sugarloaf


Juan bergegas keluar, berlari dari gerbang rumahnya. Ini Juan lakukan demi minuman segar menyehatkan pagi harinya. Juan tidak terlalu suka sarapan pagi, jadi Juan lebih memilih minum susu.

Dan satu botol itu tidaklah cukup sebagai pengganti sarapannya.

Dari kejauhan ia melihat seorang gadis tengah menaruh sebotol susu didepan gerbang sebuah rumah.

“Yes! Ketemu!” Juan lanjut berlari, beruntung ia sempat menghampiri gadis yang tengah memakai helm sepeda berwarna pink itu sebelum pergi.

Juan terengah-engah. Gadis dihadapannya menatapnya kebingungan.

“Mbak—-hhh” Juan mengangkat lengannya memberi isyarat bahwa ia meminta waktu sebentar untuk menetralkan deru nafasnya.

“Saya mau lagi susunya sebotol.” Ucap Juan sembari bersandar di dinding samping gerbang rumah yang baru saja di letakan botol susu didepannya.

“Nggak ada mas.”

Respon gadis itu membuat Juan kaget dan reflek mengerutkan alisnya. “Nggak ada gimana mbak? itu di keranjang aja susunya masih banyak, saya nggak minus apalagi buta loh.”

“Iya memang, yang nggak ada itu buat mas nya.”

Alis Juan kian menukik. “Maksudnya? Nggak ada buat saya? Saya nggak di kasih nih? diskriminasi ceritanya?”

Gadis itu terlihat menggeleng sebentar. “Stok nya sudah pas mas. Kalau mas nya minta satu botol lagi, nanti ada satu rumah yang nggak kebagian.”

What the? Apakah gadis ini tidak tahu siapa Juan? Meski beberapa kali ganti pengantar pun, rasa-rasanya Juan tidak pernah tidak di spesialkan.

Maksudnya rumah Juan ini selalu mendapat dua botol susu. Karena si pemilik saja sudah hapal, bahkan Juan tahu kalau si pemilik saja sudah berbagi kontak serta status dengan bundanya di aplikasi WhatsApp, alias Juan ini anak dari si VVIP, yang di utamakan. Catat itu!

“Memangnya mbak nggak tahu? saya ini memang selalu dapat dua botol susu mbak. Kalau nggak percaya tanya aja sama yang punya.”

“Iya saya nggak tahu mas.”

What the hell?? Juan mengusap wajahnya gusar. “Saya mau lagi mbak susunya. Satu botol lagi.” Juang mengulangi.

Gadis itu menghela napas. Juan terkekeh sumbang, bukankah harusnya Juan yang menghela napasnya seperti itu?

“Mbak nya kesel? harusnya juga saya yang kesel. Saya ini nggak bisa kalau cuma minum satu botol susu.” Juan nyerocos saking kesalnya. Sehari ia tidak bisa minum dua botol sudah ia ikhlaskan dan ia maklumi, namun bila berlanjut sampai dua hari, rasanya Juan ingin marah saja.

“Kasih saya satu botol lagi mbak.” Juan keukeuh.

“Nggak bisa mas, nanti ada yang nggak kebagian, saya yang kena. Mas mau tanggung jawab?” Namun ternyata gadis ini lebih keukeuh.

“Mana sini handphone lo, gue mau kontak yang punya.” Saking kesalnya Juan tak sadar sudah mengubah kosakatanya yang sebelumnya memakai manner 'saya' alias kesopanan menjadi 'lo-gue'.

Juan mengulurkan tangannya meminta gadis di hadapannya untuk memberikan benda pipih yang kini sudah berpindah tangan.

Juan benar-benar melakukannya, ia menelepon si pemilik langganan susu di komplek ini, yang sialnya tak diangkat.

Si gadis terlihat beberapa kali melirik jam tangan yang dipakainya. “Mas kalau nggak diangkat ikhlasin aja ya? Ini udah siang mas, kasihan rumah yang lain belum pada diantar susunya.”

Terlihat Juan merengut, gadis berhelm pink itu sampai terlihat terkejut melihat raut wajah Juan yang demikian.

Lagaknya gadis itupun tak habis pikir dengan kelakuan Juan yang seperti ini hanya karena perkara susu.

“Saya mau satu lagi mbak.” Ucap Juan penuh penekanan.

“Nggak bisa mas.” Gadis itu membalas sembari mengambil kembali ponselnya, kemudian berniat melanjutkan pekerjaannya, namun Juan menahan bagian belakang sepeda gadis itu membuat siempunya menoleh.

Juan tetap pada posisinya, sementara si gadis yang terlampau buru-buru lantas mengucapkan hal yang membuat Juan reflek melepaskan cekalannya pada bagian belakang sepeda yang gadis itu tumpangi.

“Mas, satu botol serius nggak cukup? Kok udah kaya maniak susu aja.”

Setelahnya gadis itupun berlalu, meninggalkan Juan yang seumur hidup baru kali ini dikatai maniak susu.

Kurang ajar.



Juan bergegas keluar, berlari dari gerbang rumahnya. Ini Juan lakukan demi minuman segar menyehatkan pagi harinya. Juan tidak terlalu suka sarapan pagi, jadi Juan lebih memilih minum susu.

Dan satu botol itu tidaklah cukup sebagai pengganti sarapannya.

Dari kejauhan ia melihat seorang gadis tengah menaruh sebotol susu didepan gerbang sebuah rumah.

“Yes! Ketemu!” Juan lanjut berlari, beruntung ia sempat menghampiri gadis yang tengah memakai helm sepeda berwarna pink itu sebelum pergi.

Juan terengah-engah. Gadis dihadapannya menatapnya kebingungan.

“Mbak—-hhh” Juan mengangkat lengannya memberi isyarat bahwa ia meminta waktu sebentar untuk menetralkan deru nafasnya.

“Saya mau lagi susunya sebotol.” Ucap Juan sembari bersandar di dinding samping gerbang rumah yang baru saja di letakan botol susu didepannya.

“Nggak ada mas.”

Respon gadis itu membuat Juan kaget dan reflek mengerutkan alisnya. “Nggak ada gimana mbak? itu di keranjang aja susunya masih banyak, saya nggak minus apalagi buta loh.”

“Iya memang, yang nggak ada itu buat mas nya.”

Alis Juan kian menukik. “Maksudnya? Nggak ada buat saya? Saya nggak di kasih nih? diskriminasi ceritanya?”

Gadis itu terlihat menggeleng sebentar. “Stok nya sudah pas mas. Kalau mas nya minta satu botol lagi, nanti ada satu rumah yang nggak kebagian.”

What the? Apakah gadis ini tidak tahu siapa Juan? Meski beberapa kali ganti pengantar pun, rasa-rasanya Juan tidak pernah tidak di spesialkan.

Maksudnya rumah Juan ini selalu mendapat dua botol susu. Karena si pemilik saja sudah hapal, bahkan Juan tahu kalau si pemilik saja sudah berbagi kontak serta status dengan bundanya di aplikasi WhatsApp, alias Juan ini anak dari si VVIP, yang di utamakan. Catat itu!

“Memangnya mbak nggak tahu? saya ini memang selalu dapat dua botol susu mbak. Kalau nggak percaya tanya aja sama yang punya.”

“Iya saya nggak tahu mas.”

What the hell?? Juan mengusap wajahnya gusar. “Saya mau lagi mbak susunya. Satu botol lagi.” Juang mengulangi.

Gadis itu menghela napas. Juan terkekeh sumbang, bukankah harusnya Juan yang menghela napasnya seperti itu?

“Mbak nya kesel? harusnya juga saya yang kesel. Saya ini nggak bisa kalau cuma minum satu botol susu.” Juan nyerocos saking kesalnya. Sehari ia tidak bisa minum dua botol sudah ia ikhlaskan dan ia maklumi, namun bila berlanjut sampai dua hari, rasanya Juan ingin marah saja.

“Kasih saya satu botol lagi mbak.” Juan keukeuh.

“Nggak bisa mas, nanti ada yang nggak kebagian, saya yang kena. Mas mau tanggung jawab?” Namun ternyata gadis ini lebih keukeuh.

“Mana sini handphone lo, gue mau kontak yang punya.” Saking kesalnya Juan tak sadar sudah mengubah kosakatanya yang sebelumnya memakai manner 'saya' alias kesopanan menjadi 'lo-gue'.

Juan mengulurkan tangannya meminta gadis di hadapannya untuk memberikan benda pipih yang kini sudah berpindah tangan.

Juan benar-benar melakukannya, ia menelepon si pemilik langganan susu di komplek ini, yang sialnya tak diangkat.

Si gadis terlihat beberapa kali melirik jam tangan yang dipakainya. “Mas kalau nggak diangkat ikhlasin aja ya? Ini udah siang mas kasihan rumah yang lain belum pada diantar susunya.”

Terlihat Juan merengut gadis berhelm pink itu sampai terlihat terkejut melihat raut wajah Juan yang demikian. Lagaknya gadis itupun tak habis pikir dengan kelakuan Juan yang seperti ini hanya karena perkara susu.

“Saya mau satu lagi mbak.” Ucap Juan penuh penekanan.

“Nggak bisa mas.” Gadis itu membalas sembari mengambil kembali ponselnya, kemudian berniat melanjutkan pekerjaannya, namun Juan menahan bagian belakang sepeda gadis itu membuat siempunya menoleh.

Juan tetap pada posisinya, sementara si gadis yang terlampau buru-buru lantas mengucapkan hal yang membuat Juan reflek melepaskan cekalannya pada bagian belakang sepeda yang gadis itu tumpangi.

“Mas, satu botol serius nggak cukup? Kok udah kaya maniak susu aja.”

Setelahnya gadis itupun berlalu, meninggalkan Juan yang seumur hidup baru kali ini dikatai maniak susu.

Kurang ajar.



Juan bergegas keluar, berlari dari gerbang rumahnya. Ini Juan lakukan demi minuman segar menyehatkan pagi harinya. Juan tidak terlalu suka sarapan pagi, jadi Juan lebih memilih minum susu.

Dan satu botol itu tidaklah cukup sebagai pengganti sarapannya.

Dari kejauhan ia melihat seorang gadis tengah menaruh sebotol susu didepan gerbang sebuah rumah.

“Yes! Ketemu!” Juan lanjut berlari, beruntung ia sempat menghampiri gadis yang tengah memakai helm sepeda berwarna pink itu sebelum pergi.

Juan terengah-engah. Gadis dihadapannya menatapnya kebingungan.

“Mbak—-hhh” Juan mengangkat lengannya memberi isyarat bahwa ia meminta waktu sebentar untuk menetralkan deru nafasnya.

“Saya mau lagi susunya sebotol.” Ucap Juan sembari bersandar di dinding samping gerbang rumah yang baru saja di letakan botol susu didepannya.

“Nggak ada mas.”

Respon gadis itu membuat Juan kaget dan reflek mengerutkan alisnya. “Nggak ada gimana mbak? itu di keranjang aja susunya masih banyak, saya nggak minus apalagi buta loh.”

“Iya memang, yang nggak ada itu buat mas nya.”

Alis Juan kian menukik. “Maksudnya? Nggak ada buat saya? Saya nggak di kasih nih? diskriminasi ceritanya?”

Gadis itu terlihat menggeleng sebentar. “Stok nya sudah pas mas. Kalau mas nya minta satu botol lagi, nanti ada satu rumah yang nggak kebagian susu.”

What the? Apakah gadis ini tidak tahu siapa Juan? Meski beberapa kali ganti pengantar pun, rasa-rasanya Juan tidak pernah tidak di spesialkan.

Maksudnya rumah Juan ini selalu mendapat dua botol susu. Karena si pemilik saja sudah hapal, bahkan Juan tahu kalau si pemilik saja sudah berbagi kontak serta status dengan bundanya di aplikasi WhatsApp, alias Juan ini anak dari si VVIP, yang di utamakan. Catat itu!

“Memangnya mbak nggak tahu? saya ini memang selalu dapat dua botol susu mbak. Kalau nggak percaya tanya aja sama yang punya.”

“Iya saya nggak tahu mas.”

What the hell?? Juan mengusap wajahnya gusar. “Saya mau lagi mbak susunya. Satu botol lagi.” Juang mengulangi.

Gadis itu menghela napas. Juan terkekeh sumbang, bukankah harusnya Juan yang menghela napasnya seperti itu?

“Mbak nya kesel? harusnya juga saya yang kesel. Saya ini nggak bisa kalau cuma minum satu botol susu.” Juan nyerocos saking kesalnya. Sehari ia tidak bisa minum dua botol sudah ia ikhlaskan dan ia maklumi, namun bila berlanjut sampai dua hari, rasanya Juan ingin marah saja.

“Kasih saya satu botol lagi mbak.” Juan keukeuh.

“Nggak bisa mas, nanti ada yang nggak kebagian, saya yang kena. Mas mau tanggung jawab?” Namun ternyata gadis ini lebih keukeuh.

“Mana sini handphone lo, gue mau kontak yang punya.” Saking kesalnya Juan tak sadar sudah mengubah kosakatanya yang sebelumnya memakai manner 'saya' alias kesopanan menjadi 'lo-gue'.

Juan mengulurkan tangannya meminta gadis di hadapannya untuk memberikan benda pipih yang kini sudah berpindah tangan.

Juan benar-benar melakukannya, ia menelepon si pemilik langganan susu di komplek ini, yang sialnya tak diangkat.

Si gadis terlihat beberapa kali melirik jam tangan yang dipakainya. “Mas kalau nggak diangkat ikhlasin aja ya? Ini udah siang mas kasihan rumah yang lain belum pada diantar susunya.”

Terlihat Juan merengut gadis berhelm pink itu sampai terlihat terkejut melihat raut wajah Juan yang demikian. Lagaknya gadis itupun tak habis pikir dengan kelakuan Juan yang seperti ini hanya karena perkara susu.

“Saya mau satu lagi mbak.” Ucap Juan penuh penekanan.

“Nggak bisa mas.” Gadis itu membalas sembari mengambil kembali ponselnya, kemudian berniat melanjutkan pekerjaannya, namun Juan menahan bagian belakang sepeda gadis itu membuat siempunya menoleh.

Juan tetap pada posisinya, sementara si gadis yang terlampau buru-buru lantas mengucapkan hal yang membuat Juan reflek melepaskan cekalannya pada bagian belakang sepeda yang gadis itu tumpangi.

“Mas, satu botol serius nggak cukup? Kok udah kaya maniak susu aja.”

Setelahnya gadis itupun berlalu, meninggalkan Juan yang seumur hidup baru kali ini dikatai maniak susu.

Kurang ajar.



Juan bergegas keluar, berlari dari gerbang rumahnya. Ini Juan lakukan demi minuman segar menyehatkan pagi harinya. Juan tidak terlalu suka sarapan pagi, jadi Juan lebih memilih minum susu.

Dan satu botol itu tidaklah cukup sebagai pengganti sarapannya.

Dari kejauhan ia melihat seorang gadis tengah menaruh sebotol susu didepan gerbang sebuah rumah.

“Yes! Ketemu!” Juan lanjut berlari, beruntung ia sempat menghampiri gadis yang tengah memakai helm sepeda berwarna pink itu sebelum pergi.

Juan terengah-engah. Gadis dihadapannya menatapnya kebingungan.

“Mbak—-hhh” Juan mengangkat lengannya memberi isyarat bahwa ia meminta waktu sebentar untuk menetralkan deru nafasnya.

“Saya mau lagi susunya sebotol.” Ucap Juan sembari bersandar di dinding samping gerbang rumah yang baru saja di letakan botol susu didepannya.

“Nggak ada mas.”

Respon gadis itu membuat Juan mengerutkan alisnya. “Nggak ada gimana mbak? itu di keranjang aja susunya masih banyak, saya nggak minus apalagi buta loh.”

“Iya memang, yang nggak ada itu buat mas nya.”

Alis Juan kian menukik. “Maksudnya? Nggak ada buat saya? Saya nggak di kasih nih? diskriminasi ceritanya?”

Gadis itu terlihat menggeleng sebentar. “Stok nya sudah pas mas. Kalau mas nya minta satu botol lagi, nanti ada satu rumah yang nggak kebagian susu.”

What the? Apakah gadis ini tidak tahu siapa Juan? Meski beberapa kali ganti pengantar pun, rasa-rasanya Juan tidak pernah tidak di spesialkan.

Maksudnya rumah Juan ini selalu mendapat dua botol susu. Karena si pemilik saja sudah hapal, bahkan Juan tahu kalau si pemilik saja sudah berbagi kontak serta status dengan bundanya di aplikasi WhatsApp, alias Juan ini anak dari si VVIP, yang di utamakan.

“Memangnya mbak nggak tahu? saya ini memang selalu dapat dua botol susu mbak. Kalau nggak percaya tanya aja sama yang punya.”

“Iya saya nggak tahu mas.”

Juan mengusap wajahnya gusar. “Saya mau lagi mbak susunya. Satu botol lagi.”

Gadis itu menghela napas. Juan terkekeh sumbang, bukankah harusnya Juan yang menghela napasnya seperti itu?

“Mbak nya kesel? harusnya juga saya yang kesel. Saya ini nggak bisa kalau cuma minum satu botol susu.” Juan nyerocos saking kesalnya. Sehari ia tidak bisa minum dua botol sudah ia ikhlaskan dan ia maklumi, namun bila berlanjut sampai dua hari, rasanya Juan ingin marah saja.

“Kasih saya satu botol lagi mbak.” Juan keukeuh.

“Nggak bisa mas, nanti ada yang nggak kebagian, saya yang kena. Mas mau tanggung jawab?” Namun ternyata gadis ini lebih keukeuh.

“Mana sini handphone lo, gue mau kontak yang punya.” Juan mengulurkan tangannya meminta gadis di hadapannya untuk memberikan benda pipih yang kini sudah berpindah tangan.

Juan benar-benar melakukannya, ia menelepon si pemilik langganan susu di komplek ini, yang sialnya tak diangkat.

Si gadis terlihat beberapa kali melirik jam tangan yang dipakainya. “Mas kalau nggak diangkat ikhlasin aja ya? Ini udah siang mas kasihan rumah yang lain belum pada diantar susunya.”

Terlihat Juan merengut gadis berhelm pink itu sampai terlihat terkejut melihat raut wajah Juan yang demikian.

“Saya mau satu lagi mbak.” Ucap Juan penuh penekanan.

“Nggak bisa mas.” Gadis itu membalas sembari mengambil kembali ponselnya, kemudian berniat melanjutkan pekerjaannya, namun Juan menahan bagian belakang sepeda gadis itu membuat siempunya menoleh.

Juan tetap pada posisinya, sementara si gadis yang terlampau buru-buru lantas mengucapkan hal yang membuat Juan reflek melepaskan cekalannya pada bagian belakang sepeda yang gadis itu tumpangi.

“Mas, satu botol serius nggak cukup? Kok udah kaya maniak susu aja.”

Setelahnya gadis itupun berlalu, meninggalkan Juan yang seumur hidup baru kali ini dikatai maniak susu. Kurang ajar.



“Mbak, ayam ada?” Sejenak Raya mengernyitkan dahi. Ini masih jam 9 pagi, awal harinya baru dimulai dan Raya sudah dibuat menahan napas akibat dongkol mendengar pertanyaan yang baru saja terlontar padanya.

Sejatinya Raya ini bukanlah orang yang mudah kesal, namun mendengar pertanyaan konyol seperti itu cukup membuat Raya ingin menampakan wajah datarnya.

Tentu saja ia tidak bisa. Raya ini sedang ada di posisi melayani seorang Raja dengan kedok pelanggan.

Raya tersenyum getir sedikit memaksakan. “Kebetulan ini restoran ayam mas, jadi insyaallah ada.”

Terlihat pria di hadapannya menahan tawa lalu memberikan senyuman nakalnya.

Tangan Raya sampai mengepal melihatnya, reflek membentuk antisipasi dari senyuman yang baru saja ia lihat.

Dan benar saja, prakiraanya terjadi. Pria itu berdeham sebelum berkata “Ya udah saya pesen cola satu ya mbak, take away.”

Kepalan tangan Raya terlepas, Raya tersenyum pahit dibalas senyuman puas dari pelanggan pria sialan—Oh see? bahkan pada akhirnya Raya sukses dibuat mengumpat oleh pria menyebalkan itu.

Gadis itu menghirup nafas panjang, berharap agar emosinya segera turun dari ubun-ubun.

“Cola ukuran— Ukurannya apa ya mas?”

“Yang sedang aja mbak.”

Syukurlah akhirnya pria ini memilih untuk menjadi orang waras.

“Baik, Cola ukuran medium take away ya mas.”

“Yang sedang mbak, bukan medium.” Pergerakan Raya menekan tombol mesin kasir terhenti. Demi Tuhan! Raya ingin sekali memaki pria yang lagi-lagi menampakan senyuman jahil minta di tampar itu.

“Iya mas, Cola ukuran sedang. Take away. Ya?!” Dinding pertahanan emosinya akhirnya runtuh, Raya menekankan setiap kalimatnya mengulang pesanan dari manik mata yang sedari tadi entah mengapa mengisyaratkan sesuatu.

Tepat sebelum Raya berbalik untuk membuat pesanan pertama yang paling membuatnya dongkol di hari ini. Tanpa di duga pria itu bergerak mencondongkan tubuhnya hingga wajah mereka persis bersejajaran.

Raya reflek memundurkan kepalanya, lalu ekspresinya berubah kala mendengar apa yang pria ucapkan.

“Kesel ya mbak? Sama. saya juga kesel nggak bisa dapat dua botol susu kemarin.”

Oh God! Si maniak susu???!!!



“Mbak, ayam ada?” Sejenak Raya mengernyitkan dahi. Ini masih jam 9 pagi, awal harinya baru dimulai dan Raya sudah dibuat menahan napas akibat dongkol mendengar pertanyaan yang baru saja terlontar padanya.

Sejatinya Raya ini bukanlah orang yang mudah kesal, namun mendengar pertanyaan konyol seperti itu cukup membuat Raya ingin menampakan wajah datarnya.

Tentu saja ia tidak bisa. Raya ini sedang ada di posisi melayani seorang Raja dengan kedok pelanggan.

Raya tersenyum getir sedikit memaksakan. “Kebetulan ini restoran ayam mas, jadi insyaallah ada.”

Terlihat pria di hadapannya menahan tawa lalu memberikan senyuman nakalnya.

Tangan Raya sampai mengepal melihatnya, reflek membentuk antisipasi dari senyuman yang baru saja ia lihat.

Dan benar saja, prakiraan ya terjadi. Pria itu berdeham sebelum berkata “Ya udah saya pesen cola satu ya mbak, take away.”

Kepalan tangan Raya terlepas, Raya tersenyum pahit dibalas senyuman puas dari pelanggan pria sialan—Oh see? bahkan pada akhirnya Raya sukses dibuat mengumpat oleh pria menyebalkan itu.

Gadis itu menghirup nafas panjang, berharap agar emosinya segera turun dari ubun-ubun.

“Cola ukuran— Ukurannya apa ya mas?”

“Yang sedang aja mbak.”

Syukurlah akhirnya pria ini memilih untuk menjadi orang waras.

“Baik, Cola ukuran medium take away ya mas.”

“Yang sedang mbak, bukan medium.” Pergerakan Raya menekan tombol mesin kasir terhenti. Demi Tuhan! Raya ingin sekali memaki pria yang lagi-lagi menampakan senyuman jahil minta di tampar itu.

“Iya mas, Cola ukuran sedang. Take away. Ya?!” Dinding pertahanan emosinya akhirnya runtuh, Raya menekankan setiap kalimatnya mengulang pesanan dari manik mata yang sedari tadi entah mengapa mengisyaratkan sesuatu.

Tepat sebelum Raya berbalik untuk membuat pesanan pertama yang paling membuatnya dongkol di hari ini. Tanpa di duga pria itu bergerak mencondongkan tubuhnya hingga wajah mereka persis bersejajaran.

Raya reflek memundurkan kepalanya, lalu ekspresinya berubah kala mendengar apa yang pria ucapkan.

“Kesel ya mbak? Sama. saya juga kesel nggak bisa dapat dua botol susu kemarin.”

Oh God! Si maniak susu???!!!


Dia bintang paling bersinar di langit malam yang teramat kelam.

Hana.


Saat Hana merasa dunianya telah jatuh, runtuh bahkan lebur. Dia datang dengan segala perekat yang dipunya seakan membawa keajaiban dunianya terasa kembali utuh.

“You're not alone, you have me.” Tatapannya seteduh ucapannya, dan Hana merasa hidup saat itu.

Hari ini dadaku bergetar, terguncang memilu dan mengeras

Hari ini, esok dan seterusnya.

Memang benar perasaan seperti itu nyata adanya.

Awalnya Hana menyukai senyumnya.

Kemudian ia menyukai tawanya.

Suaranya, langkahnya, pandangannya, posturnya.

Kian hari kian bertambah, sampai ada saat dimana bayangannya sekalipun mampu membuat Hana tersenyum.

Esoknya ku pikir rasa ini akan menghilang dengan seiring waktu

Hana pikir itu hanya perasaan omong kosong belaka, tetapi lambat laun Hana sadar bahwa perasaannya nyata adanya.

Namun ternyata tak pernah berubah aku makin tergiur pada dirimu

Hana makin menyukai, seiring waktu rasanya terus bertambah, seakan tak bosan lengkung bibir yang beriringan dengan netra yang menyipit itu selalu menjadi kesukaannya.

Dan seterusnya rasa ini selalu terjadi dan tak pernah berkurang.

Mario Jafran Mahardika. Hana tersenyum saat membaca rentetan huruf yang terangkai membentuk sebuah nama itu.

Hatiku hanya untuk dirimu, aku bahagia hanya bila kamu bahagia.

Senyumnya bahkan tak pudar saat lensanya beralih membaca nama yang bersandingan dengan nama pria favoritnya.

Ratu Syakila Prameswari.

Hana tersenyum, lensanya menatap naik, menatap si pemilik nama wanita yang tengah berdiri di hadapannya. Di sampingnya ada dia, Mario Jafran. Pria yang dengan segenap hatinya Hana cintai meski seorang diri.

“I'm happy for you both!” Pekik Hana riang sembari menghamburkan diri memeluk dua sahabat karibnya.


Barang sekadar tak memiliki itu bukan apa-apa. Yang penting rasa mu padanya luar biasa.

Melihatnya bersanding bersama dengan yang lain itu bukan perkara sepele, bukanlah suatu hal yang mudah. Menerimanya adalah hal yang rumit, hingga di paksa mengikhlaskan itu jauh lebih sulit.

Jika kamu berhasil melaluinya, cintamu itu murni. Tulusmu nyata adanya. Dan cintamu tiada bandingannya.

-AR from Triangle.


“Tadi sudah di cek ya..” Wanita berjilbab hitam dengan jas putih itu berbicara tepat berada di hadapan Mario dan Syakila yang tengah duduk berdampingan.

Memang sekitar 3 jam yang lalu, baik Mario maupun Syakila sudah menjalani beberapa tes.

Dan katanya, hasilnya bisa keluar setelah 3 jam lagi.

Sekarang, 3 jam sudah berlalu dan disinilah mereka berada.

“Untuk bapak Mario..” Sang Dokter mulai berbicara, setelah beberapa saat tampak mengamati beberapa lembar kertas yang berada di tangannya.

“Tidak ada masalah. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa bapak Mario tidak mengalami masalah kesuburan.” Dokter itu kemudian menyingkirkan kertas hasil tes pemeriksaan Mario, mengganti dengan kertas dibawahnya.

“Ibu Syakila Prameswari?” Dokter itu kemudiam membacakan nama Syakila, senyum sang dokter menyapa Syakila dengan ramah. Syakila membalas meski segudang kegelisahan telah datang bersama dengan kecemasan mengisi penuh di dalam kepalanya.

“Namanya bagus, cantik. Persis seperti yang punya.”

Syakila menggigit bibir bawahnya setelah tersenyum lagi sebab gurauan yang dilontarkan sang dokter. Jikalau boleh jujur sekujur sendinya terasa lemas. Syakila cemas.

Keramahan yang hanya di dapatnya, membuat pikiran Syakila berkelana jauh, menyimpulkan bahwa sang dokter tengah berusaha menghiburnya, meski di awal dan juga samar.

Sempat ada jeda dan tak terlalu lama. Lalu kemudian dokter wanita itu melanjutkan apa yang memang seharusnya di lanjutkan.

Syakila melepas gigitan pada bibirnya. Nafasnya terhembus lemas, saat sang dokter memulai penjelasannya dengan berkata.

“Bu Syakila..” “Sepertinya ada beberapa masalah..”



Di bawah sinar rembulan malam, sosok pria yang tengah termenung itu terpotret jelas. Meski remang sekalipun, namun jika dirasa maka kalian akan menemukan bayangannya. Disini Mario terduduk diam, tak berani mengambil gerakan barang membuka pintu mobilnya sekalipun.

Namun sebuah suara memaksanya untuk keluar, baik dari dalam mobil maupun dari lamunannya.

Suara lembut serta figur anggun itu datang mendekatinya. Mau tak mau senyum Mario mengembang.

Bagaimana bisa ia mengabaikan eksistensi dari gadis yang teramat ia cintai?

Memang pada dasarnya seperti ini. Sebesar apapun rasa gundahnya, bila Syakila sudah berada di hadapannya. Maka semuanya menjadi sirna. Hilang tak berbekas, seiring bayangan sang gadis yang menyapa.

Suara ketukan kaca mobil terdengar, Mario menoleh kemudian menurunkannya. Lensanya langsung menangkap potret wajah yang selalu berhasil membuatnya merasa teduh bahkan dikala semuanya terasa memanas. Dia Syakila, satu-satunya orang yang mampu menciptakan suasana demikian pada Mario.

“Kenapa diem aja di sini? Aku udah nungguin di depan pintu, mau peluk sama ciumnya kamu.”

Lihat? Bagaimana bisa Mario menolak suasana ini.

Mario tersenyum simpul, matanya ia biarkan berlama-lama memandang manik jernih yang memang disanalah kepemilikannya.

“I'm sorry because make u wait for me.” Mario ulurkan tangannya keluar jendela mobil, mengusap surai panjang lembut itu dengan segenap rasa yang dimilikinya.

Syakila tersenyum cantik, matanya menyipit sedikit. Senyum yang selalu membuat ketenangannya kembali pulang.

“Nggak papa.” “Ayo masuk sayang.”


“Sayang malem ini mau teh atau kopi?” Syakila bertanya, gadis itu tengah berada di hadapannya, membantu Mario melepaskan jas hitam nya.

“Mau kamu aja boleh nggak?” Dengan senyum tipisnya Mario berujar yang mana ujarannya membuat Syakila melebarkan lengkung bibirnya hingga membuat mata sipitnya semakin kehilangan eksistensi.

“Kan udah. Ini aku, disini.” Syakila menyampirkan jas hitam milik Mario di atas sofa. Lengan kecilnya kemudian bergerak melingkari pinggang sang pria. Semerbak harum chocolate-coffee segera menguasai indra penciumannya. Syaklia memeluk Mario, menenggelamkan wajahnya di dada pria itu dengan nyaman.

Mendapatinya Mario ikut bertindak. Lengannya ikut berpartisipasi dengan balik melingkari tubuh kecil yang terlebih dahulu menempatkan diri.

“Yes. I got you.” Bisiknya pelan sebelum memutuskan untuk menghirup aroma Vanilla dari rambut sang pemilik hatinya.

“Kila..” Mario memanggil.

Posisi mereka belum berubah, masih saling mendekap satu sama lain.

“Iya?” Syakila mendongakkan kepalanya agar bisa melihat lawan bicaranya.

Mario mengusap-usap punggung Syakila. Berusaha menyalurkan ketenangan serta membangun suasana yang nyaman.

“Aku mau bilang sesuatu yang mungkin bikin sedikit nggak nyaman. Kalau kamu nggak mau bilang aja.” Pada akhirnya, Mario menempatkan pilihan pada cintanya.

“Bilang aja, nggak papa. Kenapa hm?”

Mario mengeratkan pelukannya. Ia tempatkan rahang tegasnya di bahu wanitanya.

“Kalau aku ajak kamu buat ke dokter kandungan mau nggak?” Akhirnya terucap juga.

Hening sesaat. Rasanya gelisah. Namun Mario merasakan suatu gerakan, kepala gadisnya mengangguk pelan.

“Boleh..”

Mendengarnya membuat Mario enggan bergerak lebih, takut untuk melihat wajah sang gadis, Mario memilih bungkam sesaat sambil mengeratkan lingkar lengannya.

“Kalau nggak mau juga nggak papa. Aku nggak maksa.” Mario putus asa, hingga tak tahu harus berkata apa.

Syakila tersenyum tipis, pelukannya gadis itu eratkan untuk memberikan isyarat bahwa dia baik-baik saja dengan ajakan prianya.

“Mau sayang. Mau kapan?” Tanyanya kemudian.

“Kamu siapnya kapan? Aku serahin semuanya dikamu. Sekalipun kamu batalin, aku juga nggak akan keberatan.”

Dengan terlontarnya kalimat itu Syakila paham. Ini bukan keinginan Mario. Dan Syakila juga tahu, keinginan siapa sebenarnya ini.

Seakan tahu kegundahan Mario, Syakila mengusap dengan sayang rambut pria itu, membuat Mario lagi-lagi merasa ia benar-benar berada di tempatnya.

“Nanti kabarin aku aja ya? Kamu aja yang atur jadwalnya biar bisa nyesuain sama jadwal kamu. Kalau aku yang atur takut tabrakan sama jadwal kamu di kantor.”

Mario mengangguk pelan. “Are u okay with that? Kalau nggak mau bilang aja sayang.”

Syakila terkekeh pelan. “I'm okay sayang, tenang aja okay?” “Selama ada kamu, aku selalu ngerasa okay.” Tuturnya membuat Mario menghela nafas meski pelan hingga akhirnya pria itu menyahuti.

“Itu juga berlaku buat aku.”


If u leave me i'll go die. I swear. You're like the oxygen I need to survive.

-Love Nwantiti'


Buat kamu Aulia itu apa sih?

Aulia Nabila. This girl is my world now.

Cewek kuat yang setelah gue sakitin berkali-kali tetap mau menerima gue. Damn, dude? Where can you find someone like her? Makanya buat gue sekarang Aulia itu segalanya.

Karena gue dunia dia hancur, jadi nggak salah dong kalo sekarang gue kasih dunia gue buat dia?

Selama kehamilan Aulia ini pernah nggak ngerasa ada situasi yang menurut kamu itu merepotkan kamu banget?

Nggak ada. Walaupun semuanya aneh dan random banget, tapi gue nggak ngerasa di repotin sama sekali.

Ibu hamil banyak maunya itu wajar. Dia udah mau hamil anak gue aja, gue udah bersyukur banget.

Padahal cobaannya banyak banget. Tiap jam 3 pagi selalu kebangun soalnya mual sama muntah dan berakhir dia nggak tidur sampai jam 9 pagi karena di jam segitu muntahnya baru mau berhenti. Kalau gue yang begitu mana sanggup, sehari aja gue bakal nyerah.

Makanya sebisa mungkin apa mau dia gue turutin. Apapun asal bikin dia seneng dan lupa soal sakit kepala sama mualnya, gue lakuin, soalnya gue nggak tega.

Sekarang ini se-sayang apa sih sama Aulia?

Banget lah. Gue nggak mau banget kehilangan dia. Gue udah pernah tahu gimana rasanya itu dan gue nggak akan mau ngalamin hal itu dua kali.

Sekarang ini rasa sayang gue sama Aulia bahkan bisa gue bilang ngelebihin rasa sayang gue sama diri gue sendiri.

Lo paham kan apa maksud gue? Ibaratnya kalo Aulia minta gue mati sekarang buat dia, gue rela.

Terakhir nih. Ada pesan yang mau di sampaikan nggak buat Aulia?

Ada.

Aulia kalau lo baca ini, tolong langsung aja ke kamar terus peluk gue.

Gue cuma mau bilang terimakasih sebanyak mungkin sama lo.

Makasih banyak karena udah datang dan ada di kehidupan gue yang gak jelas ini.

Juga maaf karena gue udah hadir dan datang di kehidupan lo yang tadinya tertata rapi dan baik-baik aja.

Lo nyesel nggak nikah sama gue? Harus nyesel, kalo nggak nyesel kata gue lo gila.

Tapi gue? Nggak sama sekali. Mungkin bagi lo gue ini pernah jadi monster dan penjahat terbesar yang ada di hidup lo.

Tapi lo..

Dari awal sampai akhir lo itu malaikat. Malaikat yang entah gimana bisa se-sial itu ketemu setan semacam gue.

Aulia, tolong di baca baik-baik biar lo tahu sekarang ini sesayang dan sejatuh apa gue sama lo.

I love u so much. Gue cinta banget sama lo. Tolong kalau bisa jangan pernah tinggalin gue karena gue nggak tahu arti hidup gue apa kalau sampai lo pergi.

Aulia, mungkin lo bakal bosen dengernya. Tapi masih dan selalu.. Permintaan maaf gue dari semua rasa sakit yang pernah lo alami gara-gara gue bakal terus gue sampein.

Aulia, dari gue Giorgino Alaska. Nama yang mungkin pernah lo kutuk sedemikian rupa karena kesalahan yang gue perbuat. Gue harap kita bisa sama-sama terus sampai nanti. Cuma itu, simple kan? Gue harap lo mau wujudin harapan itu bareng gue.

Aulia Nabila. For the umpteenth time, I hope you know that you're my world, the axis from all the axes of my life.

Udah di baca? Kalau udah gue di kamar, lagi nungguin pelukan lo. Jangan lupa.

-Giorgino A.-