sugarloaf

“Kamu habis dari mana?” Tanya seorang gadis kecil dengan satu kunciran dikepalanya, satu jari telunjuk gadis itu berada di dalam satu lobang hidungnya, benar sekali, gadis lucu dengan wajah cemong itu tengah mengupil.

Gadis itu bertanya pada seorang anak laki-laki yang baru saja berjalan keluar dari gerbang rumahnya.

“Habis minum susu.” Jawab sang anak lelaki seraya mengelap mulutnya yang terasa lengket karena cairan susu yang baru saja diminumnya.

Si gadis menatap anak lelaki itu dengan mata mengerjap, kemudian mengeluarkan jari telunjuknya yang sebelumnya berada di dalam lubang hidung.

“Ayo main lagi.” Seraya mengulurkan tangan kecilnya, si gadis berharap anak laki-laki itu menerima uluran tangan yang ia berikan, lalu pergi melanjutkan acara membuat kue dari tanah dan air yang sebelumnya mereka lakukan.

Si anak lelaki menatap uluran tangan dengan jari sedikit kotor itu, lalu memutuskan untuk tidak meraihnya, melainkan di genggamnya bagian pergelangan tangan si gadis lalu mereka berjalan beriringan.

Dilihat dari kejauhan, dua anak kecil itu tampak asik dengan berbagai olahan tanah yang mereka buat.

“Iyel airnya sedikit aja, kalau kebanyakan kuenya enggak bisa di cetak.” Dengan wajah merengut lucu, si gadis kecil memperingati si anak lelaki.

“Kan bisa di tambahin lagi tanahnya.” Ucap si anak lelaki mencari pembelaan.

Si gadis memanyunkan bibirnya. “Tanahnya harus di saring dulu! lama tau!”

“El... Caca...” Dua anak kecil itu menoleh, ternyata ibu si anak lelaki datang menghampiri mereka.

“Bunda mau ke supermarket dulu sama mamanya caca, El sama caca disini aja ya? jangan kemana-mana, kalau ada orang yang gak dikenal kalian masuk kedalam rumah, oke?”

Setelah ibu anak laki-laki itu selesai mengucapkan kalimatnya, sosok lain muncul dari dalam rumah yang halamannya tengah dipakai bermain oleh sang dua anak kecil, si ibu dari anak gadis datang, mengambil beberapa lembar tisu basah yang didapatnya dari dalam tas yang dibawa, sang ibu dari si gadis kecil menyempatkan waktu untuk mengelap bagian wajah putrinya yang terlihat belepotan.

“Caca disini aja sama Iyel ya? Mama mau ke supermarket dulu, nanti mama bawain coklat.” Sambil mengelap wajah gadis kecil-nya, sang ibu memberikan petuahnya.

“Iyel juga mau coklat.” Tanpa di duga, si anak lelaki bersuara dengan nada merengek sambil mengacungkan tangannya.

“Iya, iyel juga.” Sang bunda menjawab mengiyakan.

“Yang penting kalian anteng diem disini, oke?”

“Oke.” Dua anak kecil itu menjawab dengan serentak.


“AKU GAK PIPIS DI CELANA!!!”

Sembari berteriak seorang anak laki-laki kemudian menangis.

Suara tangisannya terdengar nyaring. Di depan sang anak yang tengah menangis itu ada anak lain yang hanya diam sambil mengerjapkan mata terlihat lucu.

“Tapi celana kamu basah.” Dengan lugunya gadis kecil itu berbicara sembari menunjuk kearah celana si anak lelaki.

“INI KENA AIR!” Masih berusaha mengelak si anak lelaki dengan hidung merahnya berteriak marah.

“Tapi kok bau pesing.” Dengan lugu si gadis makin memojokan situasi si anak lelaki.

“Huhu... bunda..... huhu... aku mau bunda...” Sembari mengucek matanya dengan punggung tangan, si anak lelaki itu terus menangis.

“Bunda kamu gak ada.” Mendengar ucapan gadis kecil teman bermainnya itu, sang anak lelaki mengeraskan tangisannya.

“BUNDAAAA HUWAAAA....” Tangisannya semakin kencang, membuat sang gadis kecil menutup telinganya dengan kedua tangan.



“AKU GAK PIPIS DI CELANA!!!” Sembari berteriak seorang anak laki-laki kemudian menangis.

Suara tangisannya terdengar nyaring. Di depan sang anak yang tengah menangis itu ada anak lain yang hanya diam sambil mengerjapkan mata terlihat lucu.

“Tapi celana kamu basah.” Dengan lugunya gadis kecil itu berbicara sembari menunjuk kearah celana si anak lelaki.

“INI KENA AIR!” Masih berusaha mengelak si anak lelaki dengan hidung merahnya berteriak marah.

“Tapi kok bau pesing.” Dengan lugu si gadis makin memojokan situasi si anak lelaki.

“Huhu... bunda..... huhu... aku mau bunda...” Sembari mengucek matanya dengan punggung tangan, si anak lelaki itu terus menangis.

“Bunda kamu gak ada.” Mendengar ucapan gadis kecil teman bermainnya itu, sang anak lelaki mengeraskan tangisannya.

“BUNDAAAA HUWAAAA....” Tangisannya semakin kencang, membuat sang gadis kecil menutup telinganya dengan kedua tangan.



“AKU GAK PIPIS DI CELANA!!!” Sembari berteriak seorang anak laki-laki kemudian menangis.

Suara tangisannya terdengar nyaring. Di depan sang anak yang tengah menangis itu ada anak lain yang hanya diam sambil mengerjapkan mata terlihat lucu.

“Tapi celana kamu basah.” Dengan lugunya gadis kecil itu berbicara sembari menunjuk kearah celana si anak lelaki.

“INI KENA AIR!” Masih berusaha mengelak si anak lelaki dengan hidung merahnya berteriak marah.

“Tapi kok bau pesing.” Dengan lugu si gadis makin memojokan situasi si anak lelaki.

“Huhu... bunda..... huhu... aku mau bunda...” Sembari mengucek matanya dengan punggung tangan, si anak lelaki itu terus menangis.

“Bunda kamu gak ada.” Mendengar ucapan gadis kecil teman bermainnya itu, sang anak lelaki mengeraskan tangisannya.

“BUNDAAAA HUWAAAA....” Tangisannya semakin kencang, membuat sang gadis kecil menutup telinganya dengan kedua tangan.



“AKU GAK PIPIS DI CELANA!!!” Sembari berteriak seorang anak laki-laki kemudian menangis.

Suara tangisannya terdengar nyaring. Di depan sang anak yang tengah menangis itu ada anak lain yang hanya diam sambil mengerjapkan mata terlihat lucu.

“Tapi celana kamu basah.” Dengan lugunya gadis kecil itu berbicara sembari menunjuk kearah celana si anak lelaki.

“INI KENA AIR!” Masih berusaha mengelak si anak lelaki dengan hidung merahnya berteriak marah.

“Tapi kok bau pesing.” Masih dengan lugunya si gadis makin memojokan si anak lelaki.

“Huhu... bunda..... huhu... aku mau bunda...” Sembari mengucek matanya dengan punggung tangan, si anak lelaki itu terus menangis.

“Bunda kamu gak ada.” Mendengar ucapan gadis kecil teman bermainnya itu, sang anak lelaki mengeraskan tangisannya.

“BUNDAAAA HUWAAAA....” Tangisannya semakin kencang, membuat sang gadis kecil menutup telinganya dengan kedua tangan.



Haidan bergerak mendekat kearah jendela, lebih tepatnya pintu balkon yang tengah berbunyi pertanda akan terbuka.

Haidan tersenyum setelah Zhiva membukakan pintu meski setelahnya gadis itu segera melenggang masuk lagi.

“Gue tidur sini ya pung.” Ucap Haidan setelah kembali menutup pintu.

“Tumben ijin segala.” Cletuk Zhiva dari balik selimutnya, ya, selepas membuka pintu Zhiva langsung bergegas kembali ke kasurnya, sebab demi apapun ia sangat mengantuk.

Bagaimana tidak? pria brengsek bernama Haidan itu menelepon Zhiva tepat pukul 2 dini hari, dan itu bukanlah waktu dimana seorang Zhivanya masih terbangun.

“Muka lo kecut banget soalnya.” Tutur Haidan.

Zhivanya diam memilih tak menanggapi, gadis itu hanya bergerak sedikit, mencari posisi nyaman untuk tidur.

“Gue abis berantem pung.” Haidan kembali melemparkan pandanganya pada Zhivanya yang tengah berbaring dan memejamkan mata.

“Ya.” Respon Zhivanya singkat.

Haidan terkekeh pelan. “Kirain udah tidur.”

“Makanya jangan ngomong terus, gue mau tidur.” Ucap Zhiva dengan galak.

“Nggak mau ngobatin luka gue dulu pung?” Haidan lagi-lagi melirik kearah gadis yang masih memejamkan matanya itu.

Kemudian terdengar suara helaan napas, Haidan tersenyum, sementara Zhivanya merengut kesal, gadis itu bangkit dari posisinya untuk kemudian secara grasak-grusuk bergerak mengambil kotak p3k yang gadis itu simpan diatas meja belajarnya.

Zhivanya kemudian duduk di samping Haidan yang masih tersenyum, ia letakkan kotak p3k yang telah ia ambil di pangkuannya, lalu sebelum membuka kotak tersebut, ia memutuskan untuk berbuat sesuatu.

plakkkk!!

“AWHHH” Akhirnya senyuman menyebalkan itu hilang dari wajah Haidan, terganti dengan ringisan dan ekspresi wajah kesakitan, sebab Zhivanya menamparnya tepat di bagian sisi dimana pipinya memar dan bibirnya robek.

“Sakit.” Zhivanya hanya memasang wajah datar sebagai respon, lalu kemudian ia keluarkan peralatan yang ia butuhkan untuk mengobati Haidan.

Zhivanya membersihkan luka Haidan dengan kapas yang telah basah oleh cairan alkohol, Haidan meringis pelan saat kapas itu menyentuh lukanya.

“Awh, sakit pung anjir lah, sini deh gue sendiri aja.” Haidan kemudian mengambil kapas yang ada di tangan Zhiva.

“Kenapa ga dari tadi aja lo obatin sendiri???!!!” Zhivanya memekik kesal.

Haidan menyunggingkan senyum piciknya. “Kan gue nggak ada minta lo buat obatin gue? gue cuma nawarin dan lo sendiri yang mutusin buat bangun terus ngobatin gue.”

Alis Zhiva kian mengerut, pertanda gadis itu amat sangat dibuat kesal oleh Haidan, tangan Zhiva sudah terangkat dan akan melayang kembali untuk memukul Haidan, namun pergerakannya terhenti, sebab Haidan menangkap tangannya dengan satu tangan, sementara satu tangan lainnya masih memegang kapas yang tengah pria itu tempelkan di sudut bibirnya.

“Sakit, Zhivanya.” Nada Haidan terdengar rendah, namun sekaligus mengintimidasi, terlebih pria itu memanggilnya dengan nama aslinya, dan Zhivanya merasa tidak punya kendali apa-apa lagi.

“Kan udah gue bilang, jangan sama Areta!” Zhivanya kemudian melepaskan tangannya dengan cepat dari genggaman tangan Haidan.

“Ya gimana orang udah kejadian.” Pria itu menangkat bahunya dengan santai.

“Terus ini lo gak bakalan pulang sampe kapan?” Tanya Zhivanya, gadis itu kemudian bergerak kembali membantu Haidan untuk mengobati luka-lukanya.

Haidan mengendikan bahunya. “3 hari? seminggu? atau duaminggu mungkin?”

Zhiva menggeplak bahu Haidan dengan kencang. “Sinting.” Haidan tertawa dibuatnya. “Udah kok, besok gue gak akan jalan lagi sama Areta.”

“Kalo lo masih jalan sama dia berarti lo idiot.” Cerca Zhivanya, gadis itu kemudian menempelkan plester pada luka di pelipis Haidan.

Mendengarnya Haidan tertawa lagi. “Paling jalan sama Vania.”

Sejenak Zhiva mengerutkan dahi memikirkan sesuatu, kemudian setelah beberapa saat raut wajahnya kembali normal. Haidan pikir gadis itu tengah mengatur ekspresi kecemburuannya or something like that, tapi ternyata jawaban Zhiva diluar ekspetasinya.

“Kalau itu gapapa, Vania setahu gue emang nggak ada cowok.” Haidan menyunggingkan senyuman miringnya, ia pikir alasan Areta sudah mempunyai pacar hanyalah alibi Zhiva belaka untuk melarang Haidan jalan keluar dengan gadis itu, namun nyatanya tidak sama sekali, Zhivanya memang murni melarang Haidan karena beresiko dirinya cekcok dengan Sadam yang merupakan pacar dari Areta.

Haidan memperhatikan Zhivanya dengan diam, dia akui dengan segala pengakuan yang ada dalam dirinya, bahwa Zhivanya ini gadis hebat.

Haidan tahu persis sebesar apa rasa suka gadis ini padanya, namun dengan sangat lihai gadis ini tutupi. Andai saja bukan karena buku diary itu, Haidan mungkin tak akan pernah tahu bahwa Zhivanya selama ini menyimpan rasa padanya.

Bahkan setelah membaca buku itupun Haidan mengakui bahwa terkadang ia berpikir, benarkah Zhivanya menyukainya? sebab segala tindakan gadis ini padanya memang tak menunjukan demikian. Atau setelah setahun berlalu sejak terakhir ia menemukan buku diary kedua Zhivanya, gadis itu sudah tak lagi menyukainya?

Haruskah Haidan buktikan sesuatu? bahwa memang benar Zhivanya teman masa kecilnya sampai saat ini menyimpan rasa padanya, dan perasaan itu masih ada, belum hilang sama sekali?

Haruskah?



Janendra Gautama memang bukan pemeran utama disini, tapi kisahnya bukan berarti tidak boleh terselip bukan? Santai saja ini tak akan lama ceritanya tak akan panjang, Janendra hanya akan menceritakannya secara garis besar.

Sama halnya seperti manusia pada umumnya, Janendra juga punya rasa dan itu jatuh pada gadis bernama Tamara.

Ah! kalau saja kalian bisa melihat Janendra tengah tersenyum saat ini. Mengingat betapa manisnya senyum yang dimiliki oleh gadis pujaannya.

Tamara gadis super istimewa, gadis yang dengan mudahnya mengumbar tawa meskipun dirinya memendam luka. Janendra meringis, andai kala itu ia tahu...

Bahwa Tamara tidak baik-baik saja, bahwa dari renyah tawanya yang merupakan sumber bahagianya itu hanya kedok belaka, aslinya Tamara terluka, yang lebih membuat Janendra sesalkan lagi, kembali ia tak tahu bahwa luka itu bukan hanya sebatas batin saja, nyatanya secara fisik-pun Tamara-nya terluka.

“Maaf Ndra, tapi buatku kamu itu nggak lebih dari sekadar teman.”

Harusnya hari itu Janendra tidak segera kecewa lalu meninggalkan, harusnya setelah itu Janendra lanjut berjuang, bukan hanya menerima sebab sang gadis enggan lalu berkecimpung dengan segelas anggur merah.

Harusnya Janendra bersikeras atau setidaknya bersedia meski hanya dianggap sebatas teman, yang nyatanya tidak demikian, Tamara tak menganggapnya hanya sebatas demikian, Tamara menganggapnya lebih namun tak punya kuasa sebab enggan melakukan perpisahan. Tamara bilang itu menyakitkan, Ya.. itu yang tertulis.

Di sepucuk surat yang Tamara tulis di sisa-sisa akhir hayatnya dengan sepenuh hati untuk Janendra.

Hari dimana Janendra kehilangan sumber bahagianya, hari dimana ia tahu segalanya.

Kematian, penyakit, luka dan rasa yang Tamara miliki.

Janendra ketahui semuanya sekaligus disertai keterlambatan.

Membuahkan sesal yang hingga kini meradang bila ia mengingat kembali kisahnya dengan Tamara yang berakhir demikian.


Secuil kisah dari Janendra.


Janendra Gautama memang bukan pemeran utama disini, tapi kisahnya bukan berarti tidak boleh terselip bukan? Santai saja ini tak akan lama ceritanya tak akan panjang, Janendra hanya akan menceritakannya secara garis besar.

Sama halnya seperti manusia pada umumnya, Janendra juga punya rasa dan itu jatuh pada gadis bernama Tamara.

Ah! kalau saja kalian bisa melihat Janendra tengah tersenyum saat ini. Mengingat betapa manisnya senyum yang dimiliki oleh gadis pujaannya.

Tamara gadis super istimewa, gadis yang dengan mudahnya mengumbar tawa meskipun dirinya memendam luka. Janendra meringis, andai kala itu ia tahu...

Bahwa Tamara tidak baik-baik saja, bahwa dari renyah tawanya yang merupakan sumber bahagianya itu hanya kedok belaka, aslinya Tamara terluka, yang lebih membuat Janendra sesalkan lagi, kembali ia tak tahu bahwa luka itu bukan hanya sebatas batin saja, nyatanya secara fisik-pun Tamara-nya terluka.

“Maaf Ndra, tapi buatku kamu itu nggak lebih dari sekadar teman.”

Harusnya hari itu Janendra tidak segera kecewa lalu meninggalkan, harusnya setelah itu Janendra lanjut berjuang, bukan hanya menerima sebab sang gadis enggan lalu berkecimpung dengan segelas anggur merah.

Harusnya Janendra bersikeras atau setidaknya bersedia meski hanya dianggap sebatas teman, ya g nyatanya tidak demikian, Tamara tak menganggapnya hanya sebatas demikian, Tamara menganggapnya lebih namun tak punya kuasa sebab enggan melakukan perpisahan. Tamara bilang itu menyakitkan, Ya.. itu yang tertulis.

Di sepucuk surat yang Tamara tulis di sisa-sisa akhir hayatnya dengan sepenuh hati untuk Janendra.

Hari dimana Janendra kehilangan sumber bahagianya, hari dimana ia tahu segalanya sekaligus.

Kematian, penyakit, luka dan rasa yang Tamara miliki.

Semuanya Janendra ketahui sekaligus dan terlambat di hari itu.



Kantin.

Read more...


Dengan langkah penuh niatnya Juan memasuki sebuah restoran ayam dimana targetnya berada.

Ah kalau di ingat-ingat lagi kesalnya masih terasa sampai hari ini.

Walau tidak pernah bertemu lagi sejak hari dimana Juan dikatai maniak susu oleh gadis di seberang sana. Tapi Juan tidak akan pernah lupa wajah itu, wajah yang membuatnya duahari tidak minum dua botol susu serta membuatnya dongkol setengah mati akibat dikatai.

Juan sampai di depan kasir, tempat di mana gadis yang Juan tak tahu namanya itu tengah berprofesi sekarang.

“Selamat pagi.” Alis Juan berkerut, Selamat Pagi? seriously?

Juan diam sesaat mengamati gadis dihadapannya dan kembali meyakinkan diri bahwa ia tak salah ingat.

Namun sepertinya gadis ini berlainan dengannya, gadis ini nampaknya tak ingat dengan Juan.

Ah sayang sekali bukan?

Maka dari itu akan Juan ingatkan pada gadis itu, siapa Juan dan akan Juan balas kekesalannya pada hari itu dengan bertanya

“Mbak, ayam ada?”