Haidan bergerak mendekat kearah jendela, lebih tepatnya pintu balkon yang tengah berbunyi pertanda akan terbuka.
Haidan tersenyum setelah Zhiva membukakan pintu meski setelahnya gadis itu segera melenggang masuk lagi.
“Gue tidur sini ya pung.”
Ucap Haidan setelah kembali menutup pintu.
“Tumben ijin segala.”
Cletuk Zhiva dari balik selimutnya, ya, selepas membuka pintu Zhiva langsung bergegas kembali ke kasurnya, sebab demi apapun ia sangat mengantuk.
Bagaimana tidak? pria brengsek bernama Haidan itu menelepon Zhiva tepat pukul 2 dini hari, dan itu bukanlah waktu dimana seorang Zhivanya masih terbangun.
“Muka lo kecut banget soalnya.”
Tutur Haidan.
Zhivanya diam memilih tak menanggapi, gadis itu hanya bergerak sedikit, mencari posisi nyaman untuk tidur.
“Gue abis berantem pung.”
Haidan kembali melemparkan pandanganya pada Zhivanya yang tengah berbaring dan memejamkan mata.
“Ya.”
Respon Zhivanya singkat.
Haidan terkekeh pelan.
“Kirain udah tidur.”
“Makanya jangan ngomong terus, gue mau tidur.”
Ucap Zhiva dengan galak.
“Nggak mau ngobatin luka gue dulu pung?”
Haidan lagi-lagi melirik kearah gadis yang masih memejamkan matanya itu.
Kemudian terdengar suara helaan napas, Haidan tersenyum, sementara Zhivanya merengut kesal, gadis itu bangkit dari posisinya untuk kemudian secara grasak-grusuk bergerak mengambil kotak p3k yang gadis itu simpan diatas meja belajarnya.
Zhivanya kemudian duduk di samping Haidan yang masih tersenyum, ia letakkan kotak p3k yang telah ia ambil di pangkuannya, lalu sebelum membuka kotak tersebut, ia memutuskan untuk berbuat sesuatu.
plakkkk!!
“AWHHH”
Akhirnya senyuman menyebalkan itu hilang dari wajah Haidan, terganti dengan ringisan dan ekspresi wajah kesakitan, sebab Zhivanya menamparnya tepat di bagian sisi dimana pipinya memar dan bibirnya robek.
“Sakit.”
Zhivanya hanya memasang wajah datar sebagai respon, lalu kemudian ia keluarkan peralatan yang ia butuhkan untuk mengobati Haidan.
Zhivanya membersihkan luka Haidan dengan kapas yang telah basah oleh cairan alkohol, Haidan meringis pelan saat kapas itu menyentuh lukanya.
“Awh, sakit pung anjir lah, sini deh gue sendiri aja.”
Haidan kemudian mengambil kapas yang ada di tangan Zhiva.
“Kenapa ga dari tadi aja lo obatin sendiri???!!!”
Zhivanya memekik kesal.
Haidan menyunggingkan senyum piciknya.
“Kan gue nggak ada minta lo buat obatin gue? gue cuma nawarin dan lo sendiri yang mutusin buat bangun terus ngobatin gue.”
Alis Zhiva kian mengerut, pertanda gadis itu amat sangat dibuat kesal oleh Haidan, tangan Zhiva sudah terangkat dan akan melayang kembali untuk memukul Haidan, namun pergerakannya terhenti, sebab Haidan menangkap tangannya dengan satu tangan, sementara satu tangan lainnya masih memegang kapas yang tengah pria itu tempelkan di sudut bibirnya.
“Sakit, Zhivanya.”
Nada Haidan terdengar rendah, namun sekaligus mengintimidasi, terlebih pria itu memanggilnya dengan nama aslinya, dan Zhivanya merasa tidak punya kendali apa-apa lagi.
“Kan udah gue bilang, jangan sama Areta!”
Zhivanya kemudian melepaskan tangannya dengan cepat dari genggaman tangan Haidan.
“Ya gimana orang udah kejadian.”
Pria itu menangkat bahunya dengan santai.
“Terus ini lo gak bakalan pulang sampe kapan?”
Tanya Zhivanya, gadis itu kemudian bergerak kembali membantu Haidan untuk mengobati luka-lukanya.
Haidan mengendikan bahunya.
“3 hari? seminggu? atau duaminggu mungkin?”
Zhiva menggeplak bahu Haidan dengan kencang.
“Sinting.”
Haidan tertawa dibuatnya.
“Udah kok, besok gue gak akan jalan lagi sama Areta.”
“Kalo lo masih jalan sama dia berarti lo idiot.”
Cerca Zhivanya, gadis itu kemudian menempelkan plester pada luka di pelipis Haidan.
Mendengarnya Haidan tertawa lagi.
“Paling jalan sama Vania.”
Sejenak Zhiva mengerutkan dahi memikirkan sesuatu, kemudian setelah beberapa saat raut wajahnya kembali normal. Haidan pikir gadis itu tengah mengatur ekspresi kecemburuannya or something like that, tapi ternyata jawaban Zhiva diluar ekspetasinya.
“Kalau itu gapapa, Vania setahu gue emang nggak ada cowok.”
Haidan menyunggingkan senyuman miringnya, ia pikir alasan Areta sudah mempunyai pacar hanyalah alibi Zhiva belaka untuk melarang Haidan jalan keluar dengan gadis itu, namun nyatanya tidak sama sekali, Zhivanya memang murni melarang Haidan karena beresiko dirinya cekcok dengan Sadam yang merupakan pacar dari Areta.
Haidan memperhatikan Zhivanya dengan diam, dia akui dengan segala pengakuan yang ada dalam dirinya, bahwa Zhivanya ini gadis hebat.
Haidan tahu persis sebesar apa rasa suka gadis ini padanya, namun dengan sangat lihai gadis ini tutupi. Andai saja bukan karena buku diary itu, Haidan mungkin tak akan pernah tahu bahwa Zhivanya selama ini menyimpan rasa padanya.
Bahkan setelah membaca buku itupun Haidan mengakui bahwa terkadang ia berpikir, benarkah Zhivanya menyukainya? sebab segala tindakan gadis ini padanya memang tak menunjukan demikian. Atau setelah setahun berlalu sejak terakhir ia menemukan buku diary kedua Zhivanya, gadis itu sudah tak lagi menyukainya?
Haruskah Haidan buktikan sesuatu? bahwa memang benar Zhivanya teman masa kecilnya sampai saat ini menyimpan rasa padanya, dan perasaan itu masih ada, belum hilang sama sekali?
Haruskah?