iya nih kayaknya. Lo siap gue gandeng sampai pelaminan gak?”

Kini giliran Sharon yang dibuat tertawa, gadis itu menggelengkan kepalanya, sebab jawaban Jessen tadi benar-benar terdengar menggelikan.


Sharon bergegas masuk setelah Jessen membuka pintu apartementnya.

“Woah...” Sharon menelusuri setiap sudut yang ada di ruangan apartement kediaman Jessen, gadis itu bergerak berpindah mulai dari sofa, dapur, hingga kamar mandi-pun tak luput dari penelusuran Sharon.

Jessen hanya mengamati, membiarkan Sharon yang tengah berkeliling mengadakan room tour pribadi di apartemennya.

Dilihatnya Sharon yang kini beralih tempat pada kaca besar yang berada di seberang sofa dan televisi. Kaca besar nan lebar pengganti dinding itu berhadapan langsung dengan pemandangan luar, dimana gedung-gedung tinggi berjajar tak beraturan, namun terlihat menakjubkan.

“Ini kalo malem pasti cantik banget deh pemandangannya.” Gadis itu bergumam penasaran sekaligus takjub saat mengamati pemandangan yang tengah dilihatnya.

Sharon berdiri tepat di tengah-tengah kaca besar itu, Jessen-pun bergerak menghampiri.

“Nanti lo bisa lihat, mau disini sampai malem kan?” Sharon menoleh pada Jessen. “Gue beneran boleh disini sampai malem?”

Jessen mengangkat bahunya. “Ya kenapa harus gak boleh?”

Mendengar ucapan Jessen, Sharon tersenyum ceria. “Asik! makasih yah!” Gadis itu bahkan melompat kegirangan, melihatnya Jessen hanya tersenyum kecil lalu menganggukan kepalanya.


“IH DIEM JANGAN GERAK-GERAK WOY!” Sharon mengeraskan suara saat lagi-lagi harus memperingati Jessen untuk tidak bergerak.

“Gue gak ngerasa gerak anjir?!” Jessen memprotes tak terima.

“Orang kerasa di gue! lo itu gerak!” Sharon mencerca. Gadis itu kemudian melanjutkan acara menggambar bentuk setengah love di pipi Jessen.

Sharon tadi merengek pada Jessen meminta agar pria itu mau membuat konten tik-tok yang tengah viral bersama dengannya.

Jessen yang tak kuasa menolak-pun akhirnya mengiyakan permintaan Sharon, dan jadilah seperti ini.

“Ih udah! lucu banget hahaha.” Sharon tertawa melihat pipi kanan Jessen yang setengahnya sudah tercoret oleh lipsticks miliknya.

“Sini tinggal di tempelin ke pipi gue.” Ucap Sharon. Gadis itu bergerak mendekat hingga pipi Sharon kini berada persis di sebelah pipi Jessen. Sharon meraih sisi wajah Jessen yang tidak tergambar oleh lipsticks untuk mendorongnya hingga pipi mereka benar-benar menempel.

“Kira-kira udah nyetak belum ya?” Tanya Sharon, pipi keduanya masih menempel satu sama lain.

“Belum, bentar lagi.” Jessen menjawab dengan senyuman tersembunyinya.

Tangannya yang semula diam kini bergerak ikut meraih sisi wajah Sharon yang tidak menempel dengannya, ikut menekan sisi itu hingga kedua pipi mereka semakin menempel.

“Udah deh kayaknya.” Cletuk Sharon. Selepasnya gadis itu berusaha melepas pipinya yang menempel pada pipi Jessen, namun pria itu menahannya.

“Nanti, gue yakin ini masih belum nyetak.” Ucap Jessen terdengar sangat yakin. Sharon hanya mengernyit heran, masa sih? rasa-rasanya di video yang di tontonnya tadi, sesi menempelkan pipi ini tidak terlalu lama.

“Emang iya belum nyetak?” Jessen mengangguk pelan agar gerakannya tak membuat cetakan love yang tengah dirinya dan Sharon buat itu menjadi berantakan.

“Iya, percaya deh sama gue.”



“Sepi banget deh.” Sharon bergumam dalam perjalanan menuju unit apartement Jessen, gadis itu menoleh ke kiri dan ke kanan, mengamati setiap sudut lorong yang tengah di lewatinya.

“Ini kalo ada yang meninggal aja kayaknya gak bakalan ada yang tahu.” Sharon masih dengan gumamannya pada diri sendiri, Jessen yang berjalan disamping Sharon hanya terkekeh pelan.

Jessen meraih tangan Sharon, gadis yang sejak tadi tengah celingukan mengamati detail area apartement ini pun sempat tersentak kaget. Sharon menoleh mendapati Jessen yang hanya mengangkat kedua alisnya sambil melempar senyum pada Sharon.

“Udah seneng gandeng tangan gue ya?” Sambil mengayun-ngayunkan tangan yang tengah Jessen genggam, Sharon bertanya menggoda pria itu.

Jessen tertawa mendapati pertanyaan Sharon yang seperti itu. “Iya nih kayaknya. Lo siap gue gandeng sampai pelaminan gak?”

Kini giliran Sharon yang dibuat tertawa, gadis itu menggelengkan kepalanya, sebab jawaban Jessen tadi benar-benar terdengar menggelikan.


Sharon bergegas masuk setelah Jessen membuka pintu apartementnya.

“Woah...” Sharon menelusuri setiap sudut yang ada di ruangan apartement kediaman Jessen, gadis itu bergerak berpindah mulai dari sofa, dapur, hingga kamar mandi-pun tak luput dari penelusuran Sharon.

Jessen hanya mengamati, membiarkan Sharon yang tengah berkeliling mengadakan room tour pribadi di apartemennya.

Dilihatnya Sharon yang kini beralih tempat pada kaca besar yang berada di seberang sofa dan televisi. Kaca besar nan lebar pengganti dinding itu berhadapan langsung dengan pemandangan luar, dimana gedung-gedung tinggi berjajar tak beraturan, namun terlihat menakjubkan.

“Ini kalo malem pasti cantik banget deh pemandangannya.” Gadis itu bergumam penasaran sekaligus takjub saat mengamati pemandangan yang tengah dilihatnya.

Sharon berdiri tepat di tengah-tengah kaca besar itu, Jessen-pun bergerak menghampiri.

“Nanti lo bisa lihat, mau disini sampai malem kan?” Sharon menoleh pada Jessen. “Gue beneran boleh disini sampai malem?”

Jessen mengangkat bahunya. “Ya kenapa harus gak boleh?”

Mendengar ucapan Jessen, Sharon tersenyum ceria. “Asik! makasih yah!” gadis itu bahkan melompat kegirangan, melihatnya Jessen hanya tersenyum kecil sambil menganggukan kepala.


“IH DIEM JANGAN GERAK-GERAK WOY!” Sharon mengeraskan suara saat lagi-lagi harus memperingati Jessen untuk tidak bergerak.

“Gue gak ngerasa gerak anjir?!” Jessen memprotes tak terima.

“Orang kerasa di gue! lo itu gerak!” Sharon mencerca. Gadis itu kemudian melanjutkan acara menggambar bentuk setengah love di pipi Jessen.

Sharon tadi merengek pada Jessen meminta agar pria itu mau membuat konten tik-tok yang tengah viral bersama dengannya.

Jessen yang tak kuasa menolak-pun akhirnya mengiyakan permintaan Sharon, dan jadilah seperti ini.

“Ih udah! lucu banget hahaha.” Sharon tertawa melihat pipi kanan Jessen yang setengahnya sudah tercoret oleh lipsticks miliknya.

“Sini tinggal di tempelin ke pipi gue.” Ucap Sharon. Gadis itu bergerak mendekat hingga pipi Sharon kini berada persis di sebelah pipi Jessen. Sharon meraih sisi wajah Jessen yang tidak tergambar oleh lipsticks untuk mendorongnya hingga pipi mereka benar-benar menempel.

“Kira-kira udah nyetak belum ya?” Tanya Sharon, pipi keduanya masih menempel satu sama lain.

“Belum, bentar lagi.” Jessen menjawab dengan senyuman tersembunyinya.

Tangannya yang semula diam kini bergerak ikut meraih sisi wajah Sharon yang tidak menempel dengannya, ikut menekan sisi itu hingga kedua pipi mereka semakin menempel.

“Udah deh kayaknya.” Cletuk Sharon. Selepasnya gadis itu berusaha melepas pipinya yang menempel pada pipi Jessen, namun pria itu menahannya.

“Nanti, gue yakin ini masih belum nyetak.” Ucap Jessen terdengar sangat yakin. Sharon hanya mengernyit heran, masa sih? rasa-rasanya di video yang di tontonnya tadi, sesi menempelkan pipi ini tidak terlalu lama.

“Emang iya belum nyetak?” Jessen mengangguk pelan agar gerakannya tak membuat cetakan love yang tengah dirinya dan Sharon buat itu menjadi berantakan.

“Iya, percaya deh sama gue.”



“Sepi banget deh.” Sharon bergumam dalam perjalanan menuju unit apartement Jessen, gadis itu menoleh ke kiri dan ke kanan, mengamati setiap sudut lorong yang tengah di lewatinya.

“Ini kalo ada yang meninggal aja kayaknya gak bakalan ada yang tahu.” Sharon masih dengan gumamannya pada diri sendiri, Jessen yang berjalan disamping Sharon hanya terkekeh pelan.

Jessen meraih tangan Sharon, gadis yang sejak tadi tengah celingukan mengamati detail area apartement ini pun sempat tersentak kaget. Sharon menoleh mendapati Jessen yang hanya mengangkat kedua alisnya sambil melempar senyum pada Sharon.

“Udah seneng gandeng tangan gue ya?” Dengan mengayun-ngayunkan tangan yang tengah Jessen genggam, Sharon bertanya menggoda Jessen.

Jessen tertawa mendapati pertanyaan Sharon yang seperti itu. “Iya nih kayaknya. Lo siap gue gandeng sampai pelaminan gak?”

Kini giliran Sharon yang dibuat tertawa, gadis itu menggelengkan kepalanya, sebab jawaban Jessen tadi benar-benar terdengar menggelikan.


Sharon bergegas masuk setelah Jessen membuka pintu apartementnya.

“Woah...” Sharon menelusuri setiap sudut yang ada di ruangan apartement kediaman Jessen, gadis itu bergerak berpindah mulai dari sofa, dapur, hingga kamar mandi-pun tak luput dari penelusuran Sharon.

Jessen hanya mengamati, membiarkan Sharon yang tengah berkeliling mengadakan room tour pribadi di apartemennya.

Dilihatnya Sharon yang kini beralih tempat pada kaca besar yang berada di seberang sofa dan televisi. Kaca besar nan lebar pengganti dinding itu berhadapan langsung dengan pemandangan luar, dimana gedung-gedung tinggi berjajar tak beraturan, namun terlihat menakjubkan.

“Ini kalo malem pasti cantik banget deh pemandangannya.” Gadis itu bergumam penasaran sekaligus takjub saat mengamati pemandangan yang tengah dilihatnya.

Sharon berdiri tepat di tengah-tengah kaca besar itu, Jessen-pun bergerak menghampiri.

“Nanti lo bisa lihat, mau disini sampai malem kan?” Sharon menoleh pada Jessen. “Gue beneran boleh disini sampai malem?”

Jessen mengangkat bahunya. “Ya kenapa harus gak boleh?”

Mendengar ucapan Jessen, Sharon tersenyum ceria. “Asik! makasih yah!” gadis itu bahkan melompat kegirangan, melihatnya Jessen hanya tersenyum kecil sambil menganggukan kepala.


“IH DIEM JANGAN GERAK-GERAK WOY!” Sharon mengeraskan suara saat lagi-lagi harus memperingati Jessen untuk tidak bergerak.

“Gue gak ngerasa gerak anjir?!” Jessen memprotes tak terima.

“Orang kerasa di gue! lo itu gerak!” Sharon mencerca. Gadis itu kemudian melanjutkan acara menggambar bentuk setengah love di pipi Jessen.

Sharon tadi merengek pada Jessen meminta agar pria itu mau membuat konten tik-tok yang tengah viral bersama dengannya.

Jessen yang tak kuasa menolak-pun akhirnya mengiyakan permintaan Sharon, dan jadilah seperti ini.

“Ih udah! lucu banget hahaha.” Sharon tertawa melihat pipi kanan Jessen yang setengahnya sudah tercoret oleh lipsticks miliknya.

“Sini tinggal di tempelin ke pipi gue.” Ucap Sharon. Gadis itu bergerak mendekat hingga pipi Sharon kini berada persis di sebelah pipi Jessen. Sharon meraih sisi wajah Jessen yang tidak tergambar oleh lipsticks untuk mendorongnya hingga pipi mereka benar-benar menempel.

“Kira-kira udah nyetak belum ya?” Tanya Sharon, pipi keduanya masih menempel satu sama lain.

“Belum, bentar lagi.” Jessen menjawab dengan senyuman tersembunyinya.

Tangannya yang semula diam kini bergerak ikut meraih sisi wajah Sharon yang tidak menempel dengannya, ikut menekan sisi itu hingga kedua pipi mereka semakin menempel.

“Udah deh kayaknya.” Cletuk Sharon. Selepasnya gadis itu berusaha melepas pipinya yang menempel pada pipi Jessen, namun pria itu menahannya.

“Nanti, gue yakin ini masih belum nyetak.” Ucap Jessen terdengar sangat yakin. Sharon hanya mengernyit heran, masa sih? rasa-rasanya di video yang di tontonnya tadi, sesi menempelkan pipi ini tidak terlalu lama.

“Emang iya belum nyetak?” Jessen mengangguk pelan agar gerakannya tak membuat cetakan love yang tengah dirinya dan Sharon buat itu menjadi berantakan.

“Iya, percaya deh sama gue.”



“Sepi banget deh.” Sharon bergumam dalam perjalanan menuju unit apartement Jessen, gadis itu menoleh ke kiri dan ke kanan, mengamati setiap sudut lorong yang tengah di lewatinya.

“Ini kalo ada yang meninggal aja kayaknya gak bakalan ada yang tahu.” Sharon masih dengan gumamannya pada diri sendiri, Jessen yang berjalan disamping Sharon hanya terkekeh pelan.

Jessen meraih tangan Sharon, gadis yang sejak tadi tengah celingukan mengamati detail area apartement ini pun sempat tersentak kaget. Sharon menoleh mendapati Jessen yang hanya mengangkat kedua alisnya sambil melempar senyum pada Sharon.

“Udah seneng gandeng tangan gue ya?” Dengan mengayun-ngayunkan tangan yang tengah Jessen genggam, Sharon bertanya menggoda Jessen.

Jessen tertawa mendapati pertanyaan Sharon yang seperti itu. “Iya nih kayaknya. Lo siap gue gandeng sampai pelaminan gak?”

Kini giliran Sharon yang dibuat tertawa, gadis itu menggelengkan kepalanya, sebab jawaban Jessen tadi benar-benar terdengar menggelikan.


Sharon bergegas masuk setelah Jessen membuka pintu apartementnya.

“Woah...” Sharon menelusuri setiap sudut yang ada di ruangan apartement kediaman Jessen, gadis itu bergerak berpindah mulai dari sofa, dapur, hingga kamar mandi-pun tak luput dari penelusuran Sharon.

Jessen hanya mengamati, membiarkan Sharon yang tengah berkeliling mengadakan room tour pribadi di apartemennya.

Dilihatnya Sharon yang kini beralih tempat pada kaca besar yang berada di seberang sofa dan televisi. Kaca besar nan lebar pengganti dinding itu berhadapan langsung dengan pemandangan luar, dimana gedung-gedung tinggi berjajar tak beraturan, namun terlihat menakjubkan.

“Ini kalo malem pasti cantik banget deh pemandangannya.” Gadis itu bergumam penasaran sekaligus takjub saat mengamati pemandangan yang tengah dilihatnya.

Sharon berdiri tepat di tengah-tengah kaca besar itu, Jessen-pun bergerak menghampiri.

“Nanti lo bisa lihat, mau disini sampai malem kan?” Sharon menoleh pada Jessen. “Gue beneran boleh disini sampai malem?”

Jessen mengangkat bahunya. “Ya kenapa harus gak boleh?”

Mendengar ucapan Jessen, Sharon tersenyum ceria. “Asik! makasih yah!” gadis itu bahkan melompat kegirangan, melihatnya Jessen hanya tersenyum kecil sambil menganggukan kepala.


“IH DIEM JANGAN GERAK-GERAK WOY!” Sharon mengeraskan suara saat lagi-lagi harus memperingati Jessen untuk tidak bergerak.

“Gue gak ngerasa gerak anjir?!” Jessen memprotes tak terima.

“Orang kerasa di gue! lo itu gerak!” Sharon mencerca. Gadis itu kemudian melanjutkan acara menggambar bentuk setengah love di pipi Jessen.

Sharon tadi merengek pada Jessen meminta agar pria itu mau membuat konten tik-tok yang tengah viral bersama dengannya.

Jessen yang tak kuasa menolak-pun akhirnya mengiyakan permintaan Sharon, dan jadilah seperti ini.

“Ih udah! lucu banget hahaha.” Sharon tertawa melihat pipi kanan Jessen yang setengahnya sudah tercoret oleh lipsticks miliknya.

“Sini tinggal di tempelin ke pipi gue.” Ucap Sharon. Gadis itu bergerak mendekat hingga pipi Sharon kini berada persis di sebelah pipi Jessen. Sharon meraih sisi wajah Jessen yang tidak tergambar oleh lipsticks untuk mendorongnya hingga pipi mereka benar-benar menempel.

“Kira-kira udah nyetak belum ya?” Tanya Sharon, pipi keduanya masih menempel satu sama lain.

“Belum, bentar lagi.” Jessen menjawab dengan senyuman tersembunyinya.

Tangannya yang semula diam kini bergerak ikut meraih sisi wajah Sharon yang tidak menempel dengannya, ikut menekan sisi itu hingga kedua pipi mereka semakin menempel.

“Udah deh kayaknya.” Cletuk Sharon. Selepasnya gadis itu berusaha melepas pipinya yang menempel pada pipi Jessen, namun pria itu menahannya.

“Nanti, gue yakin ini masih belum nyetak.” Ucap Jessen terdengar sangat yakin. Sharon hanya mengernyit heran, masa sih? rasa-rasanya di video yang di tontonnya tadi, sesi menempelkan pipi ini tidak terlalu lama.

“Emang iya belum nyetak?” Jessen mengangguk pelan agar gerakannya tak membuat cetakan love yang tengah dirinya dan Sharon buat itu menjadi berantakan.

“Iya, percaya deh sama gue.”



“Ca.”

Sharon yang tengah berjalan-pun lantas menoleh kebelakang, ternyata sedari tadi dirinya berjalan mendahului Jessen.

Mereka memang tengah berjalan di area trotoar untuk kembali menuju tempat dimana tadi Jessen memarkirkan mobilnya.

“Apa?” Gadis itu bertanya sembari memutar tubuh, berjalan kembali kebelakang untuk menghampiri Jessen.

“Berdiri disitu, mau gue fotoin.” Kening Sharon berkerut, walau setelahnya ia menurut memberikan Jessen kesempatan untuk memfoto dirinya.

“Oke udah.” Pria itu melihat handphone-nya sebentar, mengamati hasil jepretannya tadi, lalu kemudian bergerak menyimpan handphone-nya kembali kedalam saku.

“LOH GUE KAN BELOM LIHAT!” Sharon memprotes. Gadis itu buru-buru menghampiri Jessen, berusaha mencegah pria itu untuk menyimpan kembali handphone-nya kedalam saku, walau berujung gagal sebab handphone Jessen sudah terlebih dahulu masuk kedalam saku celana yang pria itu kenakan.

“IH IYEL GUE MAU LIHAT DULU FOTONYA!” Sharon berusaha menjangkau saku Jessen, masih kukuh ingin mengambil handphone pria itu.

“Nanti aja lihatnya di mobil.” Ucap Jessen. Pria itu kemudian menangkap tangan Sharon yang tadi bergerak berusaha menjangkau saku celananya, setelah tertangkap, pria itu malah mengambil aksi untuk menggenggam tangan Sharon.

Mendapati tangannya di genggam oleh Jessen, Sharon-pun menghentikan seluruh pergerakannya, gadis itu mengalihkan pandangannya kearah tangannya yang tengah di genggam Jessen.

Jessen tersenyum tipis sambil matanya tak henti melihat pada Sharon untuk sekadar mengetahui reaksi gadis itu tentang dirinya yang tengah menggenggam tangan mungil milik Sharon.

“Lepas aja kalo lo gak mau gue gandeng.” Sharon-pun mengangkat pandangannya naik untuk melihat pada Jessen.

“Gandeng aja.” Ujar Sharon. Gadis itu mengangkat tangannya yang tengah Jessen genggam, jemari gadis itu melebar memberikan celah untuk jemari Jessen mengisinya.

“Gue mau kok, di gandeng sama lo.” Sharon tersenyum gigi, kepala gadis itu memiring lucu hingga Jessen tak tahan untuk tidak tersenyum lebar melihatnya.

Jessen-pun menyempurnakan genggaman tangan mereka, kemudian keduanya berjalan beriringan sambil bergandengan tangan.

“it feels warmer isn't?” Ucap Jessen seraya menoleh pada Sharon.

Sharon-pun tak punya pilihan lain selain menganggukan kepala seraya mengulum senyumannya.


Holding hands on a cold night, it feels warmer isn't?


“Ca.”

Sharon yang tengah berjalan-pun lantas menoleh kebelakang, ternyata sedari tadi dirinya berjalan mendahului Jessen.

Mereka memang tengah berjalan di area trotoar untuk kembali menuju tempat dimana tadi Jessen memarkirkan mobilnya.

“Apa?” Gadis itu bertanya sembari memutar tubuh, berjalan kembali kebelakang untuk menghampiri Jessen.

“Berdiri disitu, mau gue fotoin.” Kening Sharon berkerut, walau setelahnya ia menurut memberikan Jessen kesempatan untuk memfoto dirinya.

“Oke udah.” Pria itu melihat handphone-nya sebentar, mengamati hasil jepretannya tadi, lalu kemudian bergerak menyimpan handphone-nya kembali kedalam saku.

“LOH GUE KAN BELOM LIHAT!” Sharon memprotes. Gadis itu buru-buru menghampiri Jessen, berusaha mencegah pria itu untuk menyimpan kembali handphone-nya kedalam saku, walau berujung gagal sebab handphone Jessen sudah terlebih dahulu masuk kedalam saku celana yang pria itu kenakan.

“IH IYEL GUE MAU LIHAT DULU FOTONYA!” Sharon berusaha menjangkau saku Jessen, masih kukuh ingin mengambil handphone pria itu.

“Nanti aja lihatnya di mobil.” Ucap Jessen. Pria itu kemudian menangkap tangan Sharon yang tadi bergerak berusaha menjangkau saku celananya, setelah tertangkap, pria itu malah mengambil aksi untuk menggenggam tangan Sharon.

Mendapati tangannya di genggam oleh Jessen, Sharon-pun menghentikan seluruh pergerakannya, gadis itu mengalihkan pandangannya kearah tangannya yang tengah di genggam Jessen.

Jessen tersenyum tipis sambil matanya tak henti melihat pada Sharon untuk sekadar mengetahui reaksi gadis itu tentang dirinya yang tengah menggenggam tangan mungil milik Sharon.

“Lepas aja kalo lo gak mau gue gandeng.” Sharon-pun mengangkat pandangannya naik untuk melihat pada Jessen.

“Gandeng aja.” Ujar Sharon. Gadis itu mengangkat tangannya yang tengah Jessen genggam, jemari gadis itu melebar memberikan celah untuk jemari Jessen mengisinya.

“Gue mau kok, di gandeng sama lo.” Sharon tersenyum gigi, kepala gadis itu memiring lucu hingga Jessen tak tahan untuk tidak tersenyum lebar melihatnya.

Jessen-pun menyempurnakan genggaman tangan mereka, kemudian keduanya berjalan beriringan sambil bergandengan tangan.

“it feels warmer isn't?” Ucap Jessen seraya menoleh pada Sharon.

Sharon-pun tak punya pilihan lain selain menganggukan kepala seraya mengulum senyumannya.


Holding hands on a cold night, it feels warmer isn't?