sugarloaf


Jessen menghisap satu batang rokok, lalu mengepulkan asapnya. Ia berada di depan kostan Sharon, berdiri bersandar pada mobil. Menunggu gadis itu yang katanya sedang berganti pakaian.

20 menit sudah berlalu, Jessen melirik pada arloji yang ia pakai. Mataharinya amat terik, namun pria itu tetap berdiri diluar sebab dirinya sedang merokok, ia tak mau menghabiskan batang beracun itu di dalam mobil. Takut-takut Sharon tak suka dengan bau rokok.

Beberapa saat kemudian pintu yang tak jauh dari pandangannya terbuka. Sharon muncul dari balik pintu, menenteng sepasang sepatu kets lalu memakainya dengan tergesa-gesa, setelahnya gadis itu bergegas menghampiri Jessen.

“Jangan lari woy, santai aja.” Peringat Jessen. Sebab gadis itu menghampirinya dengan setengah berlari.

Jessen membuang batang rokoknya yang masih menyala lalu menginjaknya. Dan hal itu tak luput dari pandangan Sharon.

“Lo ngerokok?” Tanya Sharon sambil gadis itu menyampirkan tali penghubung tas pada pundaknya.

“As u see.” Jessen menjawab, kemudian ia meminum air yang tadi dibelinya.

“Masuk ca, panas.” Jessen mentitah sembari menggiring gadis itu masuk kedalam mobil yang pintunya sudah ia bukakan.

Sharon-pun masuk, Jessen menutup pintu, kemudian berjalan mengitari bagian depan mobil untuk ikut masuk kedalam.

“Sejak kapan?” Tanya Sharon.

Jessen menoleh selepas memakai sabuk pengaman. “Apanya?”

“Ngerokok.” Lanjut Sharon, rupa-rupanya gadis itu penasaran.

“Kelas dua SMA.” Jessen-pun menjawab, matanya kemudian menangkap Sharon yang nampak kesulitan memakai sabuk pengaman.

“Angkat dulu tangan lo, sini gue yang pasangin.” Jessen melepas sabuk pengaman yang sudah dipakainya, sebab dirinya harus mencondongkan tubuhnya mendekat pada Sharon.

Pria itupun dengan lihai memasangkan sabuk pengaman pada Sharon. Posisi ini membuat Sharon harus memundurkan kepala agar tidak terlalu dekat dengan Jessen. Menyadari hal yang dilakukan Sharon, pria itu pun tersenyum seraya menggelengkan kepala.

“Done.” Ucap Jessen setelah selesai memasangkan sabuk pengaman pada Sharon.

Jessen kembali pada posisinya, lalu memasang sabuk pengaman yang tadi dilepas olehnya.

Sedangkan Sharon kini tengah merenung, dikepalanya terpikirkan tentang 'ada apa dengan sikap Jessen belakangan ini'. Terutama sekarang, mulai dari tidak kesal sebab perkara dompet, mencegah Sharon untuk berjalan di hari yang sangat panas ini, lalu menunggu Sharon dengan tanpa protes sama sekali.

Alis Sharon menukik makin dalam, Jessen yang sempat melirik sekilas-pun tak sengaja melihatnya. “Lo lagi mikir apaan? serius amat.”

Teguran Jessen membuat Sharon menoleh, memperhatikan pria itu beberapa saat, lalu kembali memalingkan wajah.

“Ini perasaan gue doang atau gimana?” Sharon membatin.

“Something feels so weird, he's so weird.”



Jessen menghisap satu batang rokok, lalu mengepulkan asapnya. Ia berada di depan kostan Sharon, berdiri bersandar pada mobil. Menunggu gadis itu yang katanya sedang berganti pakaian.

20 menit sudah berlalu, Jessen melirik pada arloji yang ia pakai. Mataharinya amat terik, namun pria itu tetap berdiri diluar sebab dirinya sedang merokok, ia tak mau menghabiskan batang beracun itu di dalam mobil. Takut-takut Sharon tak suka dengan bau rokok.

Beberapa saat kemudian pintu yang tak jauh dari pandangannya terbuka. Sharon muncul dari balik pintu, menenteng sepasang sepatu kets lalu memakainya dengan tergesa-gesa, setelahnya gadis itu bergegas menghampiri Jessen.

“Jangan lari woy, santai aja.” Peringat Jessen. Sebab gadis itu menghampirinya dengan setengah berlari.

Jessen membuang batang rokoknya yang masih menyala lalu menginjaknya. Dan hal itu tak luput dari pandangan Sharon.

“Lo ngerokok?” Tanya Sharon sambil gadis itu menyampirkan tali penghubung tas pada pundaknya.

“As u see.” Jessen menjawab, kemudian ia meminum air yang tadi dibelinya.

“Masuk ca, panas.” Jessen mentitah sembari menggiring gadis itu masuk kedalam mobil yang pintunya sudah ia bukakan.

Sharon-pun masuk, Jessen menutup pintu, kemudian berjalan mengitari bagian depan mobil untuk ikut masuk kedalam.

“Sejak kapan?” Tanya Sharon.

Jessen menoleh selepas memakai sabuk pengaman. “Apanya?”

“Ngerokok.” Lanjut Sharon. Rupa-rupanya gadis itu penasaran.

“Kelas dua SMA.” Jessen-pun menjawab, matanya kemudian menangkap Sharon yang nampak kesulitan memakai sabuk pengaman.

“Angkat dulu tangan lo, sini gue yang pasangin.” Jessen melepas sabuk pengaman yang sudah dipakainya, sebab dirinya harus mencondongkan tubuhnya mendekat pada Sharon.

Pria itupun dengan lihai memasangkan sabuk pengaman pada Sharon. Posisi ini membuat Sharon harus memundurkan kepala agar tidak terlalu dekat dengan Jessen. Menyadari hal yang dilakukan Sharon, pria itu pun tersenyum seraya menggelengkan kepala.

“Done.” Ucap Jessen setelah selesai memasangkan sabuk pengaman pada Sharon.

Jessen kembali pada posisinya, lalu memasang sabuk pengaman yang tadi dilepas olehnya.

Sedangkan Sharon kini tengah merenung, dikepalanya terpikirkan tentang 'ada apa dengan sikap Jessen belakangan ini'. Terutama sekarang, mulai dari tidak kesal sebab perkara dompet, mencegah Sharon untuk berjalan di hari yang sangat panas ini, lalu menunggu Sharon dengan tanpa protes sama sekali.

Alis Sharon menukik makin dalam, Jessen yang sempat melirik sekilas-pun tak sengaja melihatnya. “Lo lagi mikir apaan? serius amat.”

Teguran Jessen membuat Sharon menoleh, memperhatikan pria itu beberapa saat, lalu kembali memalingkan wajah.

“Ini perasaan gue doang atau gimana?” Sharon membatin.

“Something has changed, he has changed.”



Sharon memejamkan matanya, berusaha menarik nafas dalam lalu dikeluarkan secara perlahan. Namun hasilnya selalu gagal, nafasnya terus menggebu dan tersendat-sendat hingga dadanya terasa sesak.

Prediksinya perihal ia 'berani' menghadapi situasi seperti ini ternyata salah besar.

Saat membaca semua komentar dan ujaran kebencian tadi, jujur Sharon kelabakan, ia tidak menyangka membaca suatu hal seperti itu bisa membuatnya mengalami serangan panik seperti ini.

“CA!!”

Suara teriakan seorang pria disertai dengan gedoran pintu yang terdengar tak sabaran membuat Sharon terhenyak.

Dengan susah payah Sharon berdiri dari posisinya yang semula ambruk, sebab tadi tiba-tiba kakinya terasa lemas sekali.

“CACA BUKA ATAU GUE DOB—”

Teriakan pria itu terhenti, Jessen terdiam, sementara itu di depannya berdiri Sharon yang telah membukakannya pintu.

“Ca...” Jessen melirih perihal ia melihat Sharon dengan wajah pucat basah bersimbah keringat.

“Lo—CAAA??!!” Tiba-tiba saja tubuh Sharon limbung, beruntung Jessen dengan sigap menangkapnya.

Jessen dengan jelas mendengar deru nafas Sharon yang tak beraturan, tanpa disadari-pun, Sharon mencengkram lengan kokoh Jessen yang kini tengah digunakan untuk menopang tubuhnya.

“Gue... hiks....” Sharon bersuara lirih diiringi dengan isakan kecilnya.

Jessen membenarkan posisi Sharon terlebih dahulu, gadis itu ia bantu untuk berdiri tegak lalu Jessen maju merapatkan diri untuk meraih pinggang kecil Sharon hingga tubuh gadis itu betul-betul berada di dalam jangkauannya.

“Gue gak oke...” Setelah berucap demikian, Sharon menangis. Tangan gadis itu yang entah bagaimana, dan sejak kapan berada diatas bahu Jessen kini mulai bergerak mencengkramnya dengan kuat, hingga kaos hitam yang pria itu kenakan ikut tertarik.

Jessen menarik pinggang Sharon, bergerak memeluk Sharon dengan insting yang dia punya, bisa dengan jelas Jessen rasakan dalam dekapannya tubuh gadis itu bergetar.

“Gue takut banget... hiks...” Sharon bergumam serta menangis.

Jessen menarik nafasnya dalam, pelukannya ia eratkan, lengannya bergerak menepuk-nepuk punggung Sharon agar gadis itu bisa merasa sedikit lebih tenang.

“Jangan takut, ada gue.” Pria itu menarik kepala Sharon hingga menempel pada dada bidangnya, kemudian Jessen mengusap lembut kepala Sharon, berharap gadis itu berhenti menangis.

“Jangan nangis Caca.” Jessen mengucapkannya disela pria itu mengelus dan menepuk lembut kepala serta punggung Sharon.

“Gue Gabriel, ada disini buat lo.”



Sharon memejamkan matanya, berusaha menarik nafas dalam lalu dikeluarkan secara perlahan. Namun hasilnya selalu gagal, nafasnya terus menggebu dan tersendat-sendat hingga dadanya terasa sesak.

Prediksinya perihal ia 'berani' menghadapi situasi seperti ini ternyata salah besar.

Saat membaca semua komentar dan ujaran kebencian tadi, jujur Sharon kelabakan, ia tidak menyangka membaca suatu hal seperti itu bisa membuatnya mengalami serangan panik seperti ini.

“CA!!” Suara teriakan seorang pria disertai dengan gedoran pintu yang terdengar tak sabaran membuat Sharon terhenyak.

Dengan susah payah Sharon berdiri dari posisinya yang semula ambruk, sebab tadi tiba-tiba kakinya terasa lemas sekali.

“CACA BUKA ATAU GUE DOB—” Teriakan pria itu terhenti, Jessen terdiam, sementara itu di depannya berdiri Sharon yang telah membukakannya pintu.

“Ca...” Jessen melirih perihal ia melihat Sharon dengan wajah pucat basah bersimbah keringat.

“Lo—CAAA??!!” Tiba-tiba saja tubuh Sharon limbung, beruntung Jessen dengan sigap menangkapnya.

Jessen dengan jelas mendengar deru nafas Sharon yang tak beraturan, tanpa disadari-pun, Sharon mencengkram lengan kokoh Jessen yang kini tengah digunakan untuk menopang tubuhnya.

“Gue... hiks....” Sharon bersuara lirih diiringi dengan isakan kecilnya.

Jessen membenarkan posisi Sharon terlebih dahulu, gadis itu ia bantu untuk berdiri tegak lalu Jessen maju merapatkan diri untuk meraih pinggang kecil Sharon hingga tubuh gadis itu betul-betul berada di dalam jangkauannya.

“Gue gak oke...” Setelah berucap demikian, Sharon menangis. Tangan gadis itu yang entah bagaimana, dan sejak kapan berada diatas bahu Jessen kini mulai bergerak mencengkramnya dengan kuat, hingga kaos hitam yang pria itu kenakan ikut tertarik.

Jessen menarik pinggang Sharon, bergerak memeluk Sharon dengan insting yang dia punya, bisa dengan jelas Jessen rasakan dalam dekapannya tubuh gadis itu bergetar.

“Gue takut banget... hiks...” Sharon bergumam serta menangis.

Jessen menarik nafasnya dalam, pelukannya ia eratkan, lengannya bergerak menepuk-nepuk punggung Sharon agar gadis itu bisa merasa sedikit lebih tenang.

“Jangan takut, ada gue.” Pria itu menarik kepala Sharon hingga menempel pada dada bidangnya, kemudian Jessen mengusap lembut kepala Sharon, berharap gadis itu berhenti menangis.

“Jangan nangis Caca.” Jessen mengucapkannya disela pria itu mengelus dan menepuk lembut kepala serta punggung Sharon.

“Gue Gabriel, ada disini buat lo.”



Sharon memejamkan matanya, berusaha menarik nafas dalam lalu dikeluarkan secara perlahan, namun hasilnya selalu gagal, nafasnya terus menggebu dan tersendat-sendat hingga dadanya terasa sesak.

Prediksinya perihal ia 'berani' menghadapi situasi seperti ini ternyata salah besar.

Saat membaca semua komentar dan ujaran kebencian tadi, jujur Sharon kelabakan, ia tidak menyangka membaca suatu hal seperti itu bisa membuatnya mengalami serangan panik seperti ini.

“CA!!” Suara teriakan seorang pria disertai dengan gedoran pintu yang terdengar tak sabaran membuat Sharon terhenyak.

Dengan susah payah Sharon berdiri dari posisinya yang semula ambruk sebab tadi tiba-tiba kakinya terasa lemas sekali.

“CACA BUKA ATAU GUE DOB—” Teriakan pria itu terhenti, Jessen terdiam, sementara itu di depannya berdiri Sharon yang telah membukakannya pintu.

“Ca...” Jessen melirih perihal ia melihat Sharon dengan wajah pucat basah bersimbah keringat.

“Lo—CAAA??!!” Tiba-tiba saja tubuh Sharon limbung, beruntung Jessen dengan sigap menangkapnya.

Jessen dengan jelas mendengar deru nafas Sharon yang tak beraturan, tanpa disadari-pun, Sharon mencengkram lengan kokoh Jessen yang kini tengah digunakan untuk menopang tubuhnya.

“Gue... hiks....” Sharon bersuara lirih diiringi dengan isakan kecilnya.

Jessen membenarkan posisi Sharon terlebih dahulu, gadis itu ia bantu untuk berdiri tegak lalu Jessen maju merapatkan diri untuk meraih pinggang kecil Sharon hingga tubuh gadis itu betul-betul berada di dalam jangkauannya.

“Gue gak oke...” Setelah berucap demikian, Sharon menangis. Tangan gadis itu yang entah bagaimana dan sejak kapan berada diatas bahu Jessen kini mulai bergerak mencengkramnya dengan kuat hingga kaos hitam yang pria itu kenakan ikut tertarik.

Jessen menarik pinggang Sharon, bergerak memeluk Sharon dengan insting yang dia punya, bisa dengan jelas Jessen rasakan dalam dekapannya tubuh gadis itu bergetar.

“Gue takut banget... hiks...” Sharon bergumam serta menangis.

Jessen menarik nafasnya dalam, pelukannya ia eratkan serta lengannya bergerak menepuk-nepuk punggung Sharon agar gadis itu bisa merasa sedikit lebih tenang.

“Jangan takut, ada gue.” Pria itu menarik kepala Sharon hingga menempel pada dada bidangnya, kemudian Jessen mengusap lembut kepala Sharon, berharap gadis itu berhenti menangis.

“Jangan nangis Caca.” Jessen mengucapkannya disela pria itu mengelus dan menepuk lembut kepala serta punggung Sharon.

“Gue Gabriel, ada disini buat lo.”



“Ini kita mau kemana?” Sharon bertanya pada Jessen.

For Your Information, mereka berdua kini tengah berada di dalam mobil yang Jessen kendarai, setelah Jessen sempat harus menunggu lebih lama perkara uang kembalian.

“Makan, energi gue habis karena terkuras emosi.” Dengan nada menyindir, Jessen menjawab pertanyaan Sharon.

“Ya maap kan gue gak tahu kalo ibunya gak ada kembalian.” Sharon membela diri sambil kembali meluruskan kepalanya yang tadi sempat ia tolehkan untuk bertanya pada Jessen.

“Lo aja yang gak mikir, beli aqua satu pake uang seratus ribu.” Cerca Jessen dengan keki, sumpah demi Tuhan, hari ini kesabaran Jessen di uji habis-habisan oleh Sharon.

“Gue beli dua kok, nih buat lo satu, biar gak emosi hehe” Dengan tanpa rasa bersalah sama sekali Sharon memamerkan kantong plastik berisi dua botol air mineral, lalu mengambil satu dan menyodorkannya pada Jessen.

“Nih minum dulu biar adem.” Entah dapat hikmah apa gadis itu malah menawarkan hal yang malah membuat Jessen semakin dilanda emosi.

“Lo gak lihat gue lagi nyetir?!” Jessen memberikan tatapan tajamnya pada Sharon.

“Eh jangan salah loh, sama ibunya di kasih sedotan.” Ada saja hal lainnya, Sharon betul-betul mengeluarkan sebuah sedotan dari kantong plastik tadi, kemudian gadis itu membuka botol dan memasukan sedotan kedalamnya.

“Nih minum.” Sharon menyodorkannya pada Jessen membuat pria itu menoleh.

Jessen mengangkat satu alisnya, menatap Sharon sesaat dengan perasaan sedikit heran bercampur keki, sebelum kembali fokus pada jalanan di depan.

“Ada gue bilang gue haus?” Ujar Jessen sinis, masih fokus pada konsentrasi menyetirnya tanpa sedikitpun menoleh untuk sekadar melirik pada Sharon.

Mendengarnya Sharon mendesis kesal. “Yaudah kalo gamau—” Pergerakan serta ucapan Sharon terputus, Jessen memutuskan untuk meminum air yang botolnya Sharon pegangi.

“Pegang yang bener, niat ngasih gue minum gak?” Sharon-pun patuh, bahkan ia membenarkan posisinya lebih dekat pada Jessen agar air-nya tidak tumpah.


a Moment – Drink Scene.


“Ini kita mau kemana?” Sharon bertanya pada Jessen.

For Your Information, mereka berdua kini tengah berada di dalam mobil yang Jessen kendarai, setelah Jessen sempat harus menunggu lebih lama perkara uang kembalian.

“Makan, energi gue habis karena terkuras emosi.” Dengan nada menyindir, Jessen menjawab pertanyaan Sharon.

“Ya maap kan gue gak tahu kalo ibunya gak ada kembalian.” Sharon membela diri sambil kembali meluruskan kepala yang sempat ia tolehkan untuk bertanya pada Jessen.

“Lo aja yang gak mikir, beli aqua satu pake uang seratus ribu.” Cerca Jessen dengan keki, sumpah demi Tuhan, hari ini kesabaran Jessen di uji habis-habisan oleh Sharon.

“Gue beli dua kok, nih buat lo satu, biar gak emosi hehe” Dengan tanpa rasa bersalah sama sekali Sharon memamerkan kantong plastik berisi dua botol air mineral, lalu mengambil satu dan menyodorkannya pada Jessen.

“Nih minum dulu biar adem.” Entah dapat hikmah apa gadis itu malah menawarkan hal yang malah membuat Jessen semakin dilanda emosi.

“Lo gak lihat gue lagi nyetir?” Jessen memberikan tatapan tajamnya pada Sharon.

“Eh jangan salah loh, sama ibunya di kasih sedotan.” Ada saja hal lainnya, Sharon betul-betul mengeluarkan sebuah sedotan dari kantong plastik tadi, kemudian gadis itu membuka botol dan memasukan sedotan kedalamnya.

“Nih minum.” Sharon menyodorkannya pada Jessen membuat pria itu menoleh.

Jessen mengangkat satu alisnya, menatap Sharon sesaat dengan perasaan sedikit heran bercampur keki, sebelum kembali fokus pada jalanan di depan.

“Ada gue bilang gue haus?” Ujar Jessen jutek, masih fokus pada konsentrasi menyetirnya tanpa sedikitpun menoleh untuk sekadar melirik pada Sharon.

Mendengarnya Sharon mendesis kesal. “Yaudah kalo gamau—” Pergerakan serta ucapan Sharon terputus, Jessen memutuskan untuk meminum air yang botolnya Sharon pegangi.

“Pegang yang bener, niat ngasih gue minum gak?” Sharon-pun patuh, bahkan ia membenarkan posisinya lebih dekat pada Jessen agar air-nya tidak tumpah.



Sharon pelan-pelan berusaha menetralkan nafasnya, jujur efek film horor yang baru saja ditontonnya belum hilang, ditambah chat dari Jessen yang membuat situasinya terasa semakin kacau.

Merasa sedikit lebih baik, Sharon memasukan Handphone-nya kedalam tas, memutuskan untuk segera keluar dan pergi dari tempat ini.

Namun baru beberapa langkah ia keluar, tubuhnya kelimpungan, membuat Sharon terpaksa berhenti sejenak seraya menempatkan tangannya disebuah dinding sebagai tumpuan agar tubuhnya tidak jatuh.

“Sharon.” Di tengah situasi itu, seseorang memanggilnya.

Sharon menoleh, seorang pria yang ia kenali bernama Haris, entah sejak kapan berdiri disampingnya.

“Lo oke?” Sharon mengangguk sebagai jawaban.

Haris mengangguk paham. “Lo gak oke, sini duduk dulu disana.”

Haris meraih lengan Sharon, membawa gadis itu untuk duduk di tempat duduk yang ada di lobi.

“Drink?” Haris menyodorkan sebotol air mineral pada Sharon, Sharon-pun mengambil lalu meminumnya.

“Thanks.” Ucap Sharon setelah selesai minum.

“Lo mau pulang?” Haris bertanya, yang Sharon angguki pertanda 'iya'

“Gue anter ya, kondisi lo kayaknya gak memungkinkan buat pulang sendiri.”

Mendengarnya Sharon menggelengkan kepala. “Gak, gue bisa sendiri—”

“Gak, gak, lo gak bisa Sharon.” Sembari turut menggelengkan kepala, Haris dengan cepat memotong ucapan Sharon.

“Gue anter ya cantik?”



Sharon memutar bola matanya malas, selepas membaca pesan dari Jessen ia-pun segera melangkah menghampiri pria itu.

Sharon sampai, dilihatnya Jessen yang sudah berdiri dihadapanya, sementara tiga pria lainnya tengah duduk, mereka tersenyum pada Sharon, yang gadis itu balas dengan senyumannya.

“Hai, temen tk jessen.” Salah seorang dari tiga pria itu menyapa.

“Hai, panggil gue Sharon aja.” Balas Sharon, kemudian gadis itu menggeser sedikit langkahnya menjadi berdiri dihadapan pria berkulit hitam manis yang tadi menyapanya.

“Lo siapa?” Sambil mengulurkan tangan, Sharon bertanya.

“Hai manis, gue Haris.” Pria hitam manis bernama Haris itu-pun meraih uluran tangan Sharon, namun bukan untuk berjabat tangan, Haris meraih tangan Sharon untuk kemudian mengecup punggung tangan Sharon membuat gadis itu sedikit berjengit merasa kaget.

Melihat aksi yang Haris lakukan, Randi beserta Jemian hanya bisa menggelengkan kepalanya, sebagai seorang teman mereka telah terbiasa dengan tingkah Haris yang memang selalu demikian.

“Gue Randy.” Sharon mengalihkan pandangannya pada pria berkacamata disamping kanan Haris.

Sharon tersenyum. “Hai Randy.” Randy hanya mengangkat alis seraya melempar senyum sebagai respon.

“Terus lo...” Atensi Sharon beralih pada pria disebelah kiri Haris.

“Jemian.” Pria itu mengulurkan tangan terlebih dahulu, Sharon tanpa ragu menjabatnya seraya tersenyum. “Nice to meet you, Sharon.” Jemian-pun menampilkan senyumannya.

“Udah basa-basi perkenalannya?” Sahut seorang pria dengan nada jutek di belakang Sharon.

Sharon berbalik dengan perasaan jengah, gadis itu melihat kearah Jessen dengan tatapan malas. “Udah, tukang ngompol.”

Jemian, Haris serta Randy sukses menahan tawa, sementara Jessen mengeraskan rahang menahan emosi.


“Ini film apaan deh?” Karena masih belum dimulai, Sharon inisiatif bertanya.

“Jangan banyak tanya, tonton aja.” Sharon-pun berdecak sebal.

“Ini harus banget kita nonton full film? kan cuma formalitas aja, bilang temen lo suruh foto sekarang aja.” Tutur Sharon sebab dirinya merasa malas, menonton film dengan orang yang tidak di kehendakinya sama sekali tidak cocok untuk dilakukan di waktu liburnya yang berharga.

“Berisik, jangan banyak ngomong, nanti lo ditegur orang.” Jessen menanggapi dengan malas, entah sejak kapan dan mengapa Jessen baru mengetahui bahwa Sharon alias Caca teman masa kecilnya ini ternyata gadis yang sangat berisik.

“Lah orang filmnya aja belom mulai—”

“Ssstt! diem.”

Sharon kicep ditempat, tadi, Jessen pria itu melakukan hal yang menurut Sharon diluar dugaan, Jessen membungkam mulut Sharon dengan satu jari telunjuk yang pria itu tempelkan pada bibirnya, serta merta wajah pria itu tadi tepat berada di hadapannya.

Jantung Sharon terasa berdegup duakali lebih cepat, akhirnya gadis itupun memilih untuk diam, menuruti apa kata Jessen.

Handphone Jessen bergetar, sebuah pesan masuk. “Ekspresi muka lo sama Sharon di kontrol coba, jangan kaya orang sebel-sebelan.”

Jessen menoleh kearah kanan bawah dimana para temannya berada, disana ia melihat Randy menatap balik kearahnya sembari menggerak-gerakan tangannya di hadapan wajah, memberikan isyarat bahwa Jessen harus mengontrol ekspresinya.

Film dimulai, Jessen menyimpan kembali Handphone-nya kedalam saku, sementara itu...

“Lo...” Suara Sharon dari arah samping kiri membuat Jessen terpaksa menoleh.

Pria itu menatap Sharon yang tengah memandang nanar kearah layar.

“INI FILM HOROR????!!!”


Flashback moment bagian 2 – Jessen's memories.


“Kamu habis dari mana?”

Tanya seorang gadis kecil dengan satu kunciran dikepalanya, satu jari telunjuk gadis itu berada di dalam satu lobang hidungnya, benar sekali, gadis lucu dengan wajah cemong itu tengah mengupil.

Gadis itu bertanya pada seorang anak laki-laki yang baru saja berjalan keluar dari gerbang rumahnya.

“Habis minum susu.” Jawab sang anak lelaki seraya mengelap mulutnya yang terasa lengket karena cairan susu yang baru saja diminumnya.

Si gadis menatap anak lelaki itu dengan mata mengerjap, kemudian mengeluarkan jari telunjuknya yang sebelumnya berada di dalam lubang hidung.

“Ayo main lagi.” Seraya mengulurkan tangan kecilnya, si gadis berharap anak laki-laki itu menerima uluran tangan yang ia berikan, lalu pergi melanjutkan acara membuat kue dari tanah dan air yang sebelumnya mereka lakukan.

Si anak lelaki menatap uluran tangan dengan jari sedikit kotor itu, lalu memutuskan untuk tidak meraihnya, melainkan di genggamnya bagian pergelangan tangan si gadis lalu mereka berjalan beriringan.

Dilihat dari kejauhan, dua anak kecil itu tampak asik dengan berbagai olahan tanah yang mereka buat.

“Iyel airnya sedikit aja, kalau kebanyakan kuenya enggak bisa di cetak.” Dengan wajah merengut lucu, si gadis kecil memperingati si anak lelaki.

“Kan bisa di tambahin lagi tanahnya.” Ucap si anak lelaki mencari pembelaan.

Si gadis memanyunkan bibirnya. “Tanahnya harus di saring dulu! lama tau!”

“El... Caca...” Dua anak kecil itu menoleh, ternyata ibu si anak lelaki datang menghampiri mereka.

“Bunda mau ke supermarket dulu sama mamanya caca, El sama caca disini aja ya? jangan kemana-mana, kalau ada orang yang gak dikenal kalian masuk kedalam rumah, oke?”

Setelah ibu anak laki-laki itu selesai mengucapkan kalimatnya, sosok lain muncul dari dalam rumah yang halamannya tengah dipakai bermain oleh sang dua anak kecil, si ibu dari anak gadis datang, mengambil beberapa lembar tisu basah yang didapatnya dari dalam tas yang dibawa, sang ibu dari si gadis kecil menyempatkan waktu untuk mengelap bagian wajah putrinya yang terlihat belepotan.

“Caca disini aja sama Iyel ya? Mama mau ke supermarket dulu, nanti mama bawain coklat.” Sambil mengelap wajah gadis kecil-nya, sang ibu memberikan petuahnya.

“Iyel juga mau coklat.” Tanpa di duga, si anak lelaki bersuara dengan nada merengek sambil mengacungkan tangannya.

“Iya, iyel juga.” Sang bunda menjawab mengiyakan.

“Yang penting kalian anteng diem disini, oke?”

“Oke.” Dua anak kecil itu menjawab dengan serentak.